Oleh: Mukhammad Najmul Ula
Membicarakan dinamika sebuah organisasi tidak mungkin tidak menyinggung aktor-aktor yang terlibat serta kepentingan apa yang mereka perjuangkan di dalamnya.
Hukum yang berlaku kurang lebih seperti ini: jika ada dua aktor dengan kepentingan yang berbeda, maka keduanya akan saling menjatuhkan untuk mendapatkan kuasa atas sumber daya. Jika terdapat dua aktor dengan kepentingan seragam, maka keduanya akan saling berkoalisi agar kuasa atas sumber daya bisa terdistribusikan. Jika sekelompok aktor sudah menyeragamkan kepentingan sampai level akar rumput, maka akan timbul usaha-usaha untuk melanggengkan kekuasaan.
Maksud saya, jika La Nyalla Mattalitti bersikeras menganggap sepi kekuasaan terlegitimasi PSSI dengan mendirikan KPSI, maka sesungguhnya ia sedang mengincar kekuasaan Djohar Arifin Husin. Bila mana Imam Nahrawi meneken SK Sanksi Administratif teruntuk PSSI pada 18 Maret 2015, maka kita berhak menebak dia berusaha mendekati sumber daya sepakbola Indonesia.
Ketika voters tidak mencoba mencopot Nurdin Halid walaupun terkerangkeng di hotel prodeo, atau ketika voters yang sama lebih memilih militer aktif ketimbang seorang purnawirawan untuk memimpin mereka, maka kita tidak bisa menutup kemungkinan bahwa telah terjadi kongkalikong sistemik cum oper kekuasaan transaksional.
Kekuasaan, bagaimanapun cara mendapatkannya, akan digunakan untuk memuluskan kepentingan berbagai pihak yang turut mengusahakan ketercapaian kekuasaan. Mengingat beban penyelenggaraan sebuah organisasi tidak pernah enteng, maka mutlak diperlukan sosok penguasa (pemimpin) yang dipandang mampu memikul beban tersebut. Berangkat dari tuntutan itu lah sejumlah filsuf Yunani kuno menawarkan berbagai model pemimpin terbaik.
Seorang Plato menyatakan pemimpin idealnya adalah seorang raja pengetahuan (the king philosopher), yaitu orang yang mengetahui segala macam pengetahuan agar sanggup menangani semua permasalahan. Lain hal dengan Plato, Cicero justru mengatakan, sebaik-baik pemimpin ialah mereka yang mempunyai waktu luang (leisure time).
Luang atau senggang disini tentu tidak dimaksudkan bahwa si calon pemimpin adalah pengangguran tak berketerampilan, melainkan ketersediaan waktu untuk mengurusi hal-hal besar yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang berkompeten. Dalam tafsiran yang lebih kurang ajar, pemimpin seyogianya tidak merangkap jabatan.
Perihal rangkap-merangkap jabatan, Indonesia bisa dibilang merupakan negara yang paling konsisten mengusahakannya dalam bidang apapun. Presiden Indonesia ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, menjalani periode keduanya berbarengan dengan masa tugasnya sebagai ketua umum Partai Demokrat. Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu pula diketahui beberapa menteri bekerja ganda sebagai pengurus teras partai politik.
Joko Widodo yang saat ini merupakan presidan Indonesia, walaupun bukan ketua umum partai terlihat tidak mampu melepaskan embel-embel “petugas partai”. Di dunia olahraga, kita juga melihat seorang Wiranto menerima mandat sebagai ketua umum PB PBSI meski masih memanggul jabatan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Purnawirawan TNI tersebut menggantikan Gita Wirjawan, yang juga sempat memegang Kementerian Perdagangan.
Seakan tidak mau kalah, pemegang otoritas sepakbola negeri ini juga tidak keberatan dengan hal demikian. PSSI sekarang dipimpin oleh seorang militer aktif yang jabatannya tak main-main, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Djoko Driyono bahkan sempat menjadi olok-olok seluruh negeri kala menerima tugas sebagai Sekretaris Jenderal PSSI walau masih berstatus CEO PT Liga Indonesia (belakangan Jokdri juga mengulangi kejadian ini saat Sekjen baru Ade Wellington mengundurkan diri).
Rangkap jabatan tampaknya juga mulai berlaku di jajaran pelatih Tim Nasional. Fachri Husaini sempat mengemban tugas sebagai pelatih timnas U15 dan U17 pada 2015 lalu, tepat sebelum PSSI dibekukan FIFA. Luis Milla yang kini menjadi pelatih timnas Indonesia pun "disempatkan" memaksimalkan para pemain U22 untuk SEA Games 2017 dengan mengorbankan "timnas senior".
Umumnya, di negara-negara yang kesadaran demokratisasinya sudah tinggi, rangkap jabatan adalah hal yang tabu. Presiden Amerika Serikat dan Perdana Menteri Inggris, meskipun dibesarkan oleh partai politik, cenderung melepaskan tugas kepartaian ketika memimpin tugas eksekutif negara. Di Inggris pula kita selamanya tidak akan melihat CEO Premier League atau CEO Football League adalah orang yang sama dengan Ketua Football Association (FA).
Begitu pula posisi Presiden UEFA, ia tidak mungkin diisi oleh ketua federasi sepakbola manapun. Adapun soal kepelatihan, sudah menjadi kebiasaan bahwa tim nasional berbagai kelompok umur harus dipercayakan pada orang yang berbeda. Lihat Inggris, FA secara hierarki menunjuk Gareth Southgate untuk menangani timnas senior, Aidy Boothroyd untuk timnas U21, Paul Simpson untuk timnas U20, serta Steve Cooper untuk timnas U17.
Dilihat dari sisi kelembagaan, pemberian tugas tertentu pada satu orang yang tidak memiliki pekerjaan lain memiliki keuntungan logis tersendiri, apalagi jika orang itu memiliki kompetensi. Misalnya begini, Gareth Southgate akan lebih leluasa menggarap proyek timnas senior jika tidak terbebani tetek bengek timnas junior.
Sebaliknya, FA tentu sangat senang jika Gareth Southgate meninggalkan posisinya di timnas U21. Selain timnas senior akan lebih “terurus”, lowongnya pos peninggalan Southgate akan memaksa FA memunculkan sosok pengganti. Tidak menutup kemungkinan, sosok pengganti Southgate itu akan akan membawa kesuksesan lebih besar di masa mendatang. Untuk alasan inilah mungkin Arsene Wenger mengultimatum Thierry Henry pada awal musim lalu, melepas pekerjaan sebagai pandit atau dipecat dari jajaran kepelatihan akademi Arsenal.
Kembali ke Indonesia, efek samping kelaziman fenomena rangkap jabatan di lingkungan PSSI sudah bisa diraba. Status “orang penting” sang ketua umum di militer telah dimanfaatkan PSSI untuk menggunakan markas militer sebagai tempat penjualan tiket final Piala AFF 2016, di mana kabarnya para pengantre—yang sebagian besar orang sipil-terkena pengkondisian khas militer, termasuk tindak kekerasan.
Demikian pula mekanisme seleksi calon sekjen baru pengganti Ade Wellington yang melibatkan Dinas Psikologi Angkatan Darat. Timbul kecurigaan, jangan-jangan kepatuhan pada atasan (garis komando khas militer) sangat ditonjolkan di tes tersebut agar tidak menggoyang posisi sang ketua umum.
Setali tiga uang dengan posisi pelatih tim nasional. Saya yakin Luis Milla akan lebih moncer mengembangkan potensi sepakbola Indonesia jika difokuskan pada satu tim nasional. Sejauh ini, karena dibebani target berprestasi di Asian Games 2018, Milla hanya berkutat pada penanganan timnas U22 tanpa pernah menyentuh pemain-pemain senior. Kekalahan 1-3 dari Myanmar pada laga internasional lalu seharusnya bisa dihindari jika diperkuat pemain-pemain berpengalaman, bukan memaksakan pemain u-22 seluruhnya.
Memang betul pemain muda kita sangat butuh jam terbang, tetapi ketika mereka “diterbangkan” menghadapi pemain-pemain di atas usia mereka, tanpa bimbingan pemain senior di sekitarnya, dikhawatirkan akan terjadi degradasi moral pada diri pemain muda kita. Pemaksaan penggunaan pemain muda pada level senior akan meningkatkan kemungkinan terjadinya kekalahan, yang berujung pada turunnya peringkat Indonesia di ranking FIFA.
Memang benar timnas senior tidak memiliki agenda apapun, sehingga tidak ada kewajiban apapun untuk menyelenggarakan pelatnas timnas senior. Akan tetapi, bukankah FIFA mengagendakan pekan internasional untuk mengakomodasi kebutuhan bertanding pemain-pemain internasional? Apakah PSSI tidak menyadari mereka sedang berada di posisi tidak terhormat dalam pemeringkatan FIFA (175 per Juli 2017)?
Seideal-ideal pelatnas adalah ketika masing-masing timnas kelompok umur dipimpin oleh masing-masing pelatih dalam satu waktu—di Eropa biasanya saat jeda internasional-dengan masing-masing timnas mendapat lawan tanding sebanding, sesuatu yang hanya bisa dilakukan ketika ada pembagian tugas di berbagai level timnas, termasuk pos pelatih itu sendiri.
Posisi apapun di lingkungan PSSI, entah itu pelatih tim nasional maupun sekretaris jenderal, siapapun pengembannya sudah seharusnya all-out dalam melaksanakan tugas hariannya. Jangan sampai ada pemain muda bertalenta yang tidak terpanggil pelatnas Asian Games gara-gara sang pelatih terlalu sibuk memonitor pemain senior menjelang Kualifikasi Piala Dunia. Jangan diulangi kejadian ketika klub gagal berkompetisi di level Asia, atau timnas yang tidak jadi berlaga di ajang multicabang, hanya karena tidak didaftarkan sekjen yang terlalu hectic. Intinya, (sepakbola) Indonesia memang masih perlu perbaikan dalam hal tata kelola!
Penulis adalah mahasiswa yang menganggap dua hal paling menggairahkan di dunia adalah sepakbola dan ilmu politik. Bisa dihubungi lewat akun Twitter @najmul_ula
Tulisan ini adalah hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.
Komentar