Luapan Energi Pep Guardiola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Luapan Energi Pep Guardiola

Karya: Renalto Setiawan

Sebuah bunyi sirene yang dinantikan para penonton akhirnya terdengar. Bukan, bukan sirene tanda adanya sebuah mobil ambulans atau mobil pemadam kebakaran yang mereka nantikan. Sirene yang mereka nantikan adalah sirene tanda kehadiran Rage Against The Machine, band rock asal Amerika.

Ketika Rage Against The Machine kemudian "menyapa" mereka dengan lagu Testify, mereka menerimanya dengan lompatan, nyaris tanpa henti.

Menurut Iga Massardi, vokalis sekaligus gitaris Barasuara, dalam sebuah musik, rhythm yang kuat memang mampu menggerakkan penonton secara fisik, misalnya, membuat mereka terus melompat tanpa sadar. Dan masih menurutnya, Rage Against The Machine adalah salah band yang memiliki rhythm dengan daya ledak luar biasa. Kejadian di atas (pada SWU Festival di Brasil tahun 2010 lalu) adalah salah satu contohnya.

Ketukan drum Brad Wilk, bunyi bass Tim Commerford, suara distorsi gitar Tom Morello, dan "umpatan" Zack de la Rocha, memang merupakan sumber energi yang luar biasa. Siapa pun yang menyaksikan penampilan mereka secara langsung akan merasa berdosa jika hanya berdiri terdiam.

Sementara itu, saat ini di Jerman, ada seorang pelatih sepakbola yang mampu memberikan energi luar biasa dalam permainan timnya. Dan setiap luapan energi yang diberikannya, rasanya seperti apa yang dilakukan oleh Rage Against The Machine terhadap para penggemarnya.

***

Josep Guardola, lahir dan besar di daerah Catalunya, Spanyol. Sebuah daerah yang sebagian besar masyarakatnya "bahagia" dengan rasa belas kasihan karena hampir selalu merasa tertindas. Menariknya, Pep, sapaan akrab Josep Guardiola, adalah kontradiksi dari orang-orang Catalunya kebanyakan. Dia ingin selalu menjadi yang terbaik; ingin selalu menjadi seorang inventor – seperti tidak sudi menerima belas kasihan orang lain.

"Saya duduk dan menonton video (pertandingan sepakbola). Saya mencatat. Saat itulah inspirasi datang – saat yang masuk akal dalam profesi saya. Secara instan saya tahu saya harus memiliki itu. Saya harus tahu bagaimana caranya untuk menang. Momen seperti ini membuat pekerjaan saya betul-betul bermakna," kata Guardiola dalam biografinya mengenai salah satu caranya dalam memperoleh sumber energi untuk menjadi seorang inventor dan memperoleh kemenangan.

Jauh hari sebelum berada di Jerman, Pep berhasil memahami tiki-taka, sebuah gaya permainan sepakbola dengan mengandalkan kombinasi umpan-umpan pendek cepat dan variatif, bersama Barcelona. Penuh kekaguman, mata para penggemar sepakbola seperti enggan berkedip ketika menyaksikan gaya permainan tersebut. Sedangkan lawan-lawannya berhasil dibuat linglung penuh kebencian.

Hampir setiap bola yang mengalir dalam permainan tiki-taka mempunyai pesan yang harus diterima dan diterjemahkan dengan baik oleh pemain-pemain Barcelona. Mereka harus selalu berpikir dan memiliki energi untuk membuatnya menjadi sempurna. Saat bola berhasil direbut oleh lawan, seperti anjing pelacak yang mencium bau janggal, mereka akan terus menekan lawan untuk segera mendapatkan bola dan memulai tiki-taka lagi. Begitu seterusnya.

Dan dengan cara itu Pep Guardiola berhasil meraih segalanya bersama Barcelona.

Lalu, sebelum penggemar sepakbola dan para pemain Barcelona bosan dengan tiki-taka, dia sudah merasa bosan terlebih dahulu. Pep undur diri dari Barcelona. Dia kemudian menepi ke kota New York, memilih menjadi seorang new yorker (sebutan orang-orang yang hidup di kota New York) untuk sementara waktu. Jauh dari hingar bingar sepakbola Eropa.

"Saya benci tiki-taka – itu sampah dan benar-benar sia-sia," sebuah kalimat dalam biografinya yang mewakili rasa bosannya.

Kesehariannya di kota New York mungkin diisi oleh pertunjukan musik jazz, pertandingan kandang tim baseball New York Yankees, atau memandangi gedung Empire State yang biasanya dijadikan tempat nongkrong oleh Spider-Man. Tapi yang jelas, dia tidak bisa lepas sepenuhnya dari sepakbola. Menurut Cristina Serra, istrinya, Pep tak akan pernah berhenti membicarakan sepakbola. Tiga puluh menit adalah jeda terlamanya untuk tidak membicarakan sepakbola.

John Updike, seorang novelis asal Amerika, pernah memuji kehidupan di kota New York. Dia mengatakan bahwa seorang new yorker diam-diam percaya bahwa orang-orang yang hidup di luar kota tersebut menjalani kehidupannya dengan bercanda. Pep Guardiola mungkin terkekeh saat mengetahui pernyataan Updike tersebut. Baginya, hidup di daerah manapun tanpa sepakbola adalah sesuatu yang lebih layak untuk disebut bercanda.

Bosan bercanda dengan menjadi new yorker, Pep memilih kembali ke Eropa untuk sepakbola. Dia memilih berpetualang ke Jerman untuk menangani Bayern Munich, sebuah kesebelasan yang baru saja meraih gelar treble winner (Liga Jerman, DFB Pokal, dan Liga Champions Eropa). Sebuah tantangan yang dianggap tidak begitu sulit karena Pep tinggal meneruskan pondasi kokoh yang telah dibangun oleh Jupp Heynckes, pelatih Bayern sebelumnya.

Namun bukan Pep Guardiola namanya kalau tidak membuatnya menjadi sulit. Dia mengubah filosofi permainan Bayern yang sebetulnya sudah mapan menjadi sesuai dengan keinginannya. Dia memulai lagi dari awal -- Bayern harus mampu menerjemahkan possession football yang selama ini menjadi kitab suci Pep Guardiola.

Bersambung ke halaman berikutnya.

Komentar