Oleh: Ferhadz Ammar Muhammad*
Ketika ada seseorang yang kehilangan sesuatu, ia menengok ke kanan dan ke kiri, ke depan dan ke belakang. Ketika ia sudah menemukan barang tersebut, ia tak lagi mencari ke atas dan ke bawah, tidak pula ke kanan dan ke kiri, juga ke depan dan ke belakang. Seketika orang itu menjadi tenang dan tenteram.
Begitulah salah satu paragraf yang terpampang dalam lembar pertama dari tumpukan kertas kuning yang tergeletak di atas kursi taman. Bahasanya terlampau tinggi. Saya yang masih awam tentu dilanda kesukaran untuk menafsirkannya. Sebenarnya, tidak ada keberanian sedikit pun untuk menjamah dan meraba secara detail isi surat itu. Namun kebesaran nama penulis yang tertuang di bawah judul tulisan membuat saya dipaksa lebih dalam mengarahkan mata pada detail kalimat-kalimatnya, Jalaluddin Rumi, namanya persis seperti sufi yang menulis kitab Fihi ma Fihi.
Baru hendak mulai membacanya, dari arah depan berjalan seorang laki-laki tua mengenakan baju Persebaya ke arah saya. Dilihat dari penampilannya, pak tua itu bisa ditaksir berusia 66 tahun. Ia berperawakan tinggi; agak membungkuk, namun memiliki rahang kuat dan tatapan mata yang tajam. Semakin dekat, ia menyapa: “Sedang apa kau, nak?”. Belum sempat menjawab, ia kembali melempar pertanyaan. “Kau di sini sendirian? Sedang menunggu seseorang, kah?”.
Jujur, saya tipologi orang yang tidak suka diganggu saat sedang meratapi diri, namun entah apa sebabnya, saya begitu menikmati nada yang keluar dari mulut tuanya. “Iya, pak, saya sendirian, dan tidak ada teman yang saya harapkan sekarang,” terang saya. Pak Tua itu mendekat, dan setenang air, ia mengambil tempat duduk di samping saya. “Kertas yang kamu pegang itu milik Jalaluddin Rumi. Tadi aku juga membacanya. Ia seorang sufi ternama. Setiap kalam yang terlontar bak mutiara. Ia berpijak di atas tanah cinta; dan bernafas dengan keyakinan luar biasa. Begini, sebelum kau membaca itu, coba ceritakan kepadaku apa keluh kesahmu? Sebab jarang sekali aku melihat anak muda sendirian di taman ini. Percayalah, prasangkamu bahwa kesendirian bisa menenangkan itu merupakan bentuk kekeliruan. Kau butuh teman.”
Mendengar pak tua bicara dengan muka serius, namun tetap menyemburatkan senyum, membuat saya tertarik –suatu keanehan bagi saya yang terbiasa sendiri. Mungkin ini yang dalam perkataan Selnes (1998) disebut kepercayaan sangat berkait erat dengan kepuasan.
“Baiklah, pak tua, saya akan cerita. Anda tentu pernah mendengar ‘Liga Mafia’, bukan? Liga di mana semua yang tampak di lapangan ditentukan oleh invisible hand –kekuatan bayangan. Pikir saya, semua suporter mengetahui hal itu, dan itulah keanehan yang saya rasakan. Bagaimana bisa mereka masih yakin dan cinta dengan timnya, padahal belum tentu yang dimainkan oleh timnya di atas lapangan itu murni dan jujur? Keyakinan saya sedang diuji dengan persoalan itu.”
Saya benar-benar menggebu-gebu saat berbicara demikian.
“Haha, dasar anak muda. Baiklah, mari kita mulai obrolan malam ini dengan sebuah pertanyaan: apa itu keyakinan?”
Saya yang sedari tadi sibuk menata mata mendadak merunduk, mencari jawaban atas pertanyaan pak tua itu. Belum sempat saya temukan, pak tua itu kembali berkata: “Keyakinan adalah guru yang sempurna, sementara prasangka yang baik dan benar adalah murid-muridnya. Untuk mencapai derajat ‘keyakinan’, prasangka mesti mendapat penempaan. Dalam proses demikianlah, pengalaman menjadi sangat penting.”
Saya mendongakkan kepala, dan mantap berkata, “Bisakah engkau memberikan pemahaman kepada saya tentang esensi keyakinan itu, pak tua? Jujur, saya selalu disiksa keraguan. Rasanya sebagai suporter, saya sering kali dikibuli mana kala proses dan hasil pertandingan di luar nalar. Demikian itu muncul di setiap arena, saat harapan ‘kemurnian bertanding’ dan ketakutan ‘dipermainkan’ berhadap-hadapan.”
Pak tua menerawang ke langit, lalu kembali menatap saya dengan tatapan sinis, namun penuh kasih. “Mengapa kau tanyakan sesuatu yang tidak pernah terpisahkan? Bukankah setiap ada pengharapan (raja’) pastilah diiringi ketakutan (khauf)? Ibarat kau menanam padi, tentu kau berharap agar sukses besar saat memanennya, namun kau juga ketakutan kalau ternyata ada penyakit yang menyerang lumbung padimu. Nak, itu sudah biasa, nature dalam kehidupan kita. Bukan soal apakah panenmu selamat atau tidak, melainkan apa tindakanmu untuk mengantisipasi itu. Pengalamanmu mengantisipasi hama dari musim ke musim tentu akan memberimu banyak ilmu, hingga kau temukan ramuan terjitu.
Perlu kutegaskan, kau sekali-kali jangan berpura-pura tidak tahu akan adanya hama. Sebaliknya, kau musti jujur pada dirimu sendiri, bahwa ada hama yang harus segera dibasmi. Ketahuilah, orang melakukan kesalahan itu biasa, namun berpura-pura itulah kebodohan yang sesungguhnya. Penjual kopi di seberang sana memiliki kelopak mata yang indah. Sayang, hanya pura-pura, sebab kelopak mata yang dihitam-hitamkan tidak seperti kelopak mata yang benar-benar hitam. Dalam proses menyingkap kepura-puraan, kau pasti akan menghadapi kesulitan-kesulitan, derita. Jangan sekali-kali kau mengeluh, sebab siapa pun dia, selama ia manusia, tentu akan dibuntuti dengan yang namanya derita. Meski demikian, derita tidak akan berefek terhadap orang yang berilmu, yakni ia yang paham ke mana muara tujuan perjalanannya. Di hati orang yang berilmulah keyakinan membangun rumahnya.
Ngomong-ngomong keyakinan yang lahir dari kecintaan pada sepakbola, aku hendak menceritakan suatu kejadian. Saat itu seseorang masuk dalam majelisnya Rumi. Rumi langsung berkata, ‘Ke mana saja kamu? Kami sangat merindukanmu. Mengapa kau pergi jauh dari kita?’ Ia menjawab, ‘Ini karena takdir.’ Mendengar perkataan demikian, Rumi menimpali, ‘Kami juga telah memohon kepada Tuhan agar mengganti takdir-takdir seperti ini dan menghilangkannya.’
Sering kali orang berkesadaran magis menganggap semua yang terjadi bersumber dari takdir Ilahi. Kau sebagai pemuda mesti kritis. Takdir tidak mungkin berjalan terpisah dari perilaku –seperti hubungan kausalitas. Dan harapanku, sebagai orang berilmu, kau bisa berperilaku transformatif, seakan sedang memanifestasikan takdir baik dari Tuhan. Jika ilmumu mendapati adanya ketidakberesan, maka kau harus bergerak mengatasi disrupsi itu, mungkin dimulai lewat teguran. Sebagaimana nasihat Abu Tamam, sahabatku, ‘Cinta akan tetap tinggal selama teguran masih berlangsung.’ Ketahuilah, teguranmu itu tidak berarti kebencian. Justru teguran itu menjadi penegas akan luhurnya hubungan antar manusia, seperti teguran suporter kepada pemain yang loyo; kepada manajemen yang kurang berfungsi; atau kepada PSSI yang keliru mengurus federasi. Lha, hal-hal kecil demikian sedikit banyak akan menyelamatkan lahanmu –sepakbola yang kau cinta. Sekarang, aku mohon undur diri, melanjutkan perjalanan. Kau masih muda, jangan sampai salah kaprah menanggapi setiap perkara. Belajarlah dengan sungguh-sungguh.”
Ia berdiri dan bersiap untuk berlalu pergi.
Saya turut berdiri juga, mengulurkan tangan, dan berkata, “Matur sembah nuwun, guru.”
*Penulis merupakan mahasiswa S2 Ilmu Politik Unair, Penggawa Bonek Writer Forum. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @ferhadzone
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar