Mengakali Calon Mertua melalui Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Mengakali Calon Mertua melalui Sepakbola

Oleh Dani Suryadi

8 Mei 2005, Tendangan bebas cantik Robert Pires di menit ke 25 tak menjadi gol satu-satunya di malam itu, bahkan hanya butuh 4 menit untuk Arsenal menambah keunggulan lewat Jose Antonio Reyes. Liverpool kemudian menipiskan ketertinggalannya lewat tendangan bebas keras Steven Gerrard di menit ke 51’. Pikiran para pemain Liverpool sudah seperti berada di Istanbul saat Fabregas menambah keunggulan Arsenal menjadi 3-1 di akhir pertandingan, Graham Poll pun meniup peluit tanda pertandingan berakhir, kemenangan di pekan ke-37 untuk Arsenal di Highbury.

Peluit Graham Poll beriringan dengan mata pacarku yang memberikan semacam kode agar aku segera cepat pulang sebelum bapaknya berubah menjadi Mustafa Kemal Attaturk karena tim yang dicintainya kalah.

Di musim 2004/2005, hampir setiap jadwal pertandingan liga-liga besar Eropa, terutama Liga Inggris, yang disiarkan televisi nasional yang kebetulan kebanyakan bermain di malam Minggu selalu kuingat.  Tujuannya tak lain agar bisa bertemu dan sedikit bermesraan dengan sang pacar di rumahnya, di mana Liga Inggris khususnya Liverpool, menjadi semacam umpan agar ayahnya tak menggangguku.

Saat itu, aku menjalin kasih dengan seorang  perempuan yang memiliki bapak seorang maniak sepakbola, tepatnya Liverpudlian dan kebetulan juga bobotoh. Bukan aku tak menyukai Liga Inggris, tapi aku lebih menikmati Serie A Italia. Bukan aku kurang kreatif karena tak mengajaknya keluar rumah di malam Minggu, tetapi kondisi keuangan seorang pelajar dan anak kostan, tak menopang itu.

Terakhir, saat aku mengajaknya keluar untuk nonton di bioskop dan makan malam tepatnya saat Liverpool menang 2-1 dalam Derby Merseyside pada 20 Maret 2005. Sehari setelah itu, aku minimal harus puasa Nabi Daud untuk kembali menyeimbangkan keuanganku.

Tak hanya menanti Liverpool bertanding, jadwal kunjungan pacar pun terjadi di tanggal 22 Mei 2005, bertepatan dengan big match Liga Indonesia antara Persib vs Persija. Saat itu skor berkesudahan imbang 1-1.  Jauh lebih penting dari jalannya pertandingan, kukira tujuan semua pemuda di posisiku tak lebih dari untuk cari muka: bagaimana mendapatkan hati bapaknya.

Pada 8 Mei 2005, pertandingan kandang terakhir Liverpool sekaligus pekan terakhir  Liga Inggris musim 2004/2005 berakhir dengan kemenangan Liverpool atas Aston Villa. Dua gol Djibril Cisse dan satu gol balasan Aston Villa lewat Barry mengakhiri pertandingan dengan skor 2-1.

Seperti memiliki mental Steven Gerrard di final UEFA Champions League 2004/2005 Istanbul, saya dan putri kesayangannya seperti ikut merayakan kemenangan dengan seluruh Liverpuldlian di dunia. Nekat saja kami beradu bibir  segera setelah Cisse dan kawan-kawan merayakan gol kedua mereka, sembari mengintip bapaknya di balik lubang besar di tengah lemari yang menjadi pembatas antara ruangan kami dan beliau,  yang sibuk tertawa bahagia menyaksikan kesebelasan yang dicintainya seperti akan berpesta gol.

Tapi adegan itu berlangsung tak lebih dari satu menit,  karena aku tak mau bernasib sama dengan pendukung juventus di Brussels saat final Piala Champions 1985, atau seperti pendukung Bayern Munich di final turnamen yang sama pada 1999 di Nou Camp Barcelona.

Semua tips dan trik aku lakukan untuk mencairkan kebekuan relasi antara saya dengan calon mertua. Bagaimana tidak, pertama kali datang ke rumah kekasihku, aku dengan bangganya menggunakan kostum kebesaran klub Italia kesayangku yang 17 hari lagi akan dipastikan bertemu tim kesayangan bapaknya di final UEFA Champions League 25 Mei 2005 di Istanbul. Salah besar rupanya aku.  Lha, aku tak tahu kalau dia Liverpuldian!

Pertemuan pertama itu berakhir dengan agak-agak suram. Dia langsung mengganggapku lawan. Sial! Seandainya aku memakai jersey Liverpool lain cerita sudah. Tapi, ya, mosok aku mengingkari nuraniku sendiri, sih? Eh, tapi dalam percintaan, boleh lah, ya, sedikit-sedikit nge-trick.

Saat tak ada pertandingan sepakbola di malam Minggu, khususnya Liga Eropa, sulit sekali rasanya untuk apel. Sudah bisa ditebak nasib apel malam Minggu-ku bakal bagaimana.

Terakhir saat jeda libur musim dingin Liga Eropa, kalau bapaknya tak berdehem-dehem sembari terus bolak-balik melewati kami di ruang tamu, setidaknya dia melakukan tindakan anarkis seperti sengaja mengedip-ngedipkan lampu teras rumah, memberi kode lebih jelas agar kita segera bubar.

Dia seperti wasit dalam pertandingan. Yang dia tahu, dirinya wajib meniup peluit akhir dari sebuah pertandingan. Kadang dalam hati aku berucap: Tuhan, jika kelak aku menjadi seorang bapak dari seorang perempuan yang sedang dikunjungi kekasihnya, jauhkanlah aku dari sikap tua bangka ini.

Kutanya kekasihku: ”Kenapa bapakmu seperti itu? Seperti tak pernah muda saja.”

Dia menjawab kalau dulu kakeknya memperlakukan bapaknya seperti dia memperlakukan aku saat ini. Bahkan lebih parah karena kakeknya tak menyukai sepakbola. Apes betul, ternyata aku jadi korban budaya sakral keluarga mereka. Kacau! Sepertinya doaku tadi takkan pernah Tuhan kabulkan.

Saya jadi ingat Eric Cantona (si bapaknya kekasihku niscaya sebal sama si bengal itu). Ia pernah berkata "Kau bisa berganti istrimu, mobilmu, politik, rumahmu tapi kau tak bisa mengganti klub kesukaanmu."

=========

*Seorang Analis Kimia berakun Twitter @storyofdanny. Tinggal di Soreang, Bandung. Sedang berkhtiar menuju salah satu kampus di Seattle.

Sumber gambar: huffingtonpost.com

Komentar