Oleh: Rayhan Muamar
Nan jauh di sana, belasan ribu kilometer jaraknya dari Indonesia, ada sebuah negeri yang dikuasai oleh rezim militer: Brasil. Kondisi Brasil sejak 1965 diduduki oleh pemerintahan militer yang otoriter. Setelah pesta pora kesuksesan Brasil pada Piala Dunia 1970, rezim ini mulai ikut campur. Mereka memanipulasi euforia masyarakat untuk kepentingan politik. Pemerintahan militer Brasil ini menggunakan sepakbola untuk mencerminkan nilai-nilai militer.
Alih-alih mengedepankan keindahan dan kegembiraan bermain sepakbola, pemerintah Brasil justru menekan pelatih kepala Seleccao, Claudio Coutinho untuk mengutamakan disiplin, kepatuhan, serta kekuatan, agar sifat kemiliteran dapat melekat dalam sepakbola Brasil. Bukan hanya ikut campur urusan sepakbola di tim nasional, tapi mereka juga masuk ke dalam aturan-aturan tiap klub. Bahkan para pemain di klub mesti dikarantina sebelum pertandingan, dipaksa mematuhi perintah, dan diawasi pergerakannya.
Pemerintahan João Goulart digulingkan pada 1964. Ia dianggap sebagai socialist threat (ancaman sosialis) oleh militer dan kelompok sayap kanan, yang menentang kebijakan seperti rencana reformasi yang bertujuan untuk mensosialisasikan keuntungan dari perusahaan besar ke arah memastikan kualitas hidup yang lebih baik untuk masyarakat Brasil. Represi dan penghapusan setiap oposisi politik negara menjadi kebijakan pemerintah.
Kediktatoran rezim militer ini membentuk seorang anak, yang kemudian ia tumbuh besar menjadi seorang pesepakbola, berambut ikal, dengan rahang tegas yang dipenuhi bulu. Seorang anak yang kemudian hari menjadi kapten Seleccao di Piala Dunia 1982 dan 1986.
Ia adalah Socrates. Socrates memilih untuk tidak buta terhadap politik sejak usianya 10 tahun, saat ia melihat ayahnya membakar buku tentang kaum Bolsheviks ketika kudeta militer terjadi 1964. Di satu sisi ia pesepakbola, tapi di sisi lain, kepekaan terhadap politik menjadi bagian dari hidupnya.
Socrates memulai karier sepakbolanya di Botafogo, lalu kemudian bergabung dengan Corinthians pada 1978. Mulanya ia ikut aturan klub yang berlaku. Lama-lama ia muak dengan hal itu. Ruang ekspresi kebebasan semakin sempit. Socrates mulai membuat satu pergerakan di Corinthians. Ia bersama rekannya mulai mengkritisi kebijakan klub. Ia mengusulkan agar tugas sehari-hari sebagai pemain, mulai dari urusan makan, tidur, hingga seks, harus didasarkan pada konsensus. Semua harus memberikan suaranya.
Sebuah kesepakatan dicapai dengan presiden klub baru, Waldemar Pires pada awal 1980 yang memungkinkan Socrates dan rekan satu timnya memiliki kontrol penuh dari tim dan untuk membangun dan menjalankan demokrasi klub. Setiap orang mendapat kesempatan untuk berbicara dengan bebas, telah disepakati bahwa setiap ketentuan akan diputuskan secara kolektif.
Kebijakan ini tidak hanya untuk pemain dan staf pelatih, tapi mencakup seluruhnya, termasuk tukang pijat atau tukang bersih-bersih. Satu orang, satu suara, dengan syarat semua orang mendukung putusan mayoritas.
Setelah disepakati bersama, struktur baru ini pertama kali diuji ketika Corinthians menjalani tur di Jepang. Walter Gasagrande, yang pada saat itu berusia 19 tahun, ingin terbang kembali ke rumah untuk menemui kekasihnya. Musyawarah dilakukan, orang-orang berbicara dan menentang Gasagrande dapat kembali ke Brasil. Diputuskan bahwa ia harus tinggal dan Gasagrande menghormati keputusan tersebut.
Bagi Socrates, karier 15 tahun tak berarti apa-apa untuk menggaungkan demokrasi. The Corinthians Democracy atau Democracia Corinthiana, menjadi sebuah media yang diprakarsai olehnya untuk memperkenalkan cara demokratis dalam mengelola sebuah klub sepakbola.
Socrates tidak pernah membatasi hal apapun untuk didiskusikan. Ia mengundang orang-orang di luar sepakbola namun memiliki tujuan yang sama. Seniman, penyanyi, pembuat film, diundang untuk membicarakan berbagai hal.
"Kami mulai membahas banyak hal dan menciptakan suasana yang benar-benar ramah. Setiap orang memberikan pendapat dan mengekspresikan perasaannya ... Pada dasarnya tujuan kami adalah untuk mendemokratisasi ekspresi. Kelompok kami bekerja di dunia sepakbola dan kami memutuskan untuk memilih ... pada segala sesuatu. Segala sesuatu yang diperlukan untuk dibahas ...,” ujarnya.
Sementara matahari perlu beristirahat untuk bersinar, Ia dan kawan-kawannya didampingi malam, dengan beberapa botol alkohol dan mengepul nikotin, membahas dan memberikan “kuliah umum”. Mulai dari bagaimana cara klub harus berhasil, hingga persoalan di perjalanan, kapan bus boleh berhenti untuk memberi kesempatan ke toilet.
Meski masih ada beberapa hal yang tetap ia biarkan, tapi persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, mufakat selalu dikedepankan. Bahkan pada saat pemilihan presiden klub Corinthians di tahun 1982, dalam kertas suara tertulis “Order and Truth” dan “Corinthians Democracy”, Socrates mengatakan bahwa ia akan pensiun dari sepakbola jika sistem oligarki lama menang dalam pemilihan.
FIFA mengkampanyekan bahwa sepakbola tidak boleh dicampuri urusan politik. Sepakbola memang hanya sebuah permainan, sebuah olahraga. Tapi itu hanya berlangsung 90 menit. Lebih dari itu, bisnis, sosial, budaya, bahkan hingga ke politik turut mengekor. Sebetulnya lumrah saja jika sepakbola dijadikan instrumen politik. Berkaca pada pernyataan Bertolt Brecht:
“The worst illiterate is the political illiterate, he doesn’t hear, doesn’t speak, nor participates in the political events. He doesn’t know the cost of life, the price of the bean, of the fish, of the flour, of the rent, of the shoes and of the medicine, all depends on political decisions.”
Tulisan “Democracy” dan “Vote on the 15th” terpampang di seragam Corinthians. Bertepatan pula dengan Brasil yang menyelenggarakan pilkada setempat. Pemilu multipartai pertama sejak pemerintahan otoriter berkuasa tahun 1964. Pada pilkada tersebut, pemerintahan militer kalah. Socrates melalui Corinthians melihat ada momentum untuk terus menekan sampai demokrasi diterapkan di pemilihan presiden.
Corinthians turun ke lapangan dengan slogan ‘win or lose, always with democracy’ terpampang di jersey mereka. Socrates berujar: “That was the greatest team I ever played in because it was more than sport. My political victories are more important than my victories as a professional player. A match finishes in 90 minutes, but life goes on.”
Hal ini membuat suara masyarakat Brasil yang gerah dengan kediktatoran semakin lantang. Golongan sayap kanan menganggap bahwa Corinthians Democracy ini sebagai tindakan yang anarkis dan mengecapnya sebagai “bearded communists”.
Meski demikian, masih banyak dari masyarakat yang menyimpan ketakutan untuk menggunakan hak pilihnya. Mereka takut pemerintah justru makin mengancam dan tidak mengizinkan mereka untuk memilih. Sebagian lainnya merasa bahwa langkah golput adalah yang terbaik. Socrates tampil meyakinkan dalam sebuah wawancara dengan mengatakan bahwa ia tidak terafiliasi pada partai politik manapun. Ia hanya mendorong masyarakat untuk ikut serta dalam pesta demokrasi.
Dengan bakat luar biasa, Socrates jadi incaran beberapa klub papan atas Eropa. Saat sedang disibukkan dengan agenda politiknya, pada 1984 Fiorentina datang merayu untuk membawanya ke Italia. Saat sedang demonstrasi besar pada 16 April 1984, ia berorasi di depan jutaan masyarakat Brasil. Ia mengatakan akan tetap di Brasil jika amandemen UU di Brasil untuk menggelar pilpres secara langsung dapat disetujui. Desakan makin besar, suara makin lantang dari masyarakat Brasil. Tapi sayangnya amandemen tak terwujudkan. Socrates terbang ke Fiorentina.
Bukan Socrates namanya jika ia hanya pindah begitu saja tanpa ada yang dituju. Selain bermain sepakbola, tujuannya ialah untuk mempelajari pergerakan buruh di Italia dari Gramsci. Respon dingin dilontarkan ketika ia ditanya perihal mana pemain yang paling ia kagumi: Mazzola atau Rivera? "Saya tidak tahu mereka. Saya di sini untuk membaca Gramsci dalam bahasa originalnya dan untuk mempelajari sejarah dari gerakan para pekerja,” ujar Socrates.
Ditinggal Socrates ke Fiorentina, perjuangan Corinthians Democracy tak terhenti. Masyarakat Brasil pun ikut bergerak dan semakin meluas jangkauannya. Dalam pergerakan ini, sepakbola secara sadar telah ambil bagian.
Puncaknya, pada 1985 demokrasi kembali ke Brasil melalui voting anggota parlemen mereka, dan rezim pemerintahan militer yang otoriter selesai. Brasil, dalam kata-kata Socrates, mulai menyadari bahwa perubahan politik itu mungkin. Akhirnya Corinthians telah mencapai tujuan mereka untuk membawa kembali demokrasi ke Brasil. Ini adalah mimpi Socrates yang terwujudkan. Masyarakat Brasil mewujudkan perubahan situasi politik di negaranya menjadi mungkin. Melalui sepakbola, berkat Socrates.
Socrates tidak langsung melakukan perubahan yang besar. Ia memiliki posisi lain di hati penggemar. Ia melakukan langkah kecil, mewakili masyarakat, dan perubahan itu terwujudkan. Menggunakan sepakbola sebagai instrumen untuk membantu menghadirkan perubahan yang diinginkan masyarakat.
Socrates dan Corinthians Democracy merupakan bagian dari gerakan yang membantu membebaskan Brasil dari kediktatoran pemerintah militer. Mengingat bahwa sepakbola sebagai olahraga paling populer di dunia, dan di Brasil tentunya, sepakbola pantas untuk menerima sorotan tajam dari masyarakat.
Dalam sepakbola, orang dalam satu tim memang hanya sebelas, tapi memiliki potensi besar untuk membuat dunia lebih waras.
foto: @Corinthians
Penulis pernah merajut kasih selama 7 tahun dengan Jatinangor. Biasa berkicau di akun Twitter @rayhanmuamar
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar