Ketika Negara Kalah oleh (Dalih Lex Specialis) Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Ketika Negara Kalah oleh (Dalih Lex Specialis) Sepakbola

Oleh: Eko Noer Kristiyanto*

Sebelum saya memasuki inti argumentasi tulisan ini, perlu saya tegaskan bahwa dalam tataran teori maupun praktik saya adalah penganut paham lex sportivo. Seperti yang sudah saya uraikan dalam beberapa artikel sebelumnya, lex sportivo menempatkan hukum olahraga dalam sistem hukum transnasional sekaligus sebagai sistem hukum ketiga selain hukum nasional dan internasional. Sebagai konsekuensi dari pilihan itu, saya akan menganggap bahwa hukum terkait sepakbola adalah lex specialis, hukum yang khusus, yang eksistensinya tak dibatasi yurisdiksi dan administrasi suatu negara.

Namun seluruh konsekuensi kekhusuan lex specialis itu harus diimplementasikan dalam konteks dan pemahaman yang benar, rasional, waras, dan penuh itikad baik. Jika tidak maka hukum nasional dan transnasional yang seharusnya saling melengkapi justru akan saling berbenturan dan akibatnya berdampak buruk bagi masyarakat.

Juga merupakan konsekuensi lanjutan jika seorang penganut lex sportivo seperti saya tentu mendukung bahwa yurisdiksi sepakbola hanya berada di tangan FIFA dan turunannya (federasi sepakbola suatu negara) tanpa intervensi pemerintah. Dan tulisan ini mencoba menjelaskan bahwa PSSI dan PT Liga, yang eksistensi dan yurisdiksinya selalu saya dukung untuk bebas dari intervensi negara, telah kebablasan dan keluar dari koridor lex sportivo itu sendiri dengan mengabaikan aturan-aturan main yang jelas-jelas masuk dalam ranah kewenangan dan yurisdiksi negara.

Digelarnya pertandingan Arema (vs Persija) dan Persebaya (vs Mitra Kukar) yang sebenarnya tidak mendapatkan rekomendasi dari BOPI dan tidak mengantungi izin keramaian dari kepolisian sebenarnya sudah dapat diduga. Namun, persoalan ini jelas bukan persoalan sepele dan remeh, utamanya jika kita melihat dari perspektif persinggungan sistem hukum dan kedaulatan suatu negara.

Terlepas dari pro-kontra hasil verifikasi yang tidak meloloskan Arema dan Persebaya, sikap menantang negara jelas terlihat saat penyelenggara pertandingan (yang tentunya didukung oleh PSSI dan PT Liga) secara sadar dan tidak takut-takut apalagi malu-malu tetap menggelar pertandingan - yang hingga detik ini tak dihendaki oleh BOPI dan Kemenpora plus tanpa izin resmi kepolisian. Bisa kita bayangkan betapa beraninya tindakan seperti ini. Kepolisian sebagai pemegang otoritas utama terkait keamanan di negeri ini tak mereka pedulikan, dan gilanya lagi mereka merilis tindakan tak patuh itu kepada pers bahwa mereka akan tetap menggelar pertandingan walau tanpa izin resmi kepolisian.

Perlu diketahui, walau aparat kepolisian hadir di dalam stadion, ini semata terkait tugas pokok dan fungsi (tupoksi) untuk menjaga keamanan dalam negeri yang memang menuntut mereka hadir di event yang melibatkan massa dengan jumlah signifikan. Jangan samakan kehadiran mereka ketika mereka diperbantukan untuk mengamankan jalannya pertandingan yang memang sudah resmi mendapat izin.

Dari sini jelas sudah ada pelanggaran hukum administrasi negara yang berada di luar yurisdiksi sepakbola. Terkait pertandingan sepakbola memang negara tabu mencampuri, namun secara prosedural penyelenggaraan pertandingan terkait izin keramaian, syarat keamanan dll., para penyelenggara pertandingan harus tahu diri dan memahami bahwa mereka terikat oleh aturan hukum negara selama pertandingan itu digelar di wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Adalah tepat ketika PSSI dan PT Liga mengatakan bahwa sepakbola berikut kompetisinya dikuasai, dikontrol, dikelola dan dimiliki oleh FIFA. Tetapi ketika sebuah pertandingan sepakbola resmi membutuhkan lapangan yang merupakan milik dan ada di bawah kedaulatan suatu negara, maka tak boleh ada pertandingan sepakbola tanpa izin negara.

Mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan pertandingan-pertandingan tersebut jelas secara langsung maupun tak langsung telah menantang negara. Mereka melawan tiga otoritas yang sah dan diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan di negara ini. Kemenpora sebagai kepanjangan eksekutif, BOPI sebagai pengemban amanat Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional dan Kepolisian Republik Indonesia sebagai otoritas tertinggi keamanan dalam negeri Republik Indonesia.

Tak pantas lagi federasi dan operator liga melakukan pembelaan membabi buta dengan membawa-bawa FIFA (hal biasa dan selalu saja mereka pakai) karena sebelumnya mereka telah bersepakat dengan BOPI untuk berbenah dan menunda penyelenggaraan liga, sehingga rekomendasi BOPI pun mau tidak mau harus diterima sebagai konsekuensi perbaikan dan penundaan liga itu. Terkecuali sedari awal PSSI dan PT Liga cukup percaya diri untuk menolak penundaan liga sejak dua bulan lalu maka bolehlah kita sedikit salut dengan pendirian federasi dan operator liga nasional itu. Namun yang terjadi adalah bahwa sejak awal PSSI dan PT Liga memang sulit membantah kelemahan-kelemahan mereka dan akhirnya memilih berkompromi dengan BOPI. Namun ketika hasil dari proses tetap tak sesuai harapan maka PSSI dan PT Liga kembali menjadi galak dan membawa-bawa FIFA.

PSSI dan PT Liga tampaknya lupa bahwa konflik yang terjadi kali ini berbeda dengan konflik sebelumnya. Jika dulu intervensi negara jelas berbentuk campur tangan dan menggunakan dasar yang jauh dari logika sepakbola, hanya berupa asumsi-asumsi dan emosi terkait tuntutan prestasi. Namun kali negara (melalui Kemenpora dan BOPI) “menyentuh“ PSSI dan PT Liga dengan menggunakan logika sepakbola ideal itu sendiri, terkait good governance dalam pengelolaan sepakbola, kesejahteraan pemain, legalitas dsb., yang justru seharusnya menjadi senjata PSSI dan PT Liga untuk berargumen dengan negara ketika mereka merasa diintervensi.

PSSI dan PT Liga pun harus ingat bahwa kali ini negara pun didukung elemen sepakbola internasional yaitu FIFpro, lembaga resmi yang menaungi dan mengadvokasi pesepakbola professional dunia, dari urusan gaji dan kontrak hingga urusan kesehatan mental dan psikologi pemain sepakbola. Dukungan ini tentunya merupakan indikasi bahwa kali ini negara (Indonesia) hendak mencampuri sepakbola dengan argumen dan dasar yang berpihak kepada sepakbola itu sendiri.

Justru seharusnya ada introspeksi mendalam dari PSSI dan PT Liga mengapa di negeri ini mereka tak leluasa menjalankan agenda sepakbola. Jika boleh saya bantu menjawab, salah satu penyebab utama mengapa ada pihak yang berani “mengusik” adalah karena mereka senantiasa tak konsisten sehingga menimbulkan celah-celah untuk “digoyang”. Banyak contoh di luaran sana yang menunjukkan bahwa ketika suatu federasi sepakbola konsisten dan teguh terhadap aturan main dan prinsip dasar maka pemerintah (baca: negara) akan ragu untuk mencampuri dan melakukan intervensi, sekalipun prestasi sepakbola negeri tersebut tengah terpuruk. Selama federasi tetap konsisten menegakkan aturannya sendiri, mereka bisa dengan leluasa menolak intervensi negara.

Jika pengelola sepakbola tak kunjung serius melakukan pembenahan internal, dan menolak dorongan dari luar denngan alasan sepakbola sebagai lex specialis, maka wajar jika negara kemudian mendesakkan agenda perubahan dengan menggunakan kewenangannya yang diizinkan oleh perundangan dan peraturan yang berlaku. Inilah yang saya maksudkan, dalam artikel terdahulu, sebagai ketika hukum nasional menjadi alat rekayasa sepakbola.

Inkonsistensi Federasi

Ketika kita bertindak berdasar aturan dan ketentuan serta konsisten melaksanakannya, maka akan sangat sulit bagi pihak lain untuk masuk dan melakukan “gangguan”. Rapuhnya PSSI nyata terlihat ketika tak serius dan tak konsisten dengan pilihannya. Pilihan PSSI yang berpikir di jalur lex sportiva (memandang hukum olahraga dalam tataran domestik-global) tidak membuat PSSI serius pula terhadap konsekuensi-konsekuensinya. Mereka yang menganggap sepakbola bergerak dalam sistem hukum transnasional dengan ke-lex specialisan-nya justru tidak mempersiapkan perangkat-perangkat yang menunjang prinsip tersebut.

Sebagai contoh, hingga saat ini belum ada badan penyelesaian sengketa yang khusus menangani persoalan terkait pemain dan klubnya. Maka ketika jalur hukum dalam ranah hukum transnasional tak tersedia di negeri ini maka seseorang akan melirik mekanisme penyelesaian dalam sistem hukum lain (dalam hal ini sistem hukum nasional). Ini yang terjadi ketika seorang Bambang Pamungkas memilih menempuh jalur hukum di pengadilan umum untuk memperkarakan Persija yang saat itu tidak memenuhi haknya sebagai pemain yaitu gaji sesuai kontrak.

Contoh lain adalah sikap PSSI yang tak konsisten terhadap “pihak ketiga”. Ketika berhadapan dengan BOPI dan kemenpora maka PSSI selalu menganggap bahwa peranan negara sebagai pihak ketiga tidak diperlukan untuk berjalannya sebuah kompetisi. Namun di lain sisi ternyata PSSI melakukan audiensi meminta support dan doa restu kepada DPR dan Wakil Presiden RI yang sebenarnya masuk kategori pihak ketiga juga (baca: negara).

Inkonsistensi ini pula yang sebenarnya menjadi penyakit dalam proses verifikasi ala PSSI dan PT Liga. Standard an persyaratan verifikasi yang sudah tegas dan jelas diatur, dan seharusnya tak bisa ditawar, tiba-tiba bisa diterobos dengan enaknya. Maka hasilnya adalah klub dengan tunggakan gaji lolos bisa verifikasi, klub yang tak memiliki fasilitas dan sarana memadai lolos verifikasi, klub yang tak jelas aspek legalitasnya lolos verifikasi, klub yang tak punnya NPWP bisa lolosnya dengan gampang.

Jika kita telaah lebih dalam lagi, inkonsistensi semacam ini yang membuat BOPI leluasa mencoreng moreng PSSI dan PT.Liga kali ini. Belum jika kita bahas inkonsistensi putusan Komisi Disiplin, putusan Komisi Bandung dan putusan-putusan lain selama ini yang dengan mudahnya dilanggar oleh PSSI dan PT Liga sendiri. Terakhir, misalnya, larangan menggelar pertandingan sepakbola di Solo sempat-sempatnya mau dilanggar oleh PSSI dengan alasan larangan itu hanya untuk pertandingan level klub.

Maka sungguh miris rasanya jika negara (BOPI-Kemenpora-POLRI) memilih berdiam diri ketika daulat dan yurisdiksinya diterobos begitu saja oleh orang-orang yang tak konsisten dalam bersepakbola. Walau secara nyata “dikalahkan” di akhir pekan lalu, negara harus segera “menampakkan wajahnya” dan bertindak tegas, memberi pelajaran dan mengingatkan bahwa “sesepakbola” apapun PSSI dan PT Liga, mereka hidup dan bermain bola di wilayah hukum Negara Kesatuan RI.

Jangan mempertentangkan hukum sepakbola dan hukum nasional, terlebih tujuan negara seperti diamanatkan konstitusi pun ada dalam sepakbola, ketika negara ingin memajukan kesejahteraan umum dan melindungi segenap tumpah darahnya, maka kompetisi sepakbola di negeri ini haruslah kompetisi yang profesional, menjamin hidup para pelakunya dan melindungi seluruh rakyat Indonesia yang menikmatinya. Tak boleh lagi ada lagi pemain yang tidak bayar pajak, tak ada lagi pemain yang tidak dibayar klub , tak ada lagi pemain yang tewas karena tak kuasa berobat di saat sakit. Semoga.

* Peneliti Hukum Olahraga di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional-Badan Pembinaan Hukum Nasional, penganut penganut azas lex sportivo, berakun twitter @ekomaung.

Komentar