Oleh: Ahmad Indra Pranata*
Bulan Oktober lalu, kita menyaksikan hal yang aneh di sepakbola Indonesia. Hal aneh tersebut adalah adanya pertandingan sepakbola yang digelar tanpa dihadiri penonton. Pertandingan hanya dihadiri oleh para pemain dan ofisial tim di lapangan.
Adalah pertandingan antara Persib Bandung melawan Madura United pada Selasa, 9 Oktober 2018, di Stadion Batakan; dan PSS Sleman melawan PSIM Jogja pada Rabu, 10 Oktober 2018, di Stadion Maguwoharjo yang harus digelar dalam sepi.
Kedua pertandingan ini berlangsung tanpa penonton dikarenakan dua hal yang berbeda, walau pada dasarnya memiliki alasan yang sama. Persib yang bertindak sebagai tuan rumah terusir dari Bandung dikarenakan sanksi yang dikeluarkan Komisi Disiplin PSSI terkait kekerasan suporter yang menewaskan satu Jakmania di GBLA akhir September lalu. Selain terusir, Persib juga harus rela bertanding tanpa ditemani suporter mereka, Bobotoh, yang juga tidak luput dari sanksi. Sanksi yang diterima oleh Bobotoh adalah larangan memberikan dukungan kepada Persib Bandung sejak keputusan dibuat sampai setengah musim kompetisi tahun depan.
Untuk laga PSS melawan PSIM Jogja, perihal izin dari pihak kepolisian menjadi dasar pertandingan tersebut digelar tanpa penonton. Sehari sebelum pertandingan, Polda DIY mempertemukan suporter kedua kesebelasan asal DIY tersebut. Hasil dari pertemuan tersebut adalah pihak Polda memberikan izin terselenggaranya pertandingan, namun tanpa dihadiri penonton. Pihak Kepolisian juga melarang kedua kubu berkumpul dan konvoi sebelum dan sesudah pertandingan.
Keputusan tersebut diambil untuk mengantisipasi terulangnya kejadian pada saat pertemuan pertama kedua tim di Stadion Sultan Agung, akhir Juli lalu. Saat itu, terjadi pengeroyokan oleh suporter tuan rumah di dalam stadion dan mengakibatkan salah seorang penonton meninggal dunia.
Keputusan untuk kedua pertandingan tersebut mempunyai dasar yang sama: kekerasan dalam sepakbola. Namun kemudian, sebuah keputusan pertandingan harus digelar tanpa penonton seperti menjadi jawaban yang tepat untuk mengantisipasi terulangnya kekerasan dalam sepakbola.
Pertandingan Tanpa Penonton Hanya Solusi Jangka Pendek
Jika diamati, sebuah pertandingan tanpa penonton mungkin bisa menjadi jalan keluar. Namun, ini seakan hanya menjadi solusi jangka pendek. Solusi yang sebenarnya sangat buruk dalam jangka panjang.
Jika pihak PSSI dan Kepolisian tetap melakukan hal ini (pertandingan tanpa penonton) untuk semua pertandingan yang berisiko tinggi, atau menghukum semua tim yang melanggar peraturan dengan partai usiran, maka bisa dikatakan bahwa mereka melakukan pembunuhan kepada sepakbola Indonesia secara pelan-pelan.
Sebuah pertandingan tanpa penonton, atau sanksi tidak boleh mendukung tim bertahun-tahun, bukanlah sebuah solusi yang konkret terhadap permasalahan kekerasan dalam sepakbola. Karena hal itu seakan merupakan sebuah keputusan yang impulsif dan cenderung diputuskan karena desakan publik.
Seharusnya PSSI (dan juga kepolisian) memiliki regulasi khusus untuk pertandingan-pertandingan yang memiliki risiko tinggi. Juga regulasi tentang jenis sanksi yang akan diberikan kepada klub atau suporter terkait dengan kekerasan dalam sepakbola. Selain itu, PSSI juga tidak boleh pilih-pilih dalam memberikan sanksi kepada klub. Yang paling jelas tentu saja adalah dua klub yang menjadi pembahasan di tulisan ini, dengan kejadian yang sama kedua klub (Persib dan PSIM) mendapatkan sanksi yang berbeda dari Komisi Disiplin.
Jika pertandingan tanpa penonton dijadikan solusi, maka jangan heran jika dalam 1-2 tahun ke depan, sebagian besar pertandingan sepakbola di Indonesia akan dilangsungkan tanpa dihadiri penonton. Hal ini karena hampir tiap pekan, selalu terjadi kekerasan dalam sepakbola, yang melibatkan pemain dan suporter.
Kemudian, jika hal ini terus terjadi maka PSSI akan bertanggung jawab atas pemusnahan sepakbola Indonesia secara perlahan.
Pertama, sebuah pertandingan tanpa penonton seperti yang dialami oleh Persib Bandung, dalam jangka panjang akan membuat terputusnya generasi emas dalam sepakbola Indonesia. Kenapa? Karena jika semua pertandingan sepakbola dilaksanakan tanpa penonton, maka (mungkin) tidak akan ada anak-anak yang bercita-cita sebagai pesepakbola. Karena salah satu motivasi seorang anak untuk menjadi pesepakbola adalah bermain untuk klub lokal idamannya, disaksikan oleh ribuan pasang mata, dan disemangati oleh para suporter.
Jika sebuah pertandingan tidak boleh disaksikan penonton, itu akan menurunkan motivasi mereka untuk menjadi pemain bola professional; mungkin akan mengubah cita-citanya menjadi pembawa acara program televisi.
Tidak adanya anak-anak muda yang bercita-cita menjadi pesepakbola, tentu akan berdampak langsung pada kelangsungan sepakbola Indonesia. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ketua Umum PSSI yang kita cintai, Edy Rahmayadi, yang mengatakan bahwa di Indonesia, jumlah pemain sepakbola profesional masih sangat sedikit; kurang dari 10 ribu pemain. Hal inilah berkaitan langsung dengan prestasi tim nasional, dan (menurut Ketum PSSI) berkaitan juga dengan munculnya kekerasan dalam sepakbola.
Kedua, jika semakin banyak pertandingan dilangsungkan tanpa penonton akan membuat klub-klub kecil akan kewalahan untuk sekadar hidup. Seperti kita ketahui, kesebelasan kecil di Indonesia, khususnya Liga 2 ke bawah, masih menggantungkan pendapatan mereka dari penjualan tiket pertandingan.
Mereka tidak bisa berharap banyak dari sponsor ataupun kompensasi hak siar. Jika di luar negeri, pertandingan kandang sebuah klub medioker selalu sepi, namun dia mendapatkan uang dari hak siar dan juga sponsorship dengan jumlah yang cukup untuk menutupi biaya operasional tim. Berbeda dengan di Indonesia yang sponsor (mungkin) bejibun, tapi hanya meng-cover 1/10 dari total kebutuhan klub. Bagaimana dengan hak siar? Jauh panggang dari api. Tidak jelas pembagiannya.
Sebuah pengakuan dari satu klub yang sering disiarkan TV, ternyata mereka tidak mendapat sharing profit sepeser pun dari TV yang bersangkutan, karena pihak TV telah membeli hak siar kepada PT Liga. Sehingga, kebijakan memberikan sharing profit ada di pihak Liga.
Otomatis, jika sebuah klub dijatuhi sanksi menggelar pertandingan tanpa penonton, maka yang akan terjadi adalah klub ini makin merana dan menderita. Sanksi tidak akan membuat klub ini jera, namun akan membuatnya mati perlahan. Bukan hilangnya kekerasan, yang ada adalah hilangnya eksistensi sebuah klub dari kompetisi karena tidak mampu membiayai operasional tim.
Pada akhirnya, untuk sepakbola Indonesia, kehadiran fans di stadion masih sangat penting. Selain untuk memberikan dukungan, juga penting bagi kelangsungan hidup dari suatu klub. Diharapkan, para pemangku kebijakan yang berperan dalam kelangsungan sepakbola di Indonesia memiliki jalan keluar terbaik, bukan jalan keluar yang bersifat tergesa-gesa atau karena adanya dorongan dari satu pihak. Saya rasa PSSI punya peran sentral untuk bisa mengatasi kekerasan dalam sepakbola. Paling dekat adalah membuat regulasi yang tegas tentang kekerasan dalam sepakbola. Selain itu, PSSI juga harus konsisten dalam menerapkan regulasi, agar tidak ada lagi pilih-pilih dalam pemberian sanksi.
Jangan sampai anak cucu kita tidak pernah merasakan atmosfer langsung nonton di stadion. Atau Cuma mengenal stadion sebagai tempat yang negatif. Sehingga memunculkan sebuah stigma buruk, bahwa datang ke stadion sama dengan datang ke tempat yang berkonotasi dengan kerusuhan. Juga, jangan sampai PSSI yang fungsi utamanya adalah membuat sepakbola Indonesia berprestasi, malah membuat sepakbola mati secara perlahan.
foto: liga-indonesia.id
*Penulis adalah penikmat sepakbola lokal. Bisa ditemui di akun @mamas_ahmad
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar