Oleh: Yeremias Fade*
Piala Asia U-19 tahun ini telah usai. Secara mengejutkan, Arab Saudi berhasil menjadi kampiun usai menekuk Korea Selatan 2-1 pada partai puncak yang dihelat di Stadion Pakansari, Bogor. Keberhasilan tim Green Falcons menjadi Raja Asia patut diapresiasi mengingat pada 2016 mereka hanya menjadi runner-up. Namun, pujian pun patut kita berikan pada tim Garuda Muda yang telah menyajikan permainan atraktif nan menghibur, meski impian menggenggam tiket Piala Dunia U-20 kembali pupus.
Kualitas permainan timnas muda Indonesia tercermin dari apresiasi para penggemar dan pengamat yang sama sekali tidak kecewa dengan hasil yang dicapai, baik dari timnas U-16, U-19, maupun U-23. Hal ini membuat perhatian publik sepakbola nasional tertuju kepada timnas muda. Nama-nama rising star seperti Bagus Kaffi, Egy Maulana, Witan Sulaiman, hingga Hansamu Yama menjadi idola baru publik sepakbola Indonesia. Fenomena ini menjadi suatu hal yang menarik karena pada tahun-tahun sebelumnya hanya timnas senior yang seolah menjadi pusat perhatian.
Meningkatnya animo publik pada timnas muda Indonesia tak lepas dari keberanian media televisi untuk menyiarkan turnamen usia belia secara langsung seperti Piala AFF U-16, AFF U-19, hingga Turmanen Toulon 2017 lalu, di mana Indonesia U-19 ikut berpartisipasi. Keputusan televisi itu disebabkan karena tingginya antusiasme penonton pada timnas dari berbagai jenjang usia. Dengan tingginya ekspos media, timnas usia muda tak lagi merasa dianaktirikan dan mendapat perhatian yang sama seperti timnas senior. Status Indonesia yang menjadi tuan rumah beberapa turnamen internasional juga menarik minat penonton untuk mendukung timnas secara langsung.
Antusiasme pada turnamen junior membuat publik ‘lupa sesaat’ pada permasalahan sepakbola nasional. Ketidakjelasan jadwal kompetisi, kekerasan supporter, hingga kepemimpinan Edy Rahmayadi yang selalu berpolemik, menjadi tanda tanya besar terhadap keseriusan PSSI. Jika biasanya pembicaraan masyarakat hanya diisi kritik kepada PSSI, keberadaan timnas muda membuat hari-hari sepakbola Indonesia diisi dengan dukungan dan doa bagi adik-adik yang sedang mempertaruhkan nama bangsa.
Hasilnya pun tidak mengecewakan, timnas muda dapat memberikan keceriaan melalui permainan terbaiknya melawan raksasa-raksasa Asia. Masyarakat optimis bahwa timnas-timnas muda dapat menjadi aset masa depan Indonesia di tengah persepakbolaan yang sedang carut-marut. Tentu masih jelas dalam ingatan saat Indonesia U-16 secara heroik menjadi juara grup sebelum dikandaskan Australia pada perempat final Piala Asia. Sedangkan timnas U-19 juga memberikan perlawanan sengit untuk Jepang meski harus berakhir di babak yang sama. Dan tidak lupa juga, Indonesia U-23 yang secara dramatis bisa menahan UEA walau harus takluk dalam babak tos-tosan pada 16 besar Asian Games. Memang bukan hasil yang diharapkan, karena ketiga timnas gagal melaju ke babak selanjutnya. Namun mereka sudah memberikan hiburan terbaik bagi masyarakat Indonesia.
Gagal berlaga di Piala Dunia U-17 dan U-20 bukanlah akhir dari segalanya. Tanpa perlu jauh-jauh, kita bisa mencontoh Vietnam. Pada 2013, timnas U-19 The Golden Stars takluk dari Indonesia di Final Piala AFF dan menjadi juru kunci grup di Piala Asia U-19 2014. Namun, siapa angka permainan mereka semakin berkembang dan bisa mengejutkan Benua Kuning sebagai finalis Piala Asia U-23 dan semifinalis Asian Games 2018.
Nama-nama pemain seperti Luong Xuan Truong, Nguyen Quang Hai, dan Nguyen Cong Phuong menjadi aktor dalam jatuh bangunnya Vietnam sejak di timnas U-19. Kini, mereka akan menjadi andalan timnas senior pada Piala AFF mendatang. Ini menjadi pelajaran bahwa proses untuk membentuk timnas yang berkembang dan kompetitif tidak semudah membalikkan telapak tangan. Vietnam saja butuh lima tahun untuk mengembangkan talenta muda.
Mungkin kita boleh bersedih. Namun karier pemain belia seperti mereka masih sangatlah panjang. Adanya turnamen seperti Piala Asia U-19 atau U-16 bukan hanya untuk mencari gelar juara atau menjadi partisipan Piala Dunia junior, tapi sebagai pembelajaran bagi pemain bagaimana mengarungi kompetisi dengan lawan seusia. Agar dapat menjadi batu loncatan bagi para pemain muda untuk mengarungi lembaran karier selanjutnya. Turnamen muda pun menjadi bagian dalam pendewasaan diri sang pemain sebelum menghadapi kerasnya kompetisi sesungguhnya.
Hasil yang diraih timnas U-16 hingga U-23 tidak dapat dikatakan buruk karena para pemain muda tersebut baru dikumpulkan pada 2017, dengan persiapan hanya setahun untuk bermain di kompetisi Asia. Tidak mudah bagi Luis Milla, Indra Sjafri, hingga Fachry Husaini untuk berkeliling Indonesia demi menghimpun puluhan pemain terbaik negeri ini. Berkat mereka, publik bisa mengetahui bahwa Indonesia memiliki pemain-pemain masa depan yang menjanjikan.
Dengan penampilan impresif di Piala Asia usia muda membuat talenta mereka semakin dikenal oleh masyarakat luas dan klub profesional. Hal ini terbukti dari beberapa penggawa yang dikabarkan mendapat kesempatan berlatih di klub Eropa seperti Rendy Juliansyah di Leganes dan Firza Andika di Tubize—klub Belgia yang pernah dibela Eden Hazard.
Ada juga para pemain timnas U-16 yang sudah dipinang oleh klub Liga 1, yaitu si kembar Bagas-Bagus di Barito Putera dan Sutan Diego Zico di Persija. Untuk timnas U-19 sendiri menjadi lebih menarik, karena sebelum Piala Asia, para penggawanya sudah bermain reguler di klub seperti Nurhidayat (Bhayangkara FC), Syahrian Abimanyu (Sriwijaya FC), dan Saddil Ramdani (Persela).
PSSI mendapat pekerjaan rumah untuk mengembangkan talenta muda ini menjadi pemain profesional agar menjadi andalan timnas Indonesia masa depan. Pengelolaan kompetisi menjadi kunci keberhasilan pembinaan pemain. Patut diapresiasi jika PSSI saat ini sudah memperhatikan kompetisi usia muda melalui Liga U-19 dan U-16 karena dapat menjadi sarana bagi pemain muda. Dan, ‘Kurikulum Pembinaan Sepakbola Indonesia’ menjadi blueprint bagaimana pengembangan sepakbola Indonesia untuk masa mendatang.
Jika PSSI dapat mengelola semua kompetisi dan perencanaan dengan baik, bukan mustahil jika pada Piala Dunia beberapa tahun mendatang, kita bisa mendengarkan ‘Indonesia Raya’ berkumandang. Dan sekali lagi, untuk membina pemain muda bukan merupakan pekerjaan mudah dan butuh proses bertahun-tahun. Jadi, akan percuma jika merencanakan suatu program pembinaan jauh-jauh hari namun masih ada pola pikir ‘instan’. Pemecatan ataupun penggantian pelatih tidak selalu menjadi solusi jika gagal mencapai target. Apalagi dalam timnas muda Indonesia masih butuh jam terbang lebih banyak. Sebelum lebih jauh, alangkah baiknya jika PSSI dapat mengatur Liga 1 dan Piala Indonesia lebih proporsional agar tidak mengganggu jadwal turnamen yang diikuti timnas Indonesia.
Dan, kita sebagai masyarakat awam tidak perlu membebani para Garuda Muda dengan ekspektasi yang terlalu tinggi. Apapun hasilnya, mari berikan penghargaan sebesar-besarnya karena mereka sudah berjuang membawa nama negara. Atensi penonton harus ditujukan dengan hal positif berupa doa dan penyemangat, bukan dengan tekanan atau caci maki. Selepas ini, masih akan ada lagi turnamen lain yang menanti timnas Indonesia.
Piala AFF pun sudah berjalan. Mari berikan dukungan kepada timnas senior agar bisa meraih gelar perdananya. Namun, bagaimanapun langkah mereka ke depan kita perlu memberikan kredit dan penghargaan karena para pilar tim senior saat ini seperti Putu Gede atau Evan Dimas adalah hasil didikan dari timnas junior sebelumnya. Seperti pemain pada umumnya, mereka pun masih dalam tahap perkembangan. Sehingga, dukungan dapat diberikan tanpa perlu ekspektasi berlebih. Pemain muda pun juga manusia yang masih perlu belajar dan berusaha meningkatkan kemampuan.
Sumber Foto: the-afc.com
*Penulis merupakan Analis Media Indonesia Indicator berbasis di Jakarta dan pengamat sepakbola Indonesia dan internasional. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @yeremias_ft
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar