Oleh: Giffar Kusdyanta
Pernahkah Anda membayangkan menjadi seorang yang begitu terlihat hina di depan banyak orang, bahkan Anda merasa tak ada satu pun orang yang menginginkan Anda? Jika pernah, belajarlah dari seorang Marouane Fellaini.
Kembali ke 2013 silam ketika David Moyes yang baru diangkat menjadi manajer Manchester United, menggantikan Sir Alex Ferguson, mendatangkan salah satu gelandang paling energik di Liga Primer dengan harga 27,5 juta paun bernama Marouane Fellaini. Manchester United yang dikaitkan dengan Francesc Fabregas atau Ander Herrera (nama ini akhirnya menjadi penggawa United) pun mendapatkan cemooh ketika yang hadir justru adalah Fellaini. Ia dianggap tidak sematang Fabregas atau tidak semenjanjikan Herrera saat itu.
Hasilnya? Musim itu Manchester United babak belur. David Moyes hanya berhasil menyelesaikan 10 bulan dari enam tahun kontrak yang ia tandatangani. Fellaini menjadi kambing hitam di setiap pertandingan yang ia mainkan. Musim itu Manchester united seperti sedang menjalankan proyek seri komedi yang begitu layak ditertawakan setiap pekannya.
Selepas Moyes pergi, United kedatangan meneer asal Belanda yang mampu menggebrak dunia di ajang Piala Dunia 2014. Peringkat tiga berhasil direbut, dan suporter United bersorak ria menyambut kedatangan sang meneer. Fellaini? Ia dikabarkan akan angkat kaki dari Manchester, mengikuti mantan manajer yang membawanya ke klub. Setidaknya itulah prediksi sekaligus menjadi harapan seluruh suporter Manchester United.
Kedatangan Ander Herrera, Daley Blind, Angel Di Maria, Radamel Falcao, serta Marcos Rojo seolah membuat Fellaini sudah seharusnya pergi. Bahkan suporter berharap ia adalah orang yang pertama kali ditendang dari skuat The Red Devils. Namun takdir berkata lain. Fellaini cedera secara misterius di saat-saat terakhir bursa transfer, setelah ia dirumorkan selangkah lagi bergabung dengan Napoli.
Takdir adalah sesuatu yang begitu unik. Ia datang penuh dengan kejutan, memupuskan harapan dari seseorang tak jarang juga menghancurkan mimpi seseorang. Setidaknya itulah yang dirasakan suporter Manchester United saat mengetahui di musim 2014/2015 mereka masih akan melihat banyak sikutan dan kartu merah dari seseorang yang tidak diinginkan karena dinilai merugikan.
Jika Anda suporter United, jujurlah pada diri Anda, selepas musim yang begitu buruk Anda percaya bahwa setelah menendang David Moyes, membuang Fellaini adalah cara terakhir untuk mengembalikan kejayaan, kalau perlu jangan pernah menulis nama Fellaini dan Moyes di buku sejarah Manchester United.
Sekarang Anda bayangkan menjadi Fellaini. Analogikan begini: Awalnya Anda baru saja pindah ke sebuah perusahaan. Di perusahaan tersebut tidak ada satu pun yang menyukai Anda selain teman se-divisi Anda sendiri. Setiap Anda masuk ke kantor Anda hanya akan dipandang sinis, bahkan dicemooh dan diremehkan di depan wajah sendiri.
Setiap kali perusahaan tempat Anda bekerja mengalami sebuah kebuntuan, Anda dianggap sebagai penyebabnya, bahkan ketika Anda sedang sakit sekali pun. Seluruh orang di kantor Anda berdoa agar Anda tidak pernah sembuh atau bahkan dipecat karena sakit itu. Saya yakin dalam tiga bulan sebagian besar dari Anda akan memilih hengkang.
Namun Fellaini mengubah segala prediksi. Tidak menyia-nyiakan kesempatan dari cedera yang ia alami, ia bangkit dan perlahan mulai membuka keran golnya dan beberapa kali berhasil memecah kebuntuan yang dialami Manchester United. Diawali oleh gol spektakuler saat melawan West Bromwich Albion, dilanjutkan dengan beberapa gol lainnya.
Singkat cerita musim berganti. Louis van Gaal memasuki musim keduanya dengan gebrakan hebat, mendatangkan dua gelandang tengah yang cukup mumpuni dalam diri Morgan Schneiderlin dan Bastian Schweinsteiger. Cobaan bagi Fellaini pun kembali bertambah dan belum usai. Namanya diprediksi menjadi pilihan nomor lima di bawah Michael Carrick, Morgan Schneiderlin, Ander Herrera, serta Bastian Schweinsteiger, bahkan ia harus merelakan nomer punggungnya (31) bagi Basti.
Di sisi lain, sikap suporter kepadanya tidak banyak berubah. Mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa ada Fellaini di musim itu. Kebanyakan orang berpendapat bahwa Fellaini sudah tidak punya kesempatan, bahkan setelah satu golnya pada pertandingan melawan Club Brugge di kualifikasi Liga Champions memperbesar kesempatan lolos Manchester United ke Liga Champions, suporter United masih tidak peduli.
Musim itu, tepatnya musim 2015/2016, United kembali menjadi lelucon. Kali ini setiap pekan suporter seperti sedang menonton pertandingan catur yang bahkan sama buruknya dari komedi a la David Moyes. Manchester united begitu membosankan ketika bermain. Kendati berhasil menggondol gelar Piala FA (Fellaini menyumbang satu gol di semi-final dan satu asis di final), sekali lagi Fellaini menjadi kambing hitam karena dengan perannya sebagai pemantul bola permainan United menjadi membosankan, monoton, tidak kreatif, dan minim inspirasi.
Van Gaal pergi, Jose Mourinho datang membawa sang anak hilang dari Juventus, Paul Pogba. Fellaini diprediksi akan kembali tersisih, dan duet Schneiderlin-Pogba diprediksi menjadi pilihan utama dan diharapkan seperti itu. Setengah musim berjalan Fellaini terus dipercaya bahkan setelah kecerobohan yang dilakukan saat melawat ke markas Everton pada Desember 2017 yang menyebabkan hilangnya poin di saat krusial.
Amarah suporter membuncah atas hal tersebut. Mereka pun berharap Januari 2018 nomer punggung 27 sudah kembali kosong atau bahkan dipensiunkan dan dianggap nomer sial di Manchester United.
Tapi Jose Mourinho bergeming, memupuskan harapan para suporter dan justru menendang Schneiderlin dan Schweinsteiger keluar dari Old Trafford dan tetap mempertahankan Fellaini. Banyak yang mempertanyakan keputusan Mourinho saat mempertahankan pemain yang bahkan tidak bisa mengumpan panjang, tidak fasih saat mengoper bola datar, ceroboh saat bertahan, dan tidak cukup baik dalam menyerang.
Sosok Jose Mourinho, yang begitu percaya akan kemampuan Fellaini
Meski begitu, pada musim tersebut United cukup berprestasi dan lolos ke Liga Champions dengan gol Fellaini ke gawang Celta Vigo yang cukup untuk meloloskan Manchester United ke final Liga Europa sebelum akhirnya memenangkannya. Semenjak itu Fellaini mulai dicintai para suporter bahkan penampilannya kala berhadapan dengan Real Madrid saat Piala Super Eropa 2017 mengundang decak kagum. Fellaini tampil begitu perkasa dan ia mampu membuat United kembali stabil saat bertahan maupun menyerang.
Sesungguhnya Fellaini bisa saja pergi dengan cepat dari United. Namun, Fellaini seolah berubah dari pemain yang begitu emosional dan tak karuan saat tensi sedang memanas, menjadi seorang yang begitu bijak dan tenang (jika tidak percaya Anda bisa menonton keributan di saat-saat terakhir pertandingan semi-final Liga Europa melawan Celta Vigo). Fellaini bahkan dipercaya mengembah ban kapten pada satu pertandingan resmi untuk tim sebesar Manchester United. Fellaini menjadi pemain yang penting.
Pada akhirnya Fellaini membuat kita belajar bahwa menyerah bukanlah sebuah opsi. Lari sebagai pecundang adalah sebuah kekalahan terbesar. Ia mampu memanfaatkan peluang di saat kesulitan hadir, dan saat itulah ia mendapatkan tepuk tangan dari orang-orang yang membenci dirinya. Sebuah fase pendewasaan yang luar biasa dari seorang Marouane Fellaini.
Penulis berasal dari ibukota, tidak memiliki nama panjang, berasal dari kelas pekerja, melepas penat di akhir pekan dengan menonton Manchester United, bisa dihubungi di akun twitter @sayagiffar
Tulisan ini merupakan hasil kiriman dari penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar