Oleh: Eko Noer Kristiyanto
Jagad dunia maya dibuat heboh oleh pernyataan Via Vallen. Melalui Instastory akun Instagram miliknya, pelantun lagu “Sayang” ini menyatakan bahwa dirinya merasa dilecehkan seorang pemain sepakbola kondang yang mengiriminya kata-kata tidak pantas sehingga terkesan menganggap dirinya sebagai perempuan murahan.
Tak hanya mengumbar pelecehan yang dialaminya, Via Vallen juga menyertakan percakapan berikutnya juga menyatakan bahwa dirinya telah memblok akun pesepakbola yang berkarier di Indonesia tersebut.
Kasus ini mencuat dan menjadi perbincangan publik karena melibatkan sosok populer di masyarakat. Sang pesepakbola tertuduh pun hingga detik ini kolom komen akun Instagramnya masih terus dibanjiri bully dari para warganet walau menonaktifkan kolom komentar di sejumlah unggahan.
Kejadian ini merupakan satu contoh ketika seorang pemain sepakbola profesional tak mampu mengontrol ekspresi seksualnya. Sebenarnya lebih banyak lagi kasus serupa namun tak terungkap ataupun hanya menjadi obrolan temporer. Maka tak heran banyak yang merasa bahwa Via Vallen hanya tebar sensasi. Melalui tulisan ini saya ingin berbagi pengalaman empirik terkait hal-hal tersebut, utamanya cerita ketika masih aktif sebagai wartawan olahraga.
Libido Tinggi Atlet
Sheryl Failes, mantan istri legenda sepakbola Inggris, Paul Gascoigne, mengatakan lewat bukunya yang berjudul Stronger: My Life Surviving Gazza, bahwa Gascoigne selalu meminta bercinta, setidaknya, 10 kali dalam sehari. Oliver Kahn, legenda Jerman, meninggalkan istrinya yang tengah mengandung anak ketiganya untuk bisa berhubungan dengan perempuan lain. Mark Bosnich dan Dwight Yorke pernah terlibat skandal seks di mana mereka mengundang empat perempuan ke rumah Yorke. Karim Benzema terasing dari timnas Perancis setelah skandal seksnya terungkap.
Baca juga: Kasus Pelecehan Seksual oleh Pesepakbola
Sejurus dengan skandal-skandal seks di atas, pada sebuah jurnal yang membahas hormon dan testosteron disebutkan bahwa testosteron atlet yang menang pertandingan akan lebih tinggi dari sebelum pertandingan. Berlaku juga bagi yang kalah, testosteron akan menurun setelah pertandingan. Maka kelirulah anggapan bahwa seorang atlet akan kehilangan gairah seks akibat kelelahan setelah berlatih dan bertanding.
Dalam suatu perbincangan dengan seorang dokter yang biasa menangani pesepakbola, tak dimungkiri olehnya bahwa libido seks pesepakbola memang bisa lebih besar karena hormon-hormon yang terpicu akibat latihan intens. Sang dokter mengatakan bahwa untuk meredam letupan libido cara terbaik adalah dengan berpuasa. Saran dokter ini selaras dengan apa yang diajarkan agama untuk mereka yang belum menikah namun memiliki hasrat seks yang tinggi.
Ketika masih aktif menjadi reporter untuk program olahraga di salah satu TV swasta Bandung, saya melihat dan mendengar banyak hal vulgar terkait aksi seksualitas pesepakbola. Dari mulai pemain yang menyewa perempuan panggilan ke hotel, pemain yang rutin pelesir ke lokalisasi, pemain yang gemar mengunjungi tempat pijat dan karaoke "plus-plus", hingga pemain yang memanfaatkan popularitas untuk mengeksploitasi para fans perempuan.
Untuk yang terakhir saya mendengar sendiri dari seorang teman bahwa dirinya hampir diperkosa oleh salah seorang pemain yang berposisi sebagai penjaga gawang. Modusnya cukup simpel: perjumpaan saat “jumpa fans” berlanjut kontak telepon lalu mengajak si fans ke mes atau tempat pemain menginap. Posisi antara idola dan fans akan dimanfaatkan oleh sang pesepakbola untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Tapi ternyata tak semua rencana berjalan lancar. Banyak juga fans perempuan menolak karena mereka hanya berpikir untuk mengobrol dengan pemain favorit mereka. Tidak lebih dari itu. Teman saya salah satunya.
Ada beberapa yang mendapat paksaan hingga syok namun hampir semuanya tak berani melaporkan dan menempuh jalur hukum. Penyebabnya bisa jadi karena malu dan posisi pemain yang terlanjur dianggap selebritas di masyarakat. Ada kekhawatiran jika melapor malah dituding cari sensasi dan dimusuhi oleh sesama fans karena mengganggu kekondusifan tim.
Mereka yang bukan fans dan tak mengidolakan pesepakbola malah berani melapor ke pihak berwajib, contohnya adalah seorang pramugari yang melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemain asing asal Brasil terhadap dirinya. Kasus ini sempat menyita perhatian publik sekitar enam tahun lalu, bahkan hingga kini beritanya masih dapat ditelusuri.
Attitude
Pemain sepakbola adalah pesohor dunia olahraga. Popularitas mereka melebihi atlet-atlet bidang olahraga lain. Top of the top. Terlebih mereka yang menjadi pemain di klub-klub dengan nama besar seperti Persib Bandung, Persebaya Surabaya, Persipura Jayapura, Persija Jakarta dan sebagainya.
Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah bagi mereka yang tak siap menjalaninya. Perasaan geer, merasa dianggap penting, bahkan merasa dicintai publik seringkali menjadi bumerang yang bisa menjatuhkan diri.
Beberapa hari yang lalu, tepat sebelum kejadian yang menimpa Via Vallen, beredar pula di kalangan bobotoh -pendukung Persib- cerita tentang salah seorang pemain Persib yang tengah mendekati perempuan dengan cara yang norak menjurus kampungan. Screen shot percakapan sang pemain dengan sang target melalui DM media sosial menyebar luas dan menjadi bahan tertawaan, terlebih sang pemain pun tengah dalam performa yang buruk dan dianggap menjadi titik lemah tim saat Persib dipermalukan Bhayangkara FC di kandangnya sendiri. Masih mending karena langkah sang pemain untuk mendekati target terhenti karena perasaan tak nyaman dari target.
Secara umum kesalahan terbesar dari pemain sepakbola jenis ini adalah: karena sang pemain merasa populer, dikenal orang, banyak yang ingin berfoto, maka perempuan yang bisa melakukan komunikasi dengan sang pemain adalah sosok yang beruntung karena `banyak loh yang pengen kenal/dekat gue`.
Mental takabur ini pula yang akhirnya akan menganggap perempuan yang merespons komunikasi berarti ngefans dan mengidolakannya. Sebagai idola, sang pemain lantas merasa boleh berbuat sesuka hati.
Baca juga: Pelecehan Seksual dan Meredupnya Karier Adam Johnson
Pendidikan adalah hal penting dalam pembentukan karakter. Jika dibandingkan dengan atlet lain seperti basket, renang atau bulutangkis, yang rata-rata sempat mengenyam pendidikan tinggi seperti universitas, pesepakbola secara umum tidak mengalaminya. Namun bukan berarti itu menjadi alasan pembenar bagi mereka untuk tak mengontrol perilaku dan berbuat seperti individu tak terdidik, karena pendidikan tinggi tak menjadi syarat mutlak seseorang untuk menjadi pribadi terhormat.
Pengendalian diri adalah kunci utama. Menjadi profesional berarti menjaga juga persepsi publik terhadap profesi yang ditekuni. Jangan sampai pesepakbola dikenal tak hanya jago buat onar di lapangan tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat.
Menjadi publik figur bukan perkara sederhana. Di sana tersemat pula tanggung jawab moral karena akan begitu banyak generasi muda yang mengidolakan sang pemain. Menjadi pemain profesional adalah kesempatan untuk membawa satu generasi ke arah yang lebih baik.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan pernyataan dari salah seorang ikon sepak bola nasional yang layak diteladani oleh berbagai segmen tanpa melihat bendera klub yang di dukung: Bambang Pamungkas. Ia pernah mengatakan bahwa profesional dan popularitas bagi seorang pemain sepakbola hadir beserta tekanan, tuntutan dan tanggung jawab di luar lapangan hijau. Sungguh saya sepakat dengan pernyataan ini!
foto: odysseyonline.com
Pegiat hukum olahraga, berakun twitter @ekomaung.
Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar