Oleh:Â R.M. Agung Putranto Wibowo
Berdasarkan kalender Liga Inggris musim 2015/2016, partai terakhir akan dimainkan pada 15 Mei 2016. Siapa sangka memasuki bulan Februari, Leicester City yang musim lalu nyaris terdegradasi, sanggup bertahan di puncak klasemen.
Sejak edisi Premier League bergulir pada 1992, hanya terdapat lima klub saja yang pernah merasakan mahkota juara, yaitu Arsenal, Manchester United, Blackburn, Chelsea, dan Manchester City. Jika tiga bulan ke depan tidak ada aksi kudeta pada puncak klasemen, maka sudah pasti akan tercipta sejarah dengan lahirnya sang juara baru.
Dunia ini bergerak dengan keteraturan. Tanpa keteraturan, bumi dan mars bisa saling susul menyusul bahkan saling bertabrakan. Begitu pula dalam peradaban. Keteraturan sengaja diciptakan agar tidak timbul chaos. Sayangnya teratur versi jagad raya dengan teratur versi peradaban adalah dua unsur yang tidak koheren. Adapun keteraturan yang terakhir diciptakan oleh manusia dengan segala keterbatasannya, sehingga pasti dan akan selalu ada manusia lain yang menentang keteraturan, biasa disebut sebagai pemberontak.
Mundur satu dasawarsa ke belakang, adalah hal yang lumrah bila mendapati Sir Alex Ferguson mengangkat trofi Liga Inggris di akhir musim. Jika bukan Fergie, biarkan trofi itu diangkat oleh para manajer Chelsea atau Manchester City. Keteraturan di ajang Liga Inggris, agaknya punya pola yang kaku hingga membuat The Silverware bak hantu yang tak tersentuh klub-klub medioker.
Seiring berjalannya waktu, tembok besar keteraturan itu mulai rapuh. Bermodalkan semangat juang, klub-klub medioker mulai sadar akan kekuatan diri. Bagaimanapun, untuk mengubah nasib, klub-klub hanya perlu kehendak untuk berkuasa seperti kata Nietzsche. Jika kehendak itu sudah muncul, maka langkah selanjutnya adalah berontak melawan keteraturan.
Bagi Albert Camus, filsuf dan juga sastrawan Prancis, menjadi pemberontak adalah salah satu cara mengekspresikan kebenaran. Pemberontak ialah mereka yang berkata âtidakâ namun penolakan itu tidak termasuk suatu penolakan diri. Leicester sadar bahwa gelar juara Liga Inggris tidak dapat terus menerus dikuasai The Big Four, namun hal itu bukan suatu bentuk penolakan, melainkan aksi yang harus segera diwujudkan. Dengan kata lain, The Foxes, julukan Leicester City, harus menjadi pemberontak demi merebut gelar juara yang juga haknya.
Pemberontakan tidak akan terjadi tanpa ada perasaan. Hal ini yang menurut Camus harus muncul pertama kali. Leicester dan juga banyak klub medioker Liga Inggris lain sering menjadi korban klub-klub âbesarâ. Perasaan tertindas baik secara finansial maupun prestasi inilah yang kemudian menjadi pijar bagi jiwa pemberontak dalam benak klub-klub âkecilâ. Sampai pada suatu hari, Riyad Mahrez dkk. akan berkata dengan nada jengah: âKalian (klub-klub besar) telah berjalan terlalu jauh dan kami tidak dapat membiarkan hal itu terus menerus terjadiâ.
Jiwa pemberontak menurut Camus juga tak melulu dipantik oleh sifat individu. Jiwa pemberontak sering mengusung sikap âall or nothingâ (semuanya atau tidak sama sekali). Dalam berlaku tindak, si pemberontak hendak mengorbankan dirinya demi suatu kebaikan bersama yang dipandang lebih penting daripada nasibnya sendiri. Dalam hal ini, The Foxes memperjuangkan pula kebaikan bersama dengan menjadi prototipe klub âkecilâ yang mampu merebut gelar juara. Anak-anak asuh Ranieri cepat atau lambat akan dikenang oleh sejarah, lantas membuka harapan bagi klub âkecilâ lainnya untuk mengikuti jejak manis tersebut.
Jamie Vardy dkk. seolah membawa pesan: âKami (Leicester City) sudah buktikan di tanah Inggris bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Sebarkan berita ini dan bawa seruan kebangkitan ke penjuru Eropa agar keteraturan di sana dapat pula diruntuhkan.â Keteraturan sebagaimana yang dimaksud ditujukan kepada klub-klub yang kerap mendominasi liga. Sebut saja Real Madrid dan Barcelona di Spanyol atau Bayern Munchen di Jerman yang sering menjadi juara tanpa persaingan yang berarti. Bahkan sampai ada lelucon yang mengatakan jika Bundesliga sudah bergulir, maka taruhan hanya buka mulai dari peringkat dua klasemen.
Seruan tersebut bukan merupakan bentuk amarah apalagi dendam. Pemberontakan dalam kenyataannya, jauh lebih dalam ketimbang sekadar melampiaskan kemarahan atau mengejar suatu tuntutan seperti dendam. Energi yang disalurkan jiwa pemberontak, bertujuan memperoleh apa yang diyakini sebagai kebenaran, lantas menegaskan tentang siapa dirinya.
Ketika mereka bertindak dengan landasan iri hati, maka hanya akan puas jika sudah memperoleh sesuatu yang mereka inginkan. Akan tetapi bagi yang bertindak dengan jiwa pemberontak, mereka akan puas jika sudah mempertahankan tentang apa dan siapa dirinya. Tentu masuk akal jika Leicester mengidamkan The Silverware yang belum pernah diraih, namun misi anak asuh Ranieri tidak berhenti sampai disitu. Menjadi juara berarti menjadi perbincangan dunia. Eksistensi ini yang hendak diincar klub yang bermarkas di King Power Stadium itu. Agar dunia lekas tahu siapa dan apa itu Leicester City!
Terakhir, jiwa pemberontak diyakini Camus sebagai pembawa keteraturan baru. Jika peradaban terlanjur jengah dengan keteraturan yang menampakkan diri lewat kekuasaan, maka komunitas korban kekuasaan tadi dapat menjelma bentuk keteraturan baru.
The Foxes bukanlah klub penguasa atau selalu mendominasi kekuasaan. Musim lalu klub ini nyaris terdegradasi sebelum aksi-aksi heroik di lima partai terakhir menyelamatkan wajah si rubah. Kini, aksi heroik itu berlanjut dan membidik sesuatu yang lebih tinggi. Jiwa pemberontak dalam diri anak-anak asuh Ranieri bukan tidak mungkin akan membebaskan air yang macet lalu mengalihkannya menjadi air terjun yang dahsyat. Jika Leicester sanggup juara musim ini, setidaknya akan menimbulkan dua dampak. Pertama, dapat dipastikan akan mengilhami hadirnya jiwa pemberontak klub-klub âkecilâ musim depan. Kedua, semakin menyadarkan para suporter Liverpool dan Arsenal betapa panjang penantian mereka.
Sarjana Hukum lulusan Universitas Indonesia pelaku industri olahraga sepakbola. Aktif di dunia maya dengan akun twitter @agungbowo26
Komentar