Oleh: Mukhammad Najmul Ula
Crystal Palace menjadi satu-satunya kesebelasan (dari 316 kesebelasan) di 20 liga terbesar Eropa yang belum menjaringkan bola ke gawang lawan. Roy Hodgson belum membawa angin perubahan. Kurang lebih demikian keadaan di Selhust Park. Terakhir kali dijumpai kesebelasan Liga Primer Inggris yang berprahara serupa ialah pada musim 2009/2010, kala Portsmouth sedang sekarat akibat krisis finansial.
Belum pernah bikin gol di tujuh laga awal. Nirkemenangan tanpa mampu meraih hasil imbang. Winger Wilfried Zaha cedera di pertandingan pertama. Manajer Frank de Boer dirumahkan sesudah empat pertandingan. Penyerang utama Christian Benteke menepi mulai pekan ketujuh, menjadikan semua striker tak bisa tampil. Kapten Scott Dann cedera sesaat sebelum laga versus Manchester United. Itu semua adalah masalah yang menimpa The Eagles di pekan-pekan awal Liga Primer 2017/2018.
“Semua itu telah terjadi dan kami harus menerima kenyataan bahwa kami laksana petinju yang bertarung di kelas yang tak sanggup ia tangani. Kami terus dihujam dan sudah tersungkur, tetapi kami berusaha merespon, tidak ada niatan tergeletak di kanvas,” begitu analogi Hodgson pasca laga di Old Trafford seperti dilansir The Guardian.
Bila mau jujur, Hodgson tak sepenuhnya bersalah atas ihwal ini. Ia menerima estafet manajerial dari tangan Frank de Boer, orang yang menganggap mudah mengubah paradigma taktik para pemain yang telah dibentuk oleh Sam Allardyce—pelatih sebelumnya.
The Eagles sebetulnya pernah mengalami nasib serupa pada musim 2013/2014. Saat itu tim di bawah bimbingan Ian Holloway baru saja promosi dan tak mampu beradaptasi dengan tuntutan Liga Primer. Tim yang nyaris tak berubah dari musim sebelumnya itu bisa dibilang masih “bertaraf Championship” setidaknya hingga Holloway diberhentikan pada November.
Palace digadang-gadang akan melanjutkan rekor tak elok: selalu degradasi pada musim pertama setelah promosi ke level tertinggi. Pelatih maha defensif Tony Pulis didatangkan untuk kemudian mengubah wajah kesebelasan menjadi amat garang dengan karang kokoh di bibir pertahanan. Pulis menyuntikkan rasa percaya diri pada para pemain seolah mereka telah bertahun-tahun bertungkus-lumus di Liga Primer. Mahakarya Pulis berbuah sintas, dan menjadi fondasi bagi manajer-manajer Palace berikutnya.
Lalu kenapa nestapa semacam itu kembali terulang? Para penggemar boleh mengajukan beragam penjelasan. Tetapi telunjuk pantas mengarah pada jajaran manajemen. Sang chairman, Steve Parish harus bertanggung jawab setelah hanya menghadirkan Ruben Loftus-Cheek, Timothy Fosu-Mensah, Jairo Riedewald, dan Mamadou Sakho.
Dua nama pertama digaet hanya karena kemurahan hati kesebelasan pemiliknya meminjamkan pemain muda tersebut. Nama ketiga bisa dibujuk lebih karena kedekatan dengan manajer De Boer. Sementara nama terakhir tidak lain merupakan buah gerakan terburu-buru jelang tenggat transfer, meski Sakho pada musim lalu juga dipinjamkan ke Palace. Dengan jumlah kedatangan cuma empat prajurit, Palace rawan diterpa keguncangan apabila dihujani cedera dan akumulasi kartu. Pekan ketujuh menjadi titik terendah setelah Hodgson tak memiliki satu pun penyerang senior.
Publik rasanya masih ingat apa alasan Tony Pulis—yang bekerja keras mengangkat Palace hingga dianugerahi gelar manajer terbaik liga- memilih mengundurkan diri hanya dua hari sebelum sepak mula musim berikutnya. Pulis mencoba jujur kepada publik dengan mengatakan ia gerah hanya diberikan Fraizer Campbell, Martin Kelly, dan Brede Hangeland. Ia meminta sejumlah rekrutan lain dan yang ia terima hanyalah janji palsu dari manajemen.
John Cross dalam kolomnya di Daily Mirror berujar Steve Parish tidak mengerahkan segalanya untuk memuaskan manajer-pembawa-keajaiban itu meski dirinya terlibat dalam setiap proses transfer kesebelasan. Pulis segera menyadari ia tak dapat bekerja berdampingan dengan Parish secara jangka panjang, sehingga memilih menyerah meskipun telah menyiapkan skuat selama lima minggu masa pra-musim.
Parish lantas menunjuk pelatih veteran, Neil Warnock, yang oleh karena rentetan hasil mengecewakan juga terpaksa diganti pada Desember. Alan Pardew masuk guna menghadirkan stabilitas dan kemampuan untuk lebih menyerang, walaupun pada akhirnya didepak medio musim lalu akibat krisis kemenangan. Pelatih anti-degradasi Sam Allardyce bersedia menakhodai kapal yang nyaris karam, dan memutuskan pensiun saat kapal itu sanggup balapan lagi.
Sang bos (Parish) kembali dihadapkan pada tanggung jawab mencari manajer. Kandidat pertamanya, Marco Silva, malah terbang ke Porto saat penjajakan awal. Berlandaskan pada keinginan untuk meninggalkan gaya main konservatif Big Sam, Parish menelepon Frank de Boer.
“Kami semua telah menjatuhkan pilihan untuk bermain sepakbola dengan gaya ‘ekspansif’”. Ekspansif yang dimaksud Parish bisa dicerna sebagai upaya meninggalkan cara lama menunjuk pelatih Britania, yakni dengan menunjuk manajer dari seberang lautan yang memiliki pendekatan strategi berbeda.
Biarpun begitu, pendulum berbalik hanya 77 hari setelah pengumuman membahagiakan itu. “Tentu saja performa kami tidak bagus, dan aku paham orang-orang berucap empat pertandingan tidak cukup. Namun Frank sudah di sini sejak 1 Juli dan aku berpikir itu (gagasan Frank) tidak akan bekerja. Jika (pemecatan) ini membawa hasil yang kita harapkan, maka aku bertindak sembrono bila tidak melakukannya (memecatnya),” begitu alibi Parish dikutip dari Daily Mail.
Misi pencarian manajer baru segera menghasilkan nama Roy Hodgson, pria 70 tahun yang terakhir kali menangani sebuah klub lima tahun lalu. Biarpun rezim Hodgson baru berusia tiga laga, tetapi tidak menghilangkan realita bahwa ia belum menghadirkan sebiji gol pun, raihan imbang, apalagi kemenangan. ‘Hasil yang diharapkan’ Parish tidak kunjung datang. Jangan-jangan kesembronoan Parish terletak pada ketergesaannya memecat de Boer?
Bila mencermati pola pembaiatan manajer Crystal Palace di Liga Primer oleh Steve Parish, kita akan menemukan pendirian Parish yang labil dan tak tentu arah. Menurut Paul Hayward di The Telegraph, pemain Palace mudah mengalami “gegar taktik” tiap kali pergantian manajer. Bermula dari Tony Pulis ke Alan Pardew, berlanjut ke Sam Allardyce lalu Frank de Boer, hingga Roy Hodgson saat ini.
Pendekatan masing-masing manajer amat bertolak belakang, dan cenderung zigzag: konservatif-kaku>moderat-indah>konservatif-kolot>ekspansif-indah. Perubahan-perubahan ini, meski tidak seekstrem ulah Maurizio Zamparini di Palermo, dapat berakibat instabilitas dan inkonsistensi penampilan tim di kompetisi. Bandingkan dengan Bournemouth bersama Eddie Howe atau Stoke City dengan Mark Hughes, misalnya.
Penggemar hanya bisa berharap Hodgson mampu menghadirkan sentuhan magisnya, seperti ketika ia menjaga Fulham dan West Brom di Liga Primer. Perjalanan menuju sintas masih tersisa delapan bulan, dan seperti yang Hodgson katakan, Palace tidak akan 38 kali menghadapi Manchester United atau Manchester City.
Terdapat banyak laga “lebih ringan” yang bisa dimanfaatkan sebagai lumbung poin. Tapi jangan lupa, pada gameweek kedelapan nanti, Palace akan manjamu Chelsea. Lawan berat lainnya. Seolah nasib baik belum mau menghampiri mereka. Jelas diperlukan banyak tenaga baru pada Bulan Januari, seperti halnya serangkaian pembelian pada Januari musim lalu. Kita akan menantikan apakah musim depan Selhust Park masih akan memanggungkan Liga Primer atau tidak.
Penulis adalah seorang penderita rabun politik, dan anggap saja pesepakbola gagal yang tak mau meninggalkan lapangan hijau. Bisa dihubungi lewat @najmul_ula
Tulisan ini adalah hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar