Oleh: Anton Surahmat*
“Dad, what’s match-fixing? I don’t know son, we are hockey players,” Unknown.
Sepakbola adalah sebuah permainan yang telah berlangsung selama ratusan tahun dalam peradaban manusia. Perkembangan olahraga ini telah terjadi begitu masif, menyentuh hampir seluruh kolong daratan di muka bumi, melibatkan miliaran pasang mata pada setiap pekannya. Miliaran bahkan triliunan rupiah berputar di tiap pertandingannya.
Sepakbola telah berkembang menjadi industri yang dimainkan untuk menjadi sumber penghasilan. Dan bukan menjadi rahasia umum apabila industri taruhan juga turut menjamur. Industri taruhan semakin kaya dan manipulatif, demi keuntungan yang tiada terkira. Sepakbola telah menjadi meja judi terbesar dalam sejarah olahraga umat manusia.
Beberapa pekan belakangan, penggemar sepakbola tanah air digemparkan dengan pengakuan mantan “pemain” dalam dunia taruhan. Bambang Suryo yang mengatakan harga ratusan juta sudah lumrah dalam perjudian sepakbola. Bandar akan datang untuk menawarkan uang sebagai imbalan kekalahan yang harus dilakukan oleh kesebelasannya. Terkadang tawaran bahkan bisa berkali-kali lipat.
Gepokan uang bukan menjadi masalah bagi mereka tapi kita. Perang melawan perjudian dan pertaruhan sejatinya tidak saja dialami oleh sepakbola di dalam negeri. Liga-liga top Eropa bahkan sudah bergelut lama dengan praktik “setan” ini.
Liga-liga besar seperti Premier League di Inggris atau La Liga di Spanyol, telah berperang dengan menegakkan beberapa peraturan terkait perjudian. Salah satunya pelarangan pemain, pelatih, hingga ofisial dari suatu kesebelasan untuk ikut bertaruh pada pasar taruhan apapun, bahkan selain sepakbola.
Namun menemukan siapa pemain yang ikut berjudi tentu tidak sesederhana itu. Para aktor utama malah biasanya berasal dari “luar” tim. Mereka yang biasa kita sebut dengan mafia, bandar, atau broker, adalah otak utamanya.
Baca juga: Pengaturan Pertandingan Bahkan Sampai ke Piala Dunia
Tujuh tahun lalu 36 pemain dari La Liga dituduh terlibat dalam pengaturan skor. Beberapa pemain top seperti Vicente Iborra (Leicester City), Cristhian Stuani (Girona), dan Felipe Caicedo (Lazio), disebut menjadi pesakitannya. Kasus ini berlarut-larut hingga beberapa tahun terakhir dan sempat menyeret nama Presiden La Liga, Javier Tebas. Hingga kini, penyelidikan kasus pengaturan skor tersebut bahkan masih berlangsung.
Di Italia, kesebelasan besar seperti Juventus malah harus malu didegradasi. Putusan pengadilan secara meyakinkan menjatuhkan hukuman kepada Juventus. Si Nyonya Tua telah terbukti melakukan pengaturan skor yang berimbas pada degradasi kesebelasan serta pencabutan gelar juara Serie A Italia musim 2004/05. Skandal ini kita kenal dengan sebutan Calciopoli.
Kita bisa menarik benang merah bahwa sepakbola di mana pun ia berada, entah liga raksasa Eropa atau negara yang biasa saja di sepakbola seperti Indonesia, selalu menarik bagi para pegiat pasar taruhan. Apalagi untuk suatu negara dengan penggila sepakbola yang amat besar. Bandar-bandar judi daring konon sudah mendarah daging dalam melakukan infiltrasi di dalamnya.
Modus Sogokan
Bayangkan jika Anda adalah seorang pemilik sebuah kesebelasan dan klub Anda tengah mengalami sebuah krisis, sebutlah krisis keuangan: Gaji pemain belum terbayarkan hingga tunggakan-tunggakan yang belum lunas. Pada saat semua gelap dan asa menghilang, lalu datanglah seseorang yang mengaku sebagai “teman”. Ia mengagumi tim Anda dan bersedia memberikan sokongan dana secara “cuma-cuma”. Pastinya Anda akan berpikir ini sesuatu yang mudah. Lalu Anda menerima dana tersebut dan bantuan- bantuan lainnya hingga pada poin tertentu, ketika Si Bandar yang mengaku sebagai “sahabat” meminta Anda memberinya skor yang mereka inginkan. Anda akan merasa tidak enak untuk tidak membantunya. Dan selamat, Anda sudah menjadi bagian dari pengaturan skor. Anda telah menjadi budak pengaturan skor.
Modus seperti itu tidak selalu terjadi. BBC Indonesia dalam salah satu beritanya mengenai modus operandi yang biasa dilakukan para bandar judi untuk mengatur skor suatu pertandingan, bahkan dapat terjadi dengan amat instan. Mereka datang, memberi tawaran, dan selanjutnya terjadilah pengaturan skor.
Dua mantan pelatih Persegres Gresik United dan Persipur Purwodadi angkat bicara. Mereka mengaku mendapat tawaran hingga ratusan juta untuk mengatur hasil akhir sebuah pertandingan. Laporan sudah dibuat dan diserahkan tetapi konon tidak ada respons berarti dari PSSI pada saat itu.
Federasi sepakbola Indonesia, PSSI, memang telah menerima laporan terbaru terkait pengaturan skor. Beberapa forum pun mereka hadiri untuk memastikan posisi PSSI sebagai pelindung sepakbola di tanah air. Ya, pelindung sepakbola tapi bukan selalu sebagai pelindung integritas.
Integritas dan sportivitas ibarat dua mata uang berbeda yang berada pada satu keping. Sportivitas hanya akan tercapai juga ada integritas di dalamnya. Sejauh ini, PSSI mengaku telah menjalan tindakan preventif untuk pengaturan skor. Ya, sebatas tindakan preventif.
Setidaknya ada tiga poin utama yang PSSI telah ungkapkan yakni, bekerja sama dengan Genius Sport untuk memantau data-data pasar taruhan. Sehingga apabila ada taruhan yang mencurigakan PSSI dapat segera menelusurinya. Kedua, menelusuri lebih lanjut adanya laporan atau tidak mengenai kecurigaan tersebut. Dan ketiga, memberikan hukuman sesuai Komisi Disiplin PSSI. Misalnya, dilarang terlibat dalam urusan sepakbola seumur hidup.
Hukuman Setimpal
Sayangnya, setiap keputusan hukuman yang diberikan PSSI tampaknya tidak akan memiliki efek jera yang diinginkan. Terbukti dengan banyaknya suara kekecewaan pengamat sepakbola tentang “ringannya” hukuman yang diberikan. Terlebih dengan besarnya gelontoran uang yang dihamburkan untuk menyogok pemain dan kesebelasan.
Baca juga: Tindak Pidana Pengaturan Skor dalam Perspektif Hukum Nasional
Hukuman 100-200 juta bahkan mungkin terasa murah. Mungkin PSSI bisa menengok bagaimana beratnya hukuman-hukuman bagi para pengatur skor di daratan Eropa.
Salah duanya ialah kasus wasit Jerman, Robert Hoyzer, yang dihukum penjara selama lebih dari dua tahun pada 2005 karena terbukti terlibat dalam suap untuk pengaturan skor dari pemilik bar Kroasia yang kecanduan judi, Ante Sapina. Hoyzer secara terpisah mengeluarkan 23 kartu merah pada pertandingan-pertandingan tertentu. Belum lagi banyak penalti kontroversial yang ia berikan selama menjadi pengadil lapangan untuk pertandingan Liga Divisi 2 dan 3 Jerman.
Contoh lain yang lebih besar datang dari klub elit Perancis Olympique de Marseille, yang pada 1993 memiliki kesempatan untuk merengkuh trofi Liga Champions sekaligus Liga Perancis.
Sebelum bertemu AC Milan di final Liga Champions, Marseille harus terlebih dahulu melawan Valenciennes untuk memastikan gelar juara menjadi milik mereka. Presiden kesebelasan saat itu, Bernard Tapie, menyodorkan suap kepada tiga pemain Valenciennes. Namun salah seorang dari mereka menolak dan melaporkannya kepada pihak berwenang. Sang presiden kesebelasan lalu dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun. Gelar juara Marseille dicabut dan mereka didegradasi ke Divisi 2, serta pencabutan hak mempertahankan Liga Champions untuk musim berikutnya.
Hingga saat ini belum ada putusan PSSI yang keluar dari standar hukuman terberat dalam kode disiplin PSSI tahun 2018 tentang manipulasi hasil pertandingan yaitu larangan berkecimpung dalam dunia sepakbola selama seumur hidup dan sanksi denda maksimal 500 juta.
Sekarang, sudah seyogianya PSSI mau lebih berani dan galak jika memang PSSI benar menjadi bagian dari perang terhadap mafia bola. Seperti yang Direktur Utama Persija, Gede Widiade, sempat kemukakan, bahwa PSSI harus berani secara konsisten memberikan hukuman berat jika perlu maksimal untuk meningkatkan efek jera.
Regulasi yang sudah ada tentunya bisa mengakomodasi hal tersebut. Peraturan perundang- undangan No. 11 Tahun 1980 juga telah ajek dan bisa digunakan untuk menjerat para pelaku pengaturan skor dengan hukuman penjara. Hukuman pantas dan lumrah yang sudah banyak diterapkan oleh negara- negara lain di Asia maupun Eropa. Itu pun jika PSSI sekali lagi benar serius menjadi bagian dari perang terhadap mafia bola.
Ombak boleh surut dan kasus ini mungkin cepat terlupakan kembali ke laut. Namun atas nama sepakbola, atas nama cinta Tim Nasional Indonesia, perang terhadap mafia bola harus terus bergelora. Kita bisa memilih diam dan tidak peduli jika hanya ingin terluka dan murka melihat kemajuan kompetisi kita hanya jalan di tempat dan mungkin mundur. Karena modal utama membangun kompetisi yang sehat dan berkarakter bukanlah melulu tentang infrastruktur dan teknis penyelenggaraan, melainkan jiwa yang berintegritas dan semangat sportivitas.
*Penulis merupakan pemerhati sepakbola Indonesia.
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar