Oleh: Mukhammad Najmul Ula
Satu ungkapan yang jamak didengungkan para penikmat sepakbola kurang lebih berbunyi seperti ini, “Kau bisa saja bertemu sekelompok orang yang punya bentuk hidung berbeda-beda, warna kulit pun kontras. Kau bahkan melihat mereka tidak saling bercakap karena tidak lahir dengan lidah serupa. Tetapi ketika dari langit turun sebuah bola, kau dan orang-orang itu tahu apa yang harus dilakukan”.
Sepakbola telah dianggap sebagai jalinan kesepahaman yang melekat dalam setiap intisari pemikiran setiap orang di dunia ini. Ia hidup di alam pikiran setiap manusia, sehingga siapa pun akan mengerti prinsip dasar tentangnya. Menyepak bola adalah hasil kebudayaan paling universal, mengarahkan sepakan ke tempat lowong diantara dua tiang adalah bentuk kebudayaan paling luhur. Nilai luhur sepakbola adalah ketika para pelakonnya nyaris tak membutuhkan bentuk komunikasi apa pun untuk menyepak bola ke tujuan yang sama.
Akan tetapi, berpaling dari pijakan filosofis diatas, benarkah sepakbola dapat dilangsungkan tanpa ada interaksi verbal (berbahasa)?
Domestikasi Peradaban Lebih Tinggi
Saya akan mengawali bagian ini dengan berargumen: Dengan semakin mendunianya olahraga sepakbola, tidak mungkin para aktornya tidak berkohesi dengan aktor dari kebudayaan lain, sehingga dengan sendirinya kesamaan pandangan dan/atau visi perlu dibangun dalam lingkungan entitas sepakbola tertentu (klub atau tim nasional). Urgensi kesamaan pandangan tersebut hanya dapat dibangun dengan pijakan kesamaan pola pikir, yang mana hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa interaksi para aktornya.
Pada titik ini lah kebutuhan berbahasa sebagai sarana komunikasi verbal antar manusia menjadi tidak bisa ditawar lagi. Bahasa menjadi amat penting sebab ia akan menentukan berbagai detail penting terkait keberlangsungan sebuah tim, semisal sejauh mana antar pemain dapat berintegrasi baik di sesi latihan maupun pertandingan sungguhan, seberapa dalam materi taktik terserap oleh pemain, bahkan tingkat keintiman para suporter dengan klub itu sendiri.
Menjadi mudah bila dalam satu tim berisi pemain dengan similaritas bahasa ibu (atau bahasa pengantar), seperti Athletic Bilbao atau Persip Pekalongan. Keduanya menjunjung tinggi bahasa persatuan masing-masing, yaitu Basque dan Bahasa Indonesia. Sebaliknya, bencana akan datang jika dalam satu tim terdapat seorang (atau beberaa orang) yang tak lancar berkomunikasi karena gagal paham bahasa mereka. Lihat kasus Walter Mazzari di Watford, Nolito di Manchester City, David Moyes di Real Sociedad, atau Gary Neville di Valencia. Mereka gagal menyatu, bahkan dihujat publik karena tak kunjung memberi impresi kebahasaan.
Kalau sudah begitu, seorang penerjemah biasanya diberdayakan sebagai asisten ekstra (terutama) bagi seorang pelatih. Penerjemah akan berperan penting menerjemahkan ucapan dari mulut sang pelatih, seperti yang dilakukan Jose Mourinho untuk Louis van Gaal di Barcelona atau Bayu Eka Sari untuk Luis Milla di timnas Indonesia.
Robert Rene Alberts, pelatih yang masih membutuhkan jasa penerjemah di Indonesia
Dalam kajian akademis, penerjemahan dipahami sebagai upaya memperkenalkan pemikiran atau unsur kebudayaan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Sebagaimana dipaparkan Benny H. Hoed dalam majalah jurnal Masyarakat Indonesia keluaran LIPI edisi XXXVII tahun 2011, biasanya bahasa sumber merupakan produk dari kebudayaan atau peradaban yang dianggap lebih tinggi atau lebih maju.
Penerjemahan dilakukan dalam usaha untuk membuat segala pengetahuan dari bahasa sasaran dapat diserap dan dipahami seakurat mungkin oleh masyarakat sasaran. Proses ini lah yang dinamakan “domestikasi”. Lebih jauh lagi, Hoed memercayai upaya penerjemahan (domestikasi) dapat mengubah nasib suatu bangsa di kemudian hari.
Domestikasi dalam konteks sepakbola bisa dipadankan dengan upaya penerjemah menerjemahkan gagasan teknis dari pelatih untuk diejawantahkan di lapangan oleh para pemain. Sudah tentu sang pelatih dianggap memiliki pengetahuan lebih tinggi tentang strategi pemenangan pertandingan (atau kompetisi) daripada asistennya maupun para pemain.
Louis van Gaal yang dari Belanda saja sangat dipatuhi kala melanglang buana ke seluruh Eropa, yang menunjukkan semua pihak benar-benar mempercayai sang meneer. Hal yang sama tentu berlaku untuk Luis Milla yang datang dari negeri mapan sepakbola (Spanyol) ke negeri timur jauh bernama Indonesia. Domestikasi peradaban (sepakbola) lebih tinggi diharapkan bergulir di Indonesia dengan kedatangan Luis Milla.
Sekelompok Pelatih Asing dan Pentingnya Berbahasa Lokal
“Benar, saya memang masih bermasalah dengan komunikasi. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya akan mencoba mencari solusi untuk itu”. kalimat itu terlontar kala Luis Milla menjalani konferensi pers sebagai pelatih timnas Indonesia seperti dilansir FourFourTwo. Kita semua tahu, lidah Milla hanya didesain untuk berbicara bahasa Spanyol, tak kompatibel untuk bicara Inggris apalagi Bahasa Indonesia. Asistennya Miguel Gandia pun tak pernah keluar Spanyol sepanjang kariernya, Eduardo Perez, setidaknya, bisa bicara bahasa internasional, meski belum tentu semua pemain mengerti bahasa internasional.
Adapun Bima Sakti sempat mengatakan ia akan ngobrol menggunakan bahasa Italia dengan Milla, bahasa yang (katanya) agak dipahaminya. Dengan hanya satu staf pelatih yang menguasai bahasa lokal (Bima Sakti), Milla dan staf-staf asingnya belum cukup memberi impresi pada pecinta sepakbola Indonesia.
Bicara soal kesulitan komunikasi antara pelatih dan pemain, contoh terbaik untuk Milla adalah Pep Guardiola. Kebetulan keduanya juga sama-sama berbahasa ibu Spanyol. Pep, menurut saudara sekaligus agennya, mengambil kursus empat jam per hari delapan bulan sebelum sesi latihan pertama dengan Bayern Muenchen.
Jadilah ia sudah bisa meladeni wartawan dengan bahasa Jerman pada konferensi pers pertamanya di Jerman. Contoh lain mungkin Mauricio Pochettino, yang memerlukan 18 bulan di Southampton untuk berbicara bahasa Inggris di depan publik (saat melatih Tottenham).
Bagaimana dengan Milla? Sempat tersiar kabar bahwa pola komunikasi pelatih-pemain di timnas U22 saat ini sungguh rumit: Milla yang berbahasa Spanyol memberikan materi taktik pada tangan kanannya, Eduardo Perez. Perez kemudian membawa pesan sang pelatih ke Bima Sakti menggunakan Bahasa Inggris untuk kemudian disampaikan ke pemain menggunakan Bahasa Indonesia. Rumit. Marinus Manewar “mengonfirmasi” kabar ini dengan menyatakan tidak tahu apa pun dengan perkataan sang pelatih.
Luis Milla dalam sebuah konferensi pers usai lawan Persija
Tidak perlu berspekulasi berapa jumlah pemain kita yang sanggup ber-despacito (baca: berbahasa Spanyol), karena memang bukan itu tugas pemain. Betul, memahami kemauan pelatih adalah rukun yang harus dijalani pemain. Tetapi ketika sang pelatih dibayar mahal agar mau bergelut di sepakbola Indonesia, tentu ia yang harus belajar bahasa kita bukan?
Sampai laga terakhir kualifikasi Piala AFC U23 lalu Milla masih sering terpaku di bangku pelatih. Pada laga dimana Indonesia dipastikan gagal melaju ke putaran final tersebut, kita dapat memetik satu hal: Sepakbola itu berbahasa ambivalen. Di satu sisi ia hanya sedikit (bahkan tidak sama sekali) membutuhkan komunikasi verbal untuk menyadari kesamaan tujuan sebuah tim, yaitu melindungi gawang dari serangan lawan dan sebisa mungkin memasukkan bola ke gawang lawan.
Di sisi lain, tanpa berbahasa, sebuah tim akan mengalami struggling identity, ia akan kehilangan suatu identitas yang harusnya dibangun untuk mengalahkan deretan musuh. Pemain akan bergerak tanpa berkohesi, pelatih akan duduk diam tanpa bisa memberi perbaikan karena tak mampu berkomunikasi.
Belajar lebih giat lagi, Milla!
Penulis adalah mahasiswa yang menganggap dua hal paling menggairahkan di dunia adalah sepakbola dan ilmu politik. Bisa dihubungi lewat @najmul_ula
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar