Oleh: Daniel Fernandez
April 2019 dihiasi dengan diputarnya salah satu film yang paling ditunggu di tahun ini yaitu Avengers: Endgame. Euforia menyambut film ini begitu terasa di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Tajuk sebagai akhir dari sekuel Avengers dan juga waralaba Marvel Cinematic Universe menjadi daya tarik dari film besutan Russo bersaudara tersebut.
Pada bulan yang sama, Juventus telah memastikan kembali meraih trofi Liga Italia untuk kedelapan kalinya secara beruntun. Meski begitu banyak pihak yang berharap cerita Massimiliano Allegri bersama si Nyonya Tua harus segera berakhir selayaknya Avengers: Endgame. Kegagalan di Liga Champions jadi sebab.
Musim ini menjadi tahun kelima Max Allegri melatih Juventus. Dia bergabung pada awal musim 2014/15 menggantikan Antonio Conte yang secara mendadak mundur dari posisi pelatih Bianconeri. Saat itu sempat terjadi penolakan atas keputusan manajemen Juventus yang memilih Allegri sebagai suksesor Conte. Tifosi Juve merasa Allegri tidak cukup baik untuk menjadi pelatih Juve karena sebelumnya telah dipecat oleh AC Milan.
Alasan lainnya adalah hubungan yang tidak harmonis dengan Andrea Pirlo. Gelandang flamboyan asal Italia tersebut memang tersingkir dari skuat Milan karena Allegri merasa juara Piala Dunia 2006 tersebut sudah melewati masa emasnya. Terbuang di Rossoneri, Pirlo akhirnya bergabung dengan Juventus dan langsung menjadi pemain penting di skuat Antonio Conte. Pirlo kembali menemukan sentuhan terbaik sekaligus membantu Juventus meraih kesuksesan di kompetisi lokal.
Pada akhirnya Allegri membuktikan segala keraguan tentang kapasitasnya. Dia pun mampu mempertahankan pakem tiga bek andalan Conte dan tetap mengandalkan Andrea Pirlo sebagai pusat permainan Juventus.
Simak cerita dan sketsa adegan Rochi Putiray tentang rasisme yang jadi musuh bersama di sepakbola:
Lebih dari itu, bersama Allegri, Gianluigi Buffon dan kolega dibawa ke level yang berbeda. Jika Conte hanya mampu kembali memberikan gelar Liga Italia, Allegri berhasil menjadikan Juventus raja di dua kompetisi lokal Italia pada musim pertamanya. Pelatih berusia 51 tahun itu juga membawa Juventus masuk ke final Liga Champions untuk pertama kalinya sejak musim 2002/03. Dengan polesan Allegri, Juventus tidak lagi hanya menjadi penguasa kompetisi Italia mereka pun mulai berani bermimpi untuk memenangkan Liga Champions.
Sayangnya lima tahun berselang trofi Liga Champions yang begitu diimpikan tak kunjung datang. Memang dalam masa kepelatihan Allegri, Juventus telah meraih 5 scudetto dan 4 trofi Coppa Italia. Namun ekspektasi suporter dan manajemen si Nyonya Tua tentu lebih dari berkuasa di negeri sendiri.
Khususnya di musim ini semua loyalis Juventus berharap trofi Liga Champions akan mampir ke Kota Turin. Apalagi setelah Cristiano Ronaldo didatangkan di awal musim ini. Pemain asal Portugal tersebut memang membawa catatan yang mengesankan yaitu meraih 5 gelar Liga Champions bersama dua klub berbeda. Sayangnya sang mega bintang hanya mampu menolong Juventus hingga babak 8 besar saja setelah tersingkir oleh Ajax Amsterdam.
Di musim ini juga Juventus untuk pertama kalinya sejak Allegri bergabung gagal meraih gelar Coppa Italia setelah menyerah 3-0 dari Atalanta. Saat itu tidak banyak protes atas tersingkirnya Juventus, baik suporter dan manajemen merasa Coppa Italia memang perlu dikorbankan demi meraih kesuksesan di kompetisi Eropa. Meski pada akhirnya pengorbanan tersebut tidak menghasilkan apa-apa.
Euforia gelar juara Liga Italia pun terasa begitu hambar, sang pelatih juga yang mengakui bahwa anak asuhnya telah menjadi juara sejak bulan Februari lalu. Bahkan untuk beberapa pihak menganggap Juventus telah mengunci gelar juara bahkan ketika liga belum dimulai. Trofi domestik tambahan pun tidak lagi mengesankan bagi penulis pribadi dan sebagian tifosi Juventus.
Sulit untuk mencari kalimat-kalimat pujian kepada skuat Juventus di musim ini meski kembali berhasil menjadi yang terbaik di Italia. Kritikan yang paling sering terdengar adalah bagaimana Juventus begitu bergantung kepada Ronaldo di musim ini. Mantan pemain Real Madrid tersebut memang menjadi aktor penting Bianconeri dengan berhasil mencetak 26 gol dan 13 asis. Dua kekalahan yang diterima Juventus di Serie-A musim ini juga ketika Ronaldo tidak dimainkan oleh Allegri padahal lawan mereka hanyalah SPAL dan Genoa.
Selain terlalu bergantung kepada Ronaldo, Allegri pun selalu kesulitan jika Miralem Pjanic tidak bermain. Pjanic menjadi satu-satunya pemain yang memiliki atribut cukup baik sebagai playmaker di lini tengah Juventus. Gelandang lainnya belum memiliki kemampuan dan kecerdasan untuk menjadi pusat permainan Bianconeri. Selain Pjanic, gelandang Juventus memang lebih banyak berperan sebagai gelandang box-box yang mengandalkan fisik dan mobilitas tinggi.
Kebiasaan Allegri merotasi starting line-up selama melatih Juventus juga menjadi sasaran kritik beberapa pengamat di Italia. Allegri memang dikenal sebagai pelatih yang memiliki taktik yang fleksibel dan adaptif dengan perubahan di lapangan. Tercatat Allegri sudah memasang 180 line-up yang berbeda dari 185 pertandingan. Boleh jadi seringnya Allegri mengubah line-up akan membuat para pemain kesulitan untuk menemukan bentuk permainan terbaiknya.
Konsistensi dan kohesi antar pemain juga akan sulit dibangun jika susunan pemain terus berganti di sepanjang musim. Juventus di musim ini juga selayaknya tim yang kehilangan arah karena Allegri hanya mengandalkan kemampuan individu para pemain yang kebetulan adalah yang terbaik di Italia.
Desakan agar Allegri mundur pun semakin menguat di akhir musim ini, bahkan Cristiano Ronaldo juga dikabarkan meminta adanya pergantian pelatih di musim depan. Manajemen pun sebenarnya sudah pernah mempertimbangkan untuk melepas Allegri di akhir musim ini. Namun mereka kembali berbalik mendukung Allegri setelah Zinedine Zidane memilih untuk kembali melatih Real Madrid.
Saat ini tidak banyak pilihan yang dapat menjadi suksesor Allegri. Satu-satunya pilihan yang paling masuk akal adalah Antonio Conte. Mengembalikan Conte ke kursi pelatih juga bukanlah opsi yang buruk, pengalaman mantan pemain Juventus tersebut juga sudah semakin banyak setelah melatih Italia dan Chelsea. Mantan pelatih Siena tersebut juga berhasil meraih gelar juara Liga Inggris meski pada akhirnya dipecat oleh The Blues.
Jika pada lima musim lalu Conte pergi karena manajemen Juventus tidak mendukung secara finansial, ini adalah waktu yang tepat untuk kembali karena kini Juventus sudah jauh lebih mapan.
Kegagalan Allegri di musim ini dirasa menjadi batas kemampuan sang pelatih. Mantan pelatih AC Milan tersebut sepertinya hanya mampu membawa Juventus mendominasi kompetisi Italia dan bersaing di Liga Champions. Segala cerita yang pernah Ia ukir bersama Juventus adalah catatan yang sangat mengesankan akan tetapi musim ini adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri cerita tersebut.
*Penulis merupakan mahasiswa asal Bandung yang aktif di dunia maya dengan akun @L1_Segitiga.
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar