Karya Felix Darmawan
Akhirnya, Arturo Vidal terbang ke Jerman. Semalam, melalui akun twitter pribadinya, ia mengabarkan bahwa dirinya sedang menuju Munich, kota yang disebutnya menawarkan âera baruâ dan âmimpi baruâ.
Kabar ini tidak mengejutkan sebenarnya. Kepindahan Vidal ke Munich bukan lagi sekadar rumor, namun sudah mendekati setengah resmi beberapa jam terakhir. Esoknya atau tepat hari ini pihak Bayern kemudian secara sah mengumumkan rekrutan anyarnya tersebut. Vidal dikontrak selama empat tahun dengan nilai transfer yang tidak dipublikasikan.
Kendati tidak mengejutkan, kepindahan Vidal ini sesungguhnya bisa saja menimbulkan rasa sesak di hati para Juventini. Sesak bukan semata karena kehilangan seorang pemain penting, tapi juga karena kepergian Vidal nyaris berbarengan dengan hengkangnya dua pilar yang lain: Andrea Pirlo dan Carlos Tevez.
Kepergian Andrea Pirlo ke liga Amerika Serikat, bersama New York FC, diikuti pulangnya Carlos Tevez ke Argentina untuk membela kesebelasan yang ia cintai, Boca Juniors. Dengan Vidal yang juga hengkang, ada tiga pilar yang pergi. Kehilangan tiga pilar sekaligus jelas bukan hal yang gampang diterima.
Kepergian ketiganya memang tidak semengharukan cerita kepergian Iker Casillas, Steven Gerrard dan Xavi Hernandez dari kesebelasan yang membesarkannya sekaligus kota asalnya. Ketiga nama pilar Juventus itu semuanya tidak berasal dari daerah asal kesebelasan mereka (Turin, Italia), juga tidak mendapatkan ilmu dasar sepakbola dari tim primavera Juventus.
Perbedaan lainnya yang mencolok: Â tiga pilar Juve itu juga terhitung mengabdi dalam waktu yang relatif pendek jika dibandingkan Gerrard, Xavi dan Casillas yang bermain di kesebelasan yang sama sejak masih ingusan. Andrea Pirlo bergabung pada 2011, Carlos Tevez pada 2013 dan Arturo Vidal bergabung pada 2011. Jelas tidak sebanding dengan Gerrard, Xavi dan Casillas yang belasan tahun membela Liverpool, Barcelona dan Real Madrid.
Tetapi, dalam waktu yang singkat itulah mereka (Pirlo, Tevez dan sebentar lagi Arturo Vidal) mengembalikan hegemoni Juventus di Italia pasca skandal calciopoli. Skandal itu tidak hanya berdampak pada dicopotnya dua gelar scudetto tetapi juga mereduksi komposisi pemain Juve kala itu. Fabio Cannavaro pindah ke Real Madrid, Zlatan Ibrahimovic ke Inter Milan, Lillian Thuram dan Gianluca Zambrotta membela Barcelona.
Sejak 2011, yang merupakan musim pertama Andrea Pirlo dan Arturo Vidal (lalu Carlitos menyusul dua tahun kemudian), Juventus di bawah asuhan Antonio Conte berhasil merebut gelar scudetto dengan status the invicibles. Lalu, keberlangsungan mereka di Turin ditutup dengan manis karena kembali merengkuh juara Serie A untuk yang keempat kalinya secara beruntun, mendapat gelar Coppa Italia. Plus capaian yang mengejutkan banyak pihak: menembus babak final Liga Champions Eropa di bawah kendali Max Allegri, yang awalnya mendapatkan banyak reaksi negatif.
Vidal menjadi nama terakhir yang akan meninggalkan Turin. Â Pemain yang ditahbiskan sebagai pemain terbaik Copa America tahun 2015 ini merupakan pemain yang sangat versatile (serba bisa). Vidal pada awal karirnya di klub Chile, Colo-Colo, cukup lihai bermain sebagai bek sayap maupun gelandang tengah. Lalu sejak di Juventus, ia memainkan role baru, yakni sebagai false number 10 (entahlah istilah ini sudah ada atau sama sekali baru) dalam pake 4-3-1-2.
Seperti pertandingan melawan Real Madrid di kedua leg semifinal UCL, Vidal memainkan posisi sebagai false number 10 karena posisi di atas board berada di belakang striker (Alvaro Morata dan Carlos Tevez) â posisi yang di Italia dikenal sebagai trequartista.
Keunggulan utama Vidal yakni daya jelajahnya yang tinggi membuat seakan-akan Vidal bermain tidak hanya di wilayah pemain no. 10. Ditambah dengan kemampuan pressing dan etos kerja seorang fighter membuat peran Arturo Vidal semakin sentral di lini tengah Juventus.
Selain serba bisa dengan ketangguhan fisik memumpuni, sehingga dapat mengcover area yang begitu luas dan tidak segan beradu fisik di lapangan, Vidal juga memiliki keunggulan dalam mengeksekusi tendangan penalti. Tidak hanya soal tendangan penalti, tetapi Vidal juga memiliki shoot power yang bisa memecah kebuntuan kala Juventus mengalam kesulitan menembus rapatnya pertahanan lawan.
Dengan deretan kemampuan macam itu, Vidal jelas merupakan pengganti yang tidak lebih buruk dari Schwensteiger, petarung produk Bayern Munchen. Tidak sekali dua kali kita melihat Bastian mengalami pendarahan di wajahnya. Ia juga memiliki tendangan powerful yang siap sedia untuk digunakan sebagai senjata pamungkas mencetak gol.
Tidak salah jika memang Arturo Vidal diproyeksikan sebagai suksesor Bastian Schweinsteiger. Â Keduanya ada kemiripan cara bermain, yakni bermain dengan penuh determinasi dan sama-sama seorang petarung hebat.
Sementara Juventus sendiri terlihat sudah mengantisipasi kemungkinan hengkangnya Vidal jauh-jauh hari. Sebelum rumor kepindahan Vidal berhembus kencang, Juventus sudah terlebih dahulu mengikat Sami Khedira yang masa kontraknya habis dengan Real Madrid. Juve, dengan demikian, mendapatkan tenaga baru yang penuh pengalaman dan trofi secara cuma-cuma.
Well, kemampuan Sami Khedira juga tidak bisa dipandang remeh. Sami Khedira juga memiliki peran sebagai box-to-box midfielder yang merupakan peran utama Vidal di Juventus. Dengan tinggi badan 188 cm, Sami memiliki kelebihan pada duel udara. Kendalanya, barangkali, Khedira sempat bermasalah dengan cedera yang cukup panjang saat masih memperkuat Real Madrid.
Apakah Khedira, atau Draxler, akhirnya dapat mengisi lubang yang ditinggalkan Vidal atau tidak, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Tapi perlu dicatat, Khedira seorang box to box, lama bermain sebagai gelandang bertahan, dan agaknya tidak persis sama dengan apa yang dimainkan Vidal di Juventus.
Biarlah Allegri mematangkan rencana-rencananya. Masih ada beberapa pekan bagi Allegri untuk mempersiapkan tim dengan sebaiknya.
Kini, setidaknya, mereka bisalah melepas Vidal dengan rileks, sebagaimana Juventus juga bisa dengan santai âtanpa banyak drama dan saga yang lebay- melepas kepergian Pirlo dan Tevez. Arturo Vidal (dan juga Andrea Pirlo dan Carlos Tevez) meninggalkan Juventus dengan kesan yang baik. Tidak dengan merengek-rengek minta dijual ke klub lain, atau dibuang karena jasanya tidak dibutuhkan lagi.
Grazie King Arturo!
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Juventini sejak memiliki playstation 1 (tahun 2004). Bisa dihubungi melalui akun twitter @FDarmawan_
Komentar