Oleh: Ananda
Dua musim terakhir, sistem permainan Tottenham Hotspur terlihat berbeda dari musim-musim sebelumnya. The Lilywhites seperti kehilangan jati diri. Jika ada satu orang yang harus bertanggung jawab mengenai hal ini, Mauricio Pochettino orangnya.
Sebelum formasi 4-2-3-1 seakan menjadi �"formasi sakti�" di Premier League, formasi default kesebelasan-kesebelasan Inggris adalah 4-4-2. Dalam formasi ini para pemain sayap di kedua sisi memiliki peran krusial, karena lewat kedua sisi lapangan lah kesebelasan-kesebelasan Inggris menyerang. Sebelum Premier League dijejali inverted winger, pemain sayap cepat (speed winger) adalah salah satu daya tarik utama liga yang terkenal cepat ini.
Tottenham termasuk salah satu dari banyak kesebelasan yang mengandalkan serangan sayap. Aaron Lennon di kanan dan Gareth Bale di kiri menjadi andalan Harry Redknapp. Keduanya tetap menjadi andalan ketika Andre Villas-Boas menggantikan Redknapp, karena Lennon dan Bale adalah jaminan serangan sayap yang mengerikan. Jangankan melawan bek sayap yang overlap; menghadapi bek sayap yang siaga di posisinya saja bukan perkara sulit bagi Lennon dan Bale.
Kecepatan pemain sayap adalah jati diri Tottenham. Dengan mengandalkan pemain-pemain sayap pula Tottenham mengakhiri musim 2009/10 di peringkat keempat sehingga berhak berlaga di Champions League musim berikutnya (walau harus melewati babak kualifikasi melawan Young Boys dari Swiss).
Bermain di Champions League terbilang mewah untuk kesebelasan sekelas Tottenham. Setelah lolos dari fase grup yang pada salah satu pertandingannya mereka mengalahkan Inter Milan lewat serangan sayap, Tottenham menyingkirkan AC Milan dengan cara yang sama. Kegagalan serangan Milan membuka peluang Lennon untuk berlari kencang menyisir sayap kanan. Dengan mudah Lennon melewati Mario Yepes kemudian mengoper bola ke depan gawang. Pergerkan Lennon diiringi sorak-sorai karena Peter Crouch menyambut umpannya dan terciptalah sebuah gol.
Patut dicatat bahwa Redknapp dan Villas-Boas tidak menggunakan formasi 4-4-2. Mereka memainkan formasi mainstream masa kini, 4-2-3-1, tanpa meninggalkan serangan sayap sebagai jati diri Tottenham. Inilah yang tidak dimiliki Spurs saat ini. Di dua laga awal Premier League musim ini, Poch (Mauricio Pochettino) memasang Nacer Chadli di sayap kiri Moussa Dembele di kanan. Keduanya mengapit Christian Eriksen di tengah. Saat laga berjalan, ketiga pemain yang bermain di belakang Harry Kane ini dapat bertukar posisi. Dengan taktik ini, serangan Tottenham menjadi cair. Ditambah lagi ketiga pemain tersebut memiliki olah bola, pergerakan, dan visi bermain yang terbilang bagus. Sayangnya tidak ada satu pun dari ketiga pemain tersebut yang mempunyai kecepatan di atas rata-rata.
Mari kita bandingkan lini serang Tottenham dengan kesebelasan-kesebelasan besar Premier Leagu lainnya. Eden Hazard bukan winger yang cepat, namun Chelsea memiliki Willian dan Juan Cuadradao. Manchester City memiliki Raheem Sterling dan Jesus Navas untuk mengimbangi David Silva dan Samir Nasri yang lamban. Sementara itu Arsene Wenger pantas bersyukur karena memiliki Theo Walcott, Alexis Sanchez, dan Alex Oxlade-Chamberlain. Manchester United, sementara itu, mengandalkan Memphis Depay, Ashley Young, dan Antonio Valencia.
Dari pemaparan di atas jelas sudah kecepatan serangan menjadi hal yang mutlak harus dimiliki tim liga Inggris yang terkenal mengandalkan fisik. Jikapun plan A suatu tim tidak memakai jasa winger cepat, adakalanya plan B harus dijalankan (dengan winger cepat). Keberhasilan sebuah counter attack juga mewajibkan komponen kecepatan turut serta di dalamnya.
Sebenarnya Poch masih mempunyai Lamela, namun pemain termahal yang pernah dibeli Spurs tersebut jauh dari kata cepat. Eks pemain AS Roma tersebut malah kerap memperlambat tempo dengan dribble-nya yang tidak efektif di sisi kanan. Jika ingin kecepatan, Andros Townsend masih ada di bangku cadangan, namun entah kenapa sang pelatih asal Argentina tidak meliriknya, padahal pergerakan Townsend sangatlah eksplosif, Ia bisa bermain di kedua sisi sayap sama baiknya. Bagaimana dengan Lennon? Setelah kembali dari masa peminjamannya di Everton, pemain yang mempunyai masa bakti terlama di skuad Spurs saat ini bahkan tidak mendapatkan nomor punggung di daftar pemain yang tercantum. Publik White Hart Lane dipaksa untuk mulai melupakan jersey nomor 7 dengan nama Lennon di atasnya. Padahal kecepatan pemain asal Leeds United ini konon hanya kalah dari Theo Walcott di timnas Inggris.
Tampaknya, semua rasa enggan Pochettino memainkan sayap-sayap cepat ada hubungannya dengan fakta bahwa ia belajar taktik dari Marcelo Bielsa. Permainan menyerang Bielsa memang banyak mengandalkan umpan-umpan direct mengarah ke depan, namun kecepatan pemain sayap bukan komponen utama taktik Si Gila. Bielsa mengedapankan penempatan diri untuk mencari jalan paling singkat dan paling cepat menuju gawang. Umpan-dan-bergerak adalah inti permainan Bielsa, bukan gocekan dan dribble pemain sayap. Barangkali, ini pula yang berusaha Poch terapkan di Tottenham.
Namun rasanya bukan kebetulan jika ketika lolos ke Champions League, Tottenham memiliki serangan sayap yang mengerikan. Barangkali Poch perlu sedikit memodifikasi ajaran gurunya, untuk meraih apa yang Redknapp raih. Barangkali Poch harus mengembalikan permainan sayap ke Tottenham agar ia dan kesebelasannya mampu terbang tinggi.
Poch harus mengembalikan sayap yang ia rampas, karena flying without wings mustahil dilakukan kecuali Poch adalah personel Westlife.
Penulis dapat dihubungi di akun Twitter @annaannda.
Foto: Wikimedia
Komentar