Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) melihat permasalahan pembinaan sepakbola usia dini, menjadi salah satu variabel berbagai faktor penyebab tersumbatnya prestasi. Membicarakan pembinaan usia dini, tentu tidak bisa lepas dari membicarakan sosok seorang pelatih (coach).
Memaknai pelatih sepakbola sebagai salah satu indikator keberhasilan seorang pemain dalam meraih prestasi adalah suatu keniscayaan. Hampir mustahil ada pemain sepakbola profesional yang di usia mudanya tidak mendapat sentuhan dingin dari tangan seorang pelatih. Seorang atlet hebat berawal dari pelatih yang hebat pula. Begitu prestasi sepakbola yang hebat, berawal dari para pelatih yang hebat pula.
Menyadari hal ini, PSSI mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan pelatih sepakbola di Indonesia. Menyemarakkan kursus kepelatihan pelatih sepakbola, adalah salah satu upaya yang diambil oleh PSSI guna memperbanyak juru taktik berlisensi. Langkah ini, diharapkan mampu membawa pembinaan sepakbola usia dini di Indonesia berprogres kearah yang lebih baik.
Namun, terlepas dari harapan indah PSSI, ada beberapa persoalan nyata yang dihadapi oleh para calon maupun pelatih sepakbola usia dini. Permasalahan ini berkorelasi dengan pembinaan usia dini itu sendiri.
- Mahalnya biaya Kursus Kepelatihan.
Kursus kepelatihan Sepakbola ini dikualifikasikan menjadi tingkatan berjenjang. Dari ‘lisensi D nasional’ (terendah) yang pelaksanaanya dinaungi langsung oleh PSSI. Kemudian di tingkat selanjutnya ada kursus kepelatihan C AFC, B AFC, A AFC, hingga yang tertinggi ada A PRO. Dalam kursus lisensi C AFC sampai A AFC, pelaksanaannya dinaungi oleh AFC (Asian Football Confederation), sedangkan kursus kepelatihan tertinggi A PRO dilaksanakan di bawah naungan induk organisasi sepakbola dunia (FIFA). Adapun syarat-syarat dan biaya yang harus dipenuhi untuk mengikuti kursus kepelatihan pelatih sebagai berikut;
sumber: www.panditfootball.com
Melihat penjabaran infografis di atas, biaya tampaknya menjadi persoalan pertama yang harus dihadapi oleh para calon pelatih. Terutama bagi mereka yang baru akan memulai karier kepelatihannya. Ditambah dengan kemungkinan tidak lolos ujian akhir pada saat kursus karena Karena pada setiap ujian kenaikan lisensi C AFC, B AFC, A AFC dan A PRO akan ada ujian akhir yang akan menentukan. Tentunya hal ini akan menjadi pertimbangan awal seorang pelatih/calon pelatih.
- Ketidakjelasan Kualifikasi Pelatih
Menjadi pelatih sepakbola usia dini tentunya bukan perkara yang bisa dianggap mudah. Tak sekedar menyiapkan program latihan dan memimpin siswa berlatih, seorang pelatih sepakbola usia dini (Coach educator) juga harus memiliki; Sikap (afektif), pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (Psikomotor) yang merupakan kompetensi dasar seorang pendidik.
Dengan memperbanyak jumlah pelatih berlisensi di Indonesia, PSSI mengharapkan peningkatan kualitas pembinaan usia dini. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah peningkatan kuantitas pelatih tanpa memperhatikan kualitas akan memberikan dampak yang signifikan bagi pembinaan sepakbola usia dini?.
Seperti yang terjadi saat ini, tidak semua memang, tapi alasan kebanyakan orang mengambil lisensi kepelatihan sepakbola bukanlah untuk fokus terhadap pembinaan usia dini itu sendiri. Melainkan sebagai jalan untuk menambah penghasilan pribadi dengan cara mengkomersialisasikan SSB atau akademi sepakbola yang dibentuknya.
Memang hal ini bukan hal yang bisa dikatakan sebagai kesalahan yang mutlak. Namun dengan tidak adanya kualifikasi yang mengharuskan seorang calon pelatih wajib memiliki latar belakang pendidikan kepelatihan, akan menyebabkan ketidakefektifan pembenahan pembinaan sepakbola usia dini.
- Profesi Seorang Pelatih Sepakbola di Indonesia
Tokoh utama ‘Coach Sani’ dalam film ‘Cahaya dari timur’, merupakan salah satu contoh fenomena yang menjadi cermin permasalahan yang dihadapi oleh seorang pelatih sepakbola akar rumput di Indonesia. Dalam film ‘Cahaya dari timur’ film yang berangkat dari kisah nyata, Seorang bernama Sani, mantan pemain sepakbola yang gagal menjadi pemain sepakbola profesional yang kemudian berganti profesi menjadi tukang ojek.
Berawal dari konflik antar agama yang terjadi di daerahnya menimbulkan korban jiwa seorang anak, ia akhirnya mencari cara untuk mencegah kejadian serupa. Sani pun menjadikan sepakbola sebagai jalan untuk mengalihkan perhatian anak-anak saat kerusuhan terjadi.
Akhirnya Sani memutuskan untuk melatih anak-anak bermain sepakbola setiap sore di lapangan desa. Kebiasaannya melatih sepakbola membuat istrinya kesal. Sebab dengan menyisihkan sebagian waktunya untuk melatih, menjadikan penghasilan dari profesi utamanya berkurang. Kurangnya Federasi dan pemerintah dalam memperhatikan persoalan akar rumput, menjadikan profesi menjadi seorang pelatih sepakbola kurang diminati.
Selain kurangnya perhatian federasi terhadap pelatih akar rumput, sistem dan mekanisme pengrekrutan, profesi seorang pelatih klub profesional juga masih menjalankan ‘Status quo’. Dengan adanya konsep kursus kepelatihan yang berjenjang dari Lisensi D nasional hingga A PRO, menyebabkan tingkat kompetitif yang terjadi sama sekali tidak selaras dengan tujuan dari pengupayaan pengembangan kualitas usia dini.
Jika melihat realita, perumusannya menjadi sederhana. Semakin tinggi lisensi kepelatihan seseorang, ditambah dengan mahalnya biaya yang dikeluarkan pada setiap jenjangnya, pelatih pasti akan mengharapkan pekerjaan yang sebanding dengan eksistensinya. Dalam arti lain kata lain ‘melatih dengan gaji yang layak’.
Status quo disini dimaksudkan mengenai proses atau cara sebuah klub mencari pelatih atau sebaliknya. yang masih mengandalkan ‘link orang dalam’. Jika konsep seperti ini terus berlanjut, maka yang memiliki kesempatan besar untuk menjadi seorang pelatih klub profesional adalah mereka yang sudah lama berkecimpung dalam dunia sepakbola. Tentunya bagi para mantan pemain profesional atau yang memiliki relasi kuat dengan para pemilik klub.
Hal ini yang kemudian dirasa bertolak belakang dengan upaya pemerataan dan pembenahan kualitas pembinaan sepakbola usia dini. Bagaimana pembinaan usia dini akan berkembang,jika yang memiliki lisensi kepelatihan tinggi dan berkualitas, tidak tertarik berlama-lama melatih SSB/Akademi sepakbola di daerah-daerah dan bahkan di pelosok-pelosok? Tentu jawabannya menjadi sederhana karena “Rak ono duite”.
Padahal proses pembentukan seorang atlet berkualitas sama halnya dengan menanam dan merawat sebuah tanaman hias. Diperlukan ketelitian, kesabaran, dan pengkhidmatan yang mendalam dalam jangka waktu tidak sebentar. Dibutuhkan juga seseorang yang benar-benar paham dan punya kemampuan khusus untuk bisa menghasilkan tanaman hias agar bisa dinikmati keindahannya.
Jika permasalahan yang sudah diuraikan diatas masih terus berlanjut, apakah pemerataan dan peningkatan kualitas pembinaan usia dini di Indonesia masih bisa diharapkan?
Akun Twitter: @SftllhFaisal
Komentar