Oleh: Vyatra Yosep Sudiro Ohowutun
Dear Persipura…
Sebelum bercerita banyak tentangmu izinkan aku bernostalgia bagaimana aku mengenal olahraga dengan romantisme tiada tara ini: sepakbola. Tiap orang memiliki ceritanya sendiri saat mulai menyukai sepakbola, ada yang “diracuni” orang tuanya, sahabatnya, bahkan kekasihnya. Iya, kekasih…
Semasa kuliah dulu, aku memiliki teman lelaki, yang akhirnya menyukai sepakbola karena jatuh hati dengan seorang wanita yang ternyata seorang Gooners, jadilah temanku itu, sekarang menjadi bagian dari mereka yang tak pernah lelah mengungkit era Invicibles, sebagai eskapisme kejayaan Arsene Wenger yang masih tersisa.
Aku sendiri justru mengenal sepakbola dari sebuah pertempuran “memperebutkan remote televisi” saat ingin menonton Power Rangers. Saat itu bapak sedang khusyuk menyaksikan pertandingan sepakbola babak semifinal Divisi Utama Liga Indonesia musim 1995-1996, dan tim yang tampil sore itu adalah kamu, Persipura Jayapura.
Sadar aku tidak mungkin memenangkan pertempuran itu, aku terisak sambil duduk di samping bapak, mulai menonton dan menanam bibit cinta untukmu. Saat itu aku menyaksikan gol-gol dari Alfred “Si Kijang” Repasy, alm. Ritham Madubun, dan Eduard Ivakdalam menjadi tidak berarti karena PSM Makassar yang dipimpin jagoan Brazsl bernama Luciano Leandro, memasukkan 4 gol dan membawa tim Juku Eja masuk ke final.
Sesungguhnya perkenalan yang tidak begitu manis itu justru membekas teramat dalam. Aku terpesona melihat sekumpulan putra lokal Papua bisa merepotkan Juku Eja yang diperkuat bule-bule Brasil macam Marcio Novo, Luciano Leandro dan nama yang terdengar romantis Jacksen Fereira Tiago. Hari-hari berlalu dan bapak tak pernah lelah mendoktrin “Klub terbaik di Indonesia adalah PERSIPURA nak!!!”
Dear Persipura…
Selain prestasimu masuk babak delapan besar di liga edisi berikutnya, sejujurnya namamu tidak terdengar penuh pesona bagi pecinta sepakbola Indonesia di era 90an sampai dengan 2000an awal. Ketiadaan pemain asing, dan jauhnya Jayapura, membuat kamu seolah-olah hanya pelengkap bagi sepakbola nasional. Namun hati yang terlanjur tertaut dan doktrin (tak kenal lelah) adalah kombinasi yang tepat membuat cintaku tetap bertahan, dan jauh lebih hebat dari sebelum-sebelumnya.
Tumbuh menabung memori dengan menjadi saksi saat putra-putra terbaik Papua macam Robert Lestuni, Peter Werbabkay, Andy Kopouw, Edu Ivakdalam, Ferry Youwe, Ronny Wabia, Abdul Haji Mayor, sampai era Eduard Isir, Yusack Marani, Victor Pulanda, Sonny Papara, dan pemain asing rasa lokal Jimmy Suparno beraksi, adalah masa-masa terindah memupuk rasa cintaku padamu, pada sepakbola.
Di era itu pula keinginanku melihat kamu diperkuat pemain asing terjawab, saat Bako Sadissou dan Ebanda Timothy dikontrak sebagai pemain asing pertama, dan tentu memori yang paling menguras air mata bangga adalah saat The Legend Paitua Edu Ivakdalam berdiri gagah di panggung juara, mengangkat trofi Divisi Utama 2005 (saat itu Divisi Utama adalah level tertinggi di sepakbola Indonesia). Semakin lengkap karena Christian Warobay diumumkan sebagai pemain terbaik kala itu.
Aku menangis gembira, saat gol Ian Louis Kabes melengkapi gol Boaz Solossa dan Korinus Fingkreuw, menggenapi takdirmu sebagai juara. Setelah dua kali tertinggal, kamu berdiri gagah sebagai yang terbaik. Jayapura penuh lautan manusia menyambut pahlawan mereka pulang berlaga.
Kamu memang gagal melaju ke delapan besar di edisi berikutnya, dan hanya menjadi runner-up Copa Dji Sam Soe sebagai gelar hiburan, tapi tahun juara 2005 adalah tonggak awal bagi sejarah panjang kejayaanmu.
Dear Persipura…
Di tahun 2017 ini, saat ketika suportermu yang tersebar di seluruh Indonesia, kamu justru tertatih memperjuangkan ekspetasi besar kami. Tertahan di luar peringkat dua besar sampai matchday ke-31 adalah sesuatu yang “bukan kamu banget”, jika meminjam kalimat kids zaman now. Akal sehat seorang suporter sepakbola diuji sedemikan hebat.
Para suportermu berusaha mencari pembenaran dengan menyalahkan ketidaksigapan manajemen dalam mencari sponsor, sebagian lagi menjadi pelatih nir-lisensi yang berusaha “mengatur’ formasi terbaik.
“Harusnya pakai formasi ini”
“Harusnya Boaz main jadi striker, Kenapa Boaz dimainkan sebagai pemain tengah”
“Harusnya Persipura tidak melepas Ricardinho ”
“Harusnya ambil Jacksen Tiago. Pelatih sekarang miskin prestasi”
Penyakit migrain-ku mendadak kumat, tiap mendengar “keharusan” itu. Padahal hanya satu keharusan di dunia ini “Menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa”. Beberapa lagi menjadi talent scout dadakan saat mereka-reka pemain mana yang harus direkrut, sungguh konyol.
“Persipura harus cari sponsor besar seperti perusahaan tambang itu, atau lobi kembali perusahaan itu supaya bisa beli pemain bagus dan berprestasi lagi"
Oh iya aku lupa, sebagian lagi menjadi sok baik dan memilih untuk tidak menyalahkan pihak internal dan menyerang pihak luar, maka “wasit goblok’ dan “PSSI Goblok” masih menjadi pilihan populer.
Sekali lagi, akal sehat memang diuji sedemikian hebat di saat-saat ini. Di antara kesedihan itu, aku tak sampai hati berteriak-teriak menuntut dan menghakimimu. Apalah aku ini yang hanya memiliki CV sebagai manajer dan pengelola klub sepakbola sekelas konsol game bertema manajer klub sepakbola.
Saat kamu berlaga di dunia nyata, karir kepelatihanku hanya sebatas dunia maya, tapi aku tak cukup tega melemparkan kesalahan ke wasit atau petinggi sepakbola negeri ini. Mereka memang bobrok namun berkilah tanpa berbenah, rasanya bukan pilihan bijaksana.
Dear Persipura…
Kita sama-sama tahu pengelolaan sepakbola Indonesia memang tak becus dan suka tidak suka kamu adalah bagian di dalamnya. Susah menalar fakta, bahwa klub bergelimang prestasi, kesulitan mendapatkan sponsor. Bagiku (yang sok tau ini), penyebab itu semua adalah terbiasanya kita disuapi dana besar.
Sekian lama “disuapi” APBD, jelas meninggalkan penyakit parah bagi kemandirian klub sepakbola. Suka atau tidak aku harus jujur, kamu jelas terkena dampak itu. Aku ingat kamu menjuarai dua gelar ISL di edisi 2008-2009 dan 2010-2011 dengan sponsor perusahaan semen dan bank lokal, sebelum di edisi 2012-2013 didanai perusahaan tambang itu. Di balik rasa senang, hatiku sebenarnya gundah, dana besar yang disuapi terus-menerus akan menjadi bibit penyakit manja bagi para suporter sepakbola Indonesia.
Lewat dana besar, baik APBD dahulu kala dan perusahaan besar (saat APBD diharamkan), kita jadi lupa dengan cara mandiri mengurusi klub. Mengurusi penjualan tiket, penjualan merchandise, sampai hak siar (walaupun untuk poin ini fakta yang ada jelas menjadi sesuatu yang menjengkelkan) menjadi pilihan tak populer, karena “menunggu uang turun” akan jauh lebih mudah. Sekarang saat semua dituntut mandiri, harapan besar terhadap sponsor yang mengucurkan dana besar masih menjadi pilihan utama.
Kita terbiasa disuapi “dana besar’ sampai lupa turunnya animo penonton di stadion karena dijual lebih mahal oleh calo, berdampak besar bagi pendanaan klub. Kita terbiasa disuapi “dana besar’ sampai lupa banyak merchandise-mu yang dijual dengan kurang tertib dan sama sekali tiak memberikan kontribusi terhadap klub.
Aku jelas memiliki keluguan bisnis jika berharap nilai dari penjualan tiket menyamai nilai dana dari sponsor, begitu pun hak siar dan penjualan merchandise, apalagi untuk industri sepakbola Indonesia dengan level seadanya ini. Tapi dari sudut pandangku sebagai suporter sepakbola, semua poin itu adalah kesatuan yang saling mendukung. Perusahaan besar sebagai sponsor menilai profesionalitas sebuah klub lewat suporternya sebagai citra klub, bukan prestasi semata.
Perusahaan manapun akan takut berinvestasi jika melihat Stadion Mandala sepi pengunjung, ataupun merchandise bajakan klub bertebaran di mana-mana tanpa dikelola dengan baik (terakhir kali aku tahu ada salah satu toko khusus di Jayapura yang menjual merchandise klub) dan ini diperparah dengan kenyataan “lucunya” pembagian hak siar.
Jumlah penduduk kota di Jayapura yang tidak banyak menjadi salah satu alasan perusahaan besar tidak berani menjadi sponsor. Tapi rasanya kebiasaan kami sebagai pendukung-lah yang jadi pertimbangan utamanya.
Kita tidak bisa seenak perut menuntut perusahaan tambang itu untuk terus mendanai, tanpa sedikit pun berbenah. Mau sampai kapan? Jika narsisme “menuntut hak" terus kita pelihara, lalu bagaimana dengan saudara-saudaramu, saudara-saudara kita yang lain macam Persimer, Persiwa, Persigubin, Yahukimo FC, Perseru, Persimi Sarmi ,atau bahkan Persemi Mimika yang jelas-jelas berada di tempat perusahaan itu beroperasi mereka juga saudara kita, bagian dari sepakbola Papua, yang juga punya hak?
Dear Persipura…
Maafkan kami yang tak mampu, menjadi suporter yang baik, suporter yang menghidupi bukan membebani. Membebanimu dengan membiarkan merchandise bajakanmu beredar dan ikut serta membelinya, membebanimu dengan membiarkan calo tiket merajalela tanpa berusaha bersikap kritis. Membebanimu dengan terus menuntut dirimu berbenah, tapi terlalu pongah untuk ikut berbenah.
Dear Persipura…
Siapapun boleh punya versi sendiri tim mana yang pantas mendapat predikat terbaik di Indonesia, namun bagiku jelas sudah jawabannya. Pilihanku jelas hanya subjektivitas semata. Subjektif bahwa kamu adalah tim dengan gelar liga terbanyak. Subjektif bahwa kamu adalah penghasil pemain lokal yang menjadi pencetak gol terbanyak di Indonesia. Subjektif bahwa kamu klub di era sepakbola Indonesia modern dengan perjalanan paling jauh di level sepakbola Asia. Subjektif bahwa kamu adalah klub dengan peringkat di Asia terbaik untuk level Indonesia (per 1 Oktober ada di peringkat 31 Asia).
Dear Persipura…
Sampai kapanpun aku akan mendukungmu. Jatuh cinta padamu adalah hal paling tulus dalam romansa cinta-ku. Aku pernah menyimpan sakit hati yang cukup lama karena, dikecewakan kekasih, tapi aku tak akan pernah menyimpan sakit hati sekali pun (musim ini) dikecewakan olehmu.
Salam…
Nb : Surat Cinta ini ditulis, untuk menghibur diri setelah mendengar Persipura harus takluk dari saudaranya Perseru, dan membuat peluang juara semakin berat
Penulis adalah seorang application consultant. Biasa berkicau di @josephvyatra
Tulisan ini adalah hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Isi dan opini di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis
Komentar