Oleh: Mukhammad Najmul Ula
Liku hidup terkadang sangat simpel. Bagi David De Gea misalnya. Ia bermain di klub terbaik dunia dan terbiasa melakukan sepuluh penyelamatan tiap pekan, yang lantas menjadikannya pemain terbaik di klub tersebut. Bagi Keylor Navas, ia tak masuk akademi top dunia dan hanya perlu menjadi kiper utama di klub medioker selama semusim pada usia 28 sebelum pindah ke klub besar dan tiba-tiba mengoleksi tiga gelar Liga Champions dalam usia 33.
Di sisi lain, definisi simpel bagi penjaga gawang bisa sangat relatif. Dalam kacamata Robert Green, simpel adalah ketika ia bergabung dengan klub sebesar Chelsea, mengikuti seluruh perjalanan tim, menjalani pemanasan sebelum pertandingan, lalu memesan segelas teh dan duduk di tribun guna menyaksikan Willy Caballero melamun di bangku cadangan dan menonton Kepa Arrizabalaga berpeluh di lapangan.
Ya, Green, bersama banyak kiper kurang populer lainnya, sedang (atau telah lama) menjalani karier sebagai kiper nomor tiga. Kiper ketiga secara harfiah diartikan sebagai para penjaga gawang yang berada di belakang kiper utama dan kiper cadangan dalam hierarki kebutuhan tim. Mengutip Tom Hamilton di ESPN FC, kiper ketiga adalah “pembelajar abadi” dalam sepakbola, tak peduli berapa pun usianya.
Kiper ketiga akan menjalani seluruh sesi latihan: meredam seluruh tendangan para striker dan mencoba memberi impresi pada sang pelatih, hanya untuk mengetahui bahwa kecuali sesuatu yang luar biasa terjadi, ia tak akan terlibat dalam pertandingan apa pun. Di sepanjang musim, peluang terbaik bagi si nomor tiga adalah duduk di bench di turnamen domestik, dan kemungkinan baru benar-benar “berkeringat” di pertandingan tim cadangan.
Tidakkah para kiper tersebut merasa jenuh dan berusaha memberontak mengubah status quo? Carlo Nash punya jawabannya. Ia berpengalaman menjadi nomor tiga di Everton, Stoke, dan Norwich hingga pensiun pada usia 41 pada 2014. Seperti dikutip Chris Evans di The Set Pieces, menurut Nash, situasi antara para penjaga gawang dalam skuat akan tetap harmonis jika masing-masing saling memahami peran mereka di tim.
Nash merujuk pada persaingan menjadi nomor satu di antara dua kiper utama. Jika kiper utama sedang berada di masa keemasan, sementara kiper cadangan adalah kiper junior atau kiper menjelang pensiun, segalanya akan berjalan mudah. Lain hal apabila seluruh kiper dalam skuat berada di level yang sama, atau dengan kata lain, sama-sama punya ambisi menjadi nomor satu. Situasi rumit ini pernah terjadi di Chelsea dengan Thibaut Courtois dan Petr Cech pada 2014/15, serta Iker Casillas dan Diego Lopez di Real Madrid pada 2012/13.
Demikian pula dengan menjadi kiper ketiga. Kiper di usia emas jarang mau menghabiskan kariernya dengan duduk di bangku VIP saat laga berlangsung. Oleh karena itu, jamak menemukan kiper minim jam terbang atau veteran dengan sisa-sisa kemampuan diberdayakan sebagai kiper ketiga. Liverpool musim ini punya Caoimhin Kelleher (20 tahun) setelah memakai jasa Alex Manninger (39 tahun) pada 2016/17. Ada pun Chelsea dan Manchester United punya Robert Green (39 tahun) dan Lee Grant (35 tahun).
Komodifikasi Akali Regulasi
Sejauh yang kita pahami, kiper ketiga bertugas untuk melapis dan menjaga level para kiper utama pada sesi latihan. Peran tersebut tampaknya telah terkomodifikasi belakangan ini. Green dan Grant naga-naganya akan menjadi preseden bagi kebijakan perekrutan kiper ketiga di Premier League.
Kedua klub pemakai jasa mereka, Chelsea dan United, terlihat punya kepentingan lain. Model perekrutan seperti itu bisa diendus seperti kala Manchester City mempekerjakan Richard Wright dalam kurun 2012-2016. Klub-klub besar sering kesulitan mematuhi regulasi pemain homegrown di Premier League, dan orang-orang seperti Green, Grant, dan Wright bisa sangat berguna.
Guna memenuhi kuota delapan pemain homegrown, seorang kiper renta asli Inggris bisa jadi bemper untuk mengakali regulasi tersebut. Dengan tingginya tuntutan berprestasi di kompetisi resmi, para klub lebih memilih jor-joran membeli bintang asing. Pemain homegrown pun sulit diintegrasikan ke tim utama. Dengan situasi tersebut, adakah posisi yang lebih baik untuk menyisipkan satu pemain homegrown dibanding kiper ketiga?
Anomali Burnley
Burnley bisa dibilang telah menjadi kawah anomali bagi situasi para penjaga gawang. Mereka punya deretan kiper paling mewah di daratan Inggris. Bagaimana tidak, Sean Dyche “berhasil” mengumpulkan tiga kiper kaliber timnas Inggris sekaligus: Tom Heaton, Nick Pope, dan Joe Hart. Mereka tercatat wara-wiri dipanggil Gareth Southgate setidaknya dalam dua tahun terakhir.
Hart merupakan kiper timnas Inggris di Euro 2012, Piala Dunia 2014, Euro 2016, serta terakhir kali membela tim Tiga Singa pada 2017. Sementara itu, Heaton telah mengoleksi tiga caps, dan rutin dipanggil timnas sejak 2015, termasuk pekan internasional Maret lalu. Satu lainnya, Pope, menjadi kiper utama Burnley pada musim lalu dan masuk dalam skuat final Piala Dunia 2018 lalu.
Fenomena ini lebih pantas disebut kebetulan daripada perencanaan jangka panjang. Heaton belum pulih dari cedera parahnya sejak musim lalu, sementara Pope sang pelapis baru didera cedera pada laga kualifikasi Liga Europa. Mengingat Burnley masih akan melangsungkan beberapa laga kualifikasi Liga Europa dan Premier League segera dimulai, pihak klub pun mengambil opsi darurat. Mereka menelepon Hart yang tak terpakai di City, yang langsung menyetujui kontrak tiga tahun di Turf Moor.
Sean Dyche sendiri mengakui salah satu di antara ketiganya harus pergi pada akhir musim demi kebaikan karier mereka. Hart tampil penuh di paruh musim pertama, tetapi karena performa Burnley melorot, ia digantikan oleh Heaton sejak Natal. Pope yang paling muda mendapat giliran mengawal gawang The Clarets di Piala FA.
*Seorang penderita rabun politik, anggap saja pesepakbola gagal yang tak mau meninggalkan lapangan hijau. Bisa dihubungi lewat @najmul_ula.
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Simak opini, komentar, dan sketsa adegan Rochy Putiray tentang jual-beli lisensi klub yang kerap terjadi di Liga Indonesia:
Komentar