Oleh: Edwin Hartanto*
Anda pernah menonton Curious Case of Benjamin Button? Film ini bercerita tentang Benjamin Button, seorang pria yang terlahir dengan fisik orang tua dan meninggal dengan kondisi fisik sebagai anak bayi. Ya, Benjamin Button diceritakan mengalami reverse aging yang berarti semakin tua usianya justru membuat fisiknya semakin muda. Pertumbuhan Benjamin melawan hukum alam, dari fisik orang tua menjadi bayi kecil.
Dalam sepakbola, berlaku sebuah hukum alam bahwa pemain memulai karier dari jenjang akademi untuk mengasah fisik serta teknik untuk berusaha menembus tim utama. Semakin bertambah usia sang pemain, semakin baik kemampuannya hingga ia mencapai usia puncak. Di usia puncak inilah diharapkan sang pemain meraih prestasi-prestasi terbaik dalam kariernya.
Apa yang terjadi pada Charles Joseph John Hart justru sebaliknya. Pria yang dikenal dengan nama Joe Hart ini justru mengalami penurunan prestasi tepat ketika ia memasuki usia puncak sebagai penjaga gawang.
Direkrut oleh Manchester City tahun 2006 di usia belia 19 tahun, butuh empat tahun untuk Joe Hart menjadi nomor 1 di tim utama City. Penghargaan Premier League Golden Glove untuk nirbobol (clean sheet) terbanyak dalam satu musim diraihnya di musim 2010/11. Tak tanggung-tanggung, Joe Hart kembali memenangi penghargaan yang sama di musim 2011/12, 2012/13, dan 2014/15. Empat penghargaan Golden Glove dalam lima tahun melengkapi dua gelar Premier League yang diraih City musim 2011/12 dan 2013/14.
Tempat Joe Hart di tim nasional pun tak tergoyahkan. Tim Nasional Inggris nyaris tidak memiliki penjaga gawang pesaing untuk Joe Hart. Jalan Hart menuju status legenda Manchester City dan Tim Nasional Inggris mulus terbentang. Namun semua berubah saat kedatangan Pep Guardiola di awal musim 2016/17.
Guardiola adalah penganut setia agama tiki-taka, gaya bermain yang mengandalkan penguasaan bola dan umpan-umpan jarak pendek. Obsesi Pep terhadap gaya bermain ini mewajibkan semua pemain memiliki teknik memadai untuk memainkan bola di kaki, termasuk penjaga gawang.
Victor Valdes dan Manuel Neuer adalah contoh nyata penjaga gawang yang memenuhi selera Guardiola. Sayangnya, Hart adalah penjaga gawang tradisional Inggris yang sebenar-benarnya. Ia telah dididik sejak belia bahwa ketika ada bola di kakinya, yang harus dilakukan adalah tendang sekuat-kuatnya dan setinggi-tingginya (oh hai Paul Robinson!) ke wilayah pertahanan lawan. Hart adalah tembok terakhir pertahanan yang kokoh, tapi bukan pemain ke-11 yang diinginkan Guardiola untuk memulai serangan dari belakang.
Sebegitu besar dosa Hart di aspek permainannya satu ini, posisinya sempat digusur oleh Willy Caballero. Tentu saja ini kode keras dari Guardiola bahwa dia butuh penjaga gawang baru. Manajemen City bergerak dengan mendatangkan Claudio Bravo dari Barcelona. With all due respect, kemampuan goalkeeping Joe Hart masih superior dibandingkan Caballero maupun Bravo. Namun ketidakcakapannya dalam memainkan bola dari kaki ke kaki membuatnya tersingkir menjadi pilihan ketiga.
Melihat Guardiola yang sudah amit-amit terhadap dirinya, Hart menyadari bahwa dia harus keluar dari City. Secara mengejutkan, Hart memilih Torino sebagai pelabuhan berikutnya dengan status pinjaman.
Selama musim 2016/17, Hart bermain di 36 pertandingan liga untuk Torino. Namun permainannya dianggap tidak terlalu istimewa hingga akhirnya ia dikembalikan ke City. West Ham menjadi pelabuhan berikutnya, lagi-lagi dengan status pinjaman. Kembali ke liga dan negara asalnya, di gerbang usia emas penjaga gawang (30 tahun), tidak membuat Hart kembali ke performa puncaknya. Dianggap angin-anginan, posisinya di tim utama diberikan kepada Adrian. Hart hanya tampil dalam 19 pertandingan liga bagi West Ham musim itu. Dua musim berturut-turut sudah Hart gagal bersinar.
Memulai musim 2018/19, Hart akhirnya pergi secara permanen dari City dengan Burnley sebagai pelabuhan berikutnya. Keputusan ini sendiri menimbulkan tanda tanya karena di Burnley sudah ada dua penjaga gawang dengan level tim nasional yaitu Tom Heaton dan Nick Pope.
Sepertinya Hart ingin membuktikan bahwa ia masih merupakan salah satu penjaga gawang terbaik di ranah Britania dengan menantang dua penjaga gawang tersebut. Beruntung bagi Hart, musim dimulai dengan cederanya Heaton dan Pope. Posisi starter tidak lepas darinya, hingga akhirnya Tom Heaton sembuh dari cedera.
Meski memulai musim sebagai starter, ternyata itu hanyalah audisi bagi Hart untuk menunjukkan kemampuannya. Sayangnya, selama 19 pertandingan awal di liga, Hart gagal tampil impresif. Mulai pekan ke-20, Heaton sudah siap tampil mengambil posisi starter dan sejak itu ia telah bermain selama empat pertandingan berturut-turut. Jika tidak ada perkembangan berarti, Heaton akan terus bermain hingga musim berakhir. Hart akan kembali menjalani musim yang tidak menggembirakan selama tiga tahun berturut-turut.
Tepat ketika berada di usia awal 30-an yang disebut-sebut sebagai usia puncak seorang penjaga gawang, Joe Hart justru mengalami kemunduran performa dan prestasi. Posisinya terkini di klub hanya sebagai pelapis. Panggilan untuk membela tim nasional pun telah lama tak ia dapatkan.
Di akhir musim nanti, sudah jelas Hart harus melakukan evaluasi. Masih tersisa beberapa tahun bagi Hart untuk berlaga di kompetisi tertinggi Liga Inggris dan bangku cadangan terlalu kecil bagi seorang penjaga gawang dengan kemampuan, pengalaman, dan prestasi yang dimilikinya.
Jalan yang harus ditempuh Hart kembali ke puncak prestasi jelas tidak mudah. The Big Six sudah memiliki penjaga gawang utama yang sulit digeser. Joe Hart sudah dianggap bukan lawan sepadan bagi Allison Becker, Ederson Moraes, Hugo Llrois, Kepa Arrizabalaga, David De Gea, dan Bernd Leno. Okay, Leno masih mungkin untuk digusur dari posisi starter di Arsenal. Tapi sejauh ini belum ada berita ketertarikan dari Arsenal.
Sementara beberapa klub yang masuk kategori best of the rest seperti Everton, Leicester City, dan Wolverhampton Wanderers sudah mapan dengan Jordan Pickford, Peter Schmeichel, dan Rui Patricio. Pindah ke luar Inggris? Ah sepertinya pengalaman di Torino sudah cukup bagi Hart. Jika terus-menerus menjadi penghuni bangku cadangan di Burnley, menemukan klub baru akan menjadi pekerjaan rumah terbesar sebelum memasuki musim 2019/20.
***
Kembali ke Benjamin Button. Meski menjalani hidup yang berliku, Benjamin meninggal dalam dekapan orang yang disayanginya. Mungkin Joe Hart dapat mengambil contoh dan memutuskan untuk memilih berkarier di tempat ia dapat merasa dicintai, dihormati, dan dipuja. Walau mungkin tempat tersebut tidak dapat menjanjikan puncak tertinggi prestasi sepakbola. Seperti Benjamin Button, masih ada kesempatan bagi Joe Hart untuk menghabiskan tahun-tahun terakhirnya berkarier untuk bermain dalam dekapan kebahagiaan.
*Penulis merupakan analis pasar modal dan penggemar Michael Carrick. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @edwinhartanto
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar