Oleh: Muhammad Giffari Arief*
Rabu (28/11) lalu, Semen Padang memastikan tempat di Liga 1 2019 setelah memenangi laga hidup mati menghadapi Persita Tangerang. Agregat 3-2 menjadi hasil perjuangan sekaligus wujud nyata dari tagar #kitobangkik yang selalu diunggah oleh akun media sosial resmi klub.
Kito Bangkik berarti ‘kita bangkit’. Jika sebuah kebangkitan yang jadi persoalan, maka, yang jadi pertanyaan besar, apakah Semen Padang benar-benar bangkit saat berhasil menjejakkan kaki di Liga 1—tingkat tertinggi dalam sistem sepakbola Indonesia, setelah berbagai karut-marut yang terjadi dalam persepakbolaan nasional?
Liga 2 2018 dirundung isu negatif terkait pengaturan skor. Bahkan, laga Semen Padang melawan Persita Tangerang pun juga dikabarkan merupakan bagian dari pengaturan skor, meski belum sepenuhnya benar. Namun, hal tersebut ada. Bahkan, tim-tim yang akan promosi ke Liga 1 dianggap telah ‘direncanakan’. Hal tersebut jelas mengkhawatirkan dan harus dipertanyakan. Apa Semen Padang telah bangkit? Bangkit dalam arti sebenarnya? Apakah berada di Liga 1, setelah berhasil promosi dari Liga 2 yang, menurut kabar angin, "banyak permainan kotor", merupakan sebuah kebangkitan?
Lebih jauh, bangkit tidaknya Semen Padang pun perlu melihat sepakbola nasional secara keseluruhan. Perkembangan persepakbolaan di Indonesia terbilang mandek. Sepakbola sebagai olahraga paling digemari di Indonesia justru menjadi ladang yang menggiurkan bagi orang-orang yang punya hasrat manipulatif.
Setelah sebuah talkshow yang ditayangkan di sebuah stasiun televisi lokal Indonesia, Mata Najwa, salah seorang narasumber yang hadir dalam acara tersebut, Bambang Suryo, menyebut-nyebut nama seseorang yang menjadi dalang di balik tindakan tersebut. Nama dalang tersebut menjadi trending di pencarian Google. Dampaknya baik: Orang-orang tahu bahwa sepakbola Indonesia tidak baik-baik saja.
Sudah menjadi rahasia umum kalau jalannya kompetisi sepakbola Indonesia ‘profesional’ dihantui oleh banyak mafia yang berkeliaran untuk merancang sebuah drama. Drama yang dibuat, tentu saja ada untuk memenuhi tujuan utama dari adanya pertandingan-pertandingan sepakbola yang menghibur, selain untuk mempertebal kantong mafia tersebut. Bisa dilihat bagaimana antusiasnya setiap pendukung dari kesebelasan-kesebelasan yang berlaga di setiap pertandingan. Lalu, di berbagai media sosial, banyak warganet yang mengekspresikan kecintaan terhadap kesebelasan favoritnya.
Namun, semua itu hanya ilusi. Ilusi yang tampak absurd. Jalannya persepakbolaan di Indonesia, dalam kurun sepuluh tahun terakhir berjalan kacau. Liga yang berkonflik, adanya klub-klub siluman yang berkeliaran, atau identitas dari sebuah klub yang tidak konsisten, menjadi "hiburan" lain yang justru dinikmati oleh masyarakat Indonesia selain performa timnas Indonesia yang setiap tahunnya tidak ada perkembangan berarti meski berkali-kali melakukan perubahan.
Perkembangan sepakbola Indonesia bergantung pada jalannya kompetisi sepakbola Indonesia. Kompetisi sepakbola merupakan indikator utama dalam perkembangan sepakbola Indonesia. Kompetisi yang dijalankan dengan baik dan terstruktur, akan menghasilkan perkembangan kualitas persepakbolaan Indonesia yang drastis. Apakah hal itu sudah tampak dalam kompetisi sepakbola yang bergulir?
Sebelum penyatuan Perserikatan dan Galatama, kompetisi sepakbola di Indonesia berjalan dengan baik meski aneh. Adanya dua kompetisi yang berjalan beriringan namun saling mendukung. Perserikatan dengan strukturnya yang sangat kuat dalam membangun sepakbola di setiap daerah Indonesia, serta Galatama yang menjadi salah satu pionir dalam perkembangan persepakbolaan profesional di Indonesia—dan menjadi awal adanya pengaturan skor. Dan setelahnya, kompetisi sepakbola Indonesia mandek.
Mulai dari Liga Indonesia yang dimulai dari tahun 1994, lalu Liga Super Indonesia (ISL) yang mulai pada tahun 2008, sampai masa-masa mengerikan pada tahun 2010-2015. Puncaknya, pada 2015, Kemenpora membekukan PSSI setelah gagalnya PSSI menangani kisruh yang ada dalam persepakbolaan nasional. Liga 1 yang dimulai pada tahun 2017 sebagai wujud baru dari kompetisi sepakbola Indonesia tertinggi setelah kisruh yang berkepanjangan, masih belum memberikan perkembangan yang berarti untuk sepakbola Indonesia. Indikasi adanya mafia sepakbola, yang terwujud dari pengaturan skor, masih menghantui.
Tampil di Liga 1 2019 merupakan prestasi tersendiri untuk Semen Padang. Sebagai klub sepakbola asal Sumatera Barat, tanah bagi orang-orang Minangkabau, jelas hal tersebut merupakan sebuah kebanggaan. Bukan hanya orang-orang dari Sumatera Barat saja yang berbangga, orang-orang Sumatera pun juga ikut berbangga.
Klub-klub sepakbola asal Sumatera, harus diakui mengalami masa suram pada kurun beberapa waktu tahun kebelakangan ini. Pada Liga 1 2018, dua tim Sumatera, Sriwijaya FC dan PSMS Medan, terancam terdegradasi ke Liga 2. Apabila musim ini Sriwijaya FC dan PSMS Medan terdegradasi, maka praktis, musim depan, Sumatera hanya memiliki satu wakil saja di Liga 1. Belum lagi tahun-tahun sebelumnya, wakil-wakil dari Sumatera yang berlaga di kompetisi tertinggi Indonesia terbilang sedikit.
Semen Padang harus berbenah dan menghindari tragedi yang terjadi pada tahun 2017, ketika mereka terdegradasi dari Liga 1. Masyarakat Sumatera Barat tentu kecewa akan hal tersebut. Karenanya Semen Padang harus mampu bertahan lebih lama, bahkan melakukan hal-hal yang lebih baik dari tahun 2013 ketika membawa nama Indonesia melaju sampai perempat final AFC Cup.
Banyak orang yang akan senang apabila Semen Padang berlaga dengan baik, bahkan memberi kejutan di Liga 1 musim depan. Namun, dengan keadaan sepakbola Indonesia yang sekarang, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada masyarakat di Sumatera Barat, bermain di Liga 1 atau Liga 2 rasanya tidak memberi perbedaan yang berarti. Perbedaan yang ada hanya tim-tim yang akan bertamu ke Stadion Haji Agus Salim. Tim-tim elit liga Indonesia yang ada di Liga 1 menjadi pembeda.
Sistem sepakbola Indonesia, serta iklim sepakbola Indonesia saat ini yang masih bantuak itu se, hanya memberi ilusi bagi Semen Padang, meskipun pendapatan dari tiket akan melonjak drastis karena bermain di Liga 1. Tentu, penggemar tidak mau tahu dengan keadaan ekonomi Semen Padang, selagi gaji para pemain tetap terbayarkan.
#KitoBangkik yang menjadi nafas Semen Padang dalam mengarungi Liga 2 telah ‘tertuntaskan’. Semen Padang kini sudah tiba di Liga 1. Tapi, apakah benar-benar bangkit? Bagaimana nasib Semen Padang di Liga 1 nanti? Apakah hanya sekedar meramaikan Liga 1 tanpa mencatatkan sebuah prestasi?
Sepertinya, definisi bangkit bukanlah sekadar kembali ke Liga 1 dan bertahan selama mungkin di divisi teratas. Ada sebuah misi besar yang akan diwujudkan oleh Semen Padang. Namun, di tengah keadaan sepakbola Indonesia yang seperti sekarang ini, rasanya perjuangan Semen Padang dalam mewujudkan mimpinya sedikit berat, walau hal tersebut bukanlah mustahil. Semoga.
*Penulis merupakan penggemar Liverpool. Kini sedang menempuh studi di Universitas Andalas Jurusan Sastra Indonesia. Bisa dihubungi lewat akun Twitter @mgarrif
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar