Oleh: Raden Muhammad Wisnu Permana, S. Ikom*
Dapat dikatakan, saya adalah penggemar Manchester United sejak lama. Sejak zaman keemasan Setan Merah di bawah asuhan Sir Alex Ferguson, jauh sebelum Chelsea dan Manchester City menguasai Liga Primer Inggris. Saya masih ingat masa-masa keemasan, di mana “kemenangan membosankan dan kekalahan itu mustahil” masih menjadi jargon Setan Merah.
Old Trafford adalah tempat yang angker bagi tim tamu. Dari tendangan dan crossing David Beckham yang indah, sampai fenomena Cristiano Ronaldo yang mengguncang dunia saat itu. Mungkin saya yang sudah tua jika bisa menyebutkan sejarah kecil dari klub kesayangan saya tersebut.
Ada dua hal yang membuat saya kesal dan sedih di saat yang bersamaan. Bukan saat klub kesayangan itu kalah. Kalah adalah hal yang biasa. Saya kesal, karena pada 2004 dan 2005, muncul seorang anak baru bernama Chelsea, yang tiba-tiba menjuarai Liga Inggris dan mendominasi Liga Inggris hingga saat ini. Ini semua berawal dari crazy rich Russian bernama Roman Abramovic yang menggelontorkan dana berlimpah bagi Chelsea, sehingga klub tersebut dapat belanja besar-besaran. Tak lama berselang, si tetangga, Manchester City, dibeli oleh Syekh Mansour. Kejadian sama kembali terjadi. Manchester City merombak klubnya. Berbagai pemain bintang kemudian ada dalam skuat Manchester Biru dan mendominasi Liga Primer Inggris.
Entah mengapa saya merasa sangat sakit hati dan kesal dengan dua klub tersebut. Seketika, saya melabeli siapa pun yang menjadi penggemar mereka setelah mereka jaya sebagai “Glory Hunter”. Saya tidak masalah jika gelar juara direbut Liverpool dan Arsenal. Sejatinya, jauh sebelum dua klub tersebut mendominasi Liga Primer Inggris, selama puluhan tahun, mereka adalah rival abadi Setan Merah.
Di 2018 ini, seiring proses kedewasaan yang sudah saya alami, menjadi seorang sarjana ilmu komunikasi, bekerja sama dengan pihak swasta dan pemerintah di dunia kerja, menyaksikan banyak aksi rasisme dan kekerasan dalam sepakbola dalam dan luar negeri, saya bisa menyimpulkan: “pada akhirnya, Glory Hunter adalah kita.”
Bagi para fans Liverpool, yang lebih jaya terlebih dahulu, fans Manchester United akan dituding sebagai glory hunter. Fans Manchester United akan menuduh fans Chelsea. Dan seluruh fans klub Liga Inggris saat ini menuding fans Manchester City sebagai glory hunter. Hal tersebut disematkan karena sesuai definisinya. Glory hunter adalah fans sepakbola musiman yang tim kesayangannya berganti-ganti tergantung siapa yang sedang berjaya saat itu. Contohnya, pada akhir 1990-an, mendukung Manchester United, pertengahan 2000-an mendukung Chelsea, dan sekarang menjadi fans Manchester City. Tentu, itu contoh yang terlalu ekstrem rasanya.
Kembali lagi ke topik utama. Bukankah kita semua ini adalah glory hunter?
Baru sejak 1990-an, ketika media massa secara masif menayangkan siaran pertandingan Liga Inggris di televisi Indonesia, kita hanya mendukung apa yang kita tonton di televisi, bukan? Dan tentu saja, kita akan mendukung tim-tim besar yang juara, atau paling tidak yang menurut kita bermain dengan baik, bukan? Beda dengan warga kota Manchester, yang mendukung Manchester United karena faktor geografis atau demografinya. Sama seperti warga Bandung yang mendukung Persib Bandung, atau warga Jakarta yang mendukung Persija Jakarta.
Lain halnya sebelum tayangan masif sepakbola Eropa pada 1990-an muncul di televisi Indonesia. Kita dengan setia mengikuti perkembangan suatu kesebelasan lewat koran/majalah, kemudian mengklipingnya. Kita melakukannya dari saat kesebelasan tersebut sedang membangun kekuatannya, di saat orang lain sama sekali belum menyukai klub tersebut, jauh sebelum internet yang dapat dijangkau setiap orang saat ini, sampai suatu ketika tim tersebut berjaya di liga lokal yang dilakoninya. Jika tidak, dapat dipastikan orang tersebut adalah glory hunter. Mendukung mereka yang berjaya lewat medium-medium yang sudah disediakan oleh media, yang tergantung pada pasarnya sendiri.
Seberapa banyak sih fans Manchester United yang mengetahui Sir Bobby Charlton dan George Best? Berapa banyak juga yang tahu ketika Liverpool meminjamkan sejumlah pemainnya pada Manchester United yang kekurangan jumlah pemain akibat wafatnya para pemain mereka pada Tragedi Munich? Kebanyakan penggemar MU mungkin hanya tahu David Beckham dan Cristiano Ronaldo saja.
Memangnya, seberapa banyak sih dari kita, yang mengaku fans klub sepakbola Eropa, yang sudah pernah menyaksikan langsung tim kesayangannya tersebut di stadionnya sana? Seberapa banyak fans Manchester United dan Chelsea yang sudah ke Old Trafford dan Stamford Bridge? Seberapa banyak sih dari kita yang yang membeli merchandise original tim kesayangannya sebagai bentuk dukungan pada tim tersebut?
Jika dirasa kejauhan, kita ubah skala geografisnya. Memang berapa banyak Bobotoh yang mengetahui sejarah mengapa fans Persib Bandung disebut Bobotoh? Berapa banyak yang mengetahui sejarah pasti mengapa rivalitas antar Persib Bandung dan Persija Jakarta begitu panas, sampai banyak yang gugur dalam rivalitas kedua klub tersebut? Siapa?
Selain itu, saya yakin, hanya segelintir Bobotoh atau The Jakmania yang membeli merchandise original klub kesayangannya sebagai bentuk dukungan pada tim kesayangannya. Sisanya hanyalah mereka yang membeli jersey KW di internet dan mengaku-ngaku sebagai Bobotoh atau The Jakmania.
Aren’t we all glory hunter, after all?
Glory hunter atau tidak, saya pikir, hal tersebut tidaklah penting. Yang penting: tidak melakukan tindak kekerasan dan rasis, serta menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. Menjadi fans yang baik dan bersahaja, menghormati kawan dan lawan. Itu saja saya pikir.
*Penulis merupakan konsultan lingkungan hidup bisa dihubungi lewat akun Twitter @wisnu93
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar