Ditulis oleh Budi WindekindÂ
Tahun 2003, penulis Amerika Serika, Michael Lewis, menulis buku berjudul "Moneyball" yang mengisahkan seorang anak manusia bernama Billy Beane. Namun, moneyball tak melulu tentang Beane, di atas segalanya, ia juga menyoal kegilaan yang ada dalam dunia olahraga.
Billy Beane adalah seorang manajer sebuah klub bisbol Amerika Serikat (MLB), Oakland Athletics. Semenjak menduduki posisi itu pada tahun 1998, Beane merencanakan banyak hal untuk membawa Athletics pada kejayaan seperti era 70-an.
Akan tetapi, cita-cita Beane terbentur masalah klasik yang membuat Athletics sulit bersaing dengan tim lainnya. Masalah itu bernama dana.
Kondisi finansial Aâs bisa dikatakan seadanya untuk tim yang pernah menjadi juara MLB sebanyak sembilan kali. Keinginan untuk mengembalikan kejayaan dan membangun tim solid buat Aâs pun seakan jauh panggang dari api.
Jelang musim 2002 bergulir adalah puncak segala masalah yang dirasakan Beane untuk membuat Aâs kompetitif lagi. Ini dikarenakan tiga pemain andalan mereka yakni Johnny Damon, Jason Giambi dan Jason Isringhausen menjadi free-agent. Mengikat ketiganya kembali justru akan membuat keuangan Aâs memburuk akibat melewati batasan gaji tim. Mau tak mau, Beane harus putar otak untuk menyiasati hal ini.
Dalam kesehariannya mengemban tugas sebagai manajer, Beane dibantu oleh asistennya, Paul De Podesta, seorang ekonom muda lulusan Universitas Harvard yang punya ide-ide radikal plus teori tak biasa mengenai cara mengevaluasi kinerja seorang pemain. Dalam olahraga bisbol, teori ini dikenal dengan pendekatan sabermetric. Beane, pada intinya, mencoba untuk membangun skuat kompetitif idamannya berlandaskan teori ekonomi perihal modal kecil keuntungan besar.
Keyakinan Beane pada hitung-hitungan teori nyeleneh DePodesta, justru membuatnya sering berselisih paham dengan para pemandu bakat maupun manajer tim, Art Howe. Sang manajer menganggap apa yang ditempuh Beane justru akan melemahkan Aâs.
Namun Beane tetap bersikukuh. Ia pun kemudian merekrut nama-nama pesakitan seperti Chad Bradford, David Justice, Ray Durham, Ted Lilly, Billy Koch dan Scott Hatteberg. Mereka memang cukup dikenal di liga bisbol AS tapi hanya sebagai pemain-pemain kelas dua, habis kontrak, tak terpakai, veteran dan rentan cedera.
Howe yang tak setuju dengan perekrutan ini pun memilih untuk memainkan pemain sesuai dengan keinginan dan strateginya. Tapi Beane tak kurang akal, ia menjual satu-satunya first basemen yang dimiliki Aâs, Carlos Pena, agar Howe mau memainkan Hatteberg di posisi itu. Sang manajer jelas geram dan ketegangan di antara keduanya pun memuncak. Tapi pada akhirnya, lebih dikarenakan pada kebutuhan strategi, Howe pun menuruti kemauan Beane.
Perjalanan terjal harus dilalui Aâs di awal musim 2002, rekor bertanding mereka tak ciamik dengan torehan menang-kalah (25-28) sepanjang April dan Mei. Hal ini mengundang kritikus untuk mencibir kebijakan Beane yang dianggap gagal. Para petinggi klub pun ikut-ikutan gerah dengan penampilan Aâs. Namun bukan Beane namanya jika tak menghadapi itu semua dengan tenang. Ia masih yakin bahwa pilihannya tepat.
Benar saja, performa Aâs meningkat drastis sepanjang bulan Juni, rekor menang-kalah mereka membaik dengan torehan 21-7. Luar biasanya, para pesakitan yang dibawa Beane tadi menunjukkan kontribusi besarnya pada tim. Nama-nama mereka mencuat sebagai instrumen penting yang dimiliki Aâs. Petinggi klub dan Howe pun perlahan-lahan mulai sepaham dengan langkah yang ditempuh Beane. Kritikus yang awalnya mencibir pun kini memuji.
Meski sempat merosot di periode Juli dengan rekor 15-12 tapi Aâs benar-benar meledak di bulan Agustus. Mereka sukses memetik 24 kemenangan berbanding empat kekalahan. Catatan ini dipermanis dengan rekor kemenangan beruntun di 20 laga dalam semusim.
Dimulai dari laga ke-120 versus Toronto Blue Jays pada 13 Agustus sampai dengan game ke-139 pada 4 September melawan Kansas City Royals. Ini merupakan rekor kemenangan beruntun terpanjang di era bisbol modern. Publik terhenyak, Beane sendiri seolah tak percaya melihat catatan yang berhasil diukir Aâs. Namun ia boleh berbangga hati karena perhitungannya berbuah manis.
Ditambah torehan 18-8 di bulan September, Aâs pun punya rekor total menang kalah nan apik 103-59 di musim 2002. Justice dkk. pun berhak melaju ke babak playoffs dengan status juara divisi barat American League. Sayangnya langkah Aâs di fase playoffs dihentikan oleh Minnesota Twins, juara divisi central American League, di babak American League Division Series (ALDS) dalam lima game dengan skor total 2-3.
Walaupun begitu, apa yang telah diperbuat Beane seakan membuka mata para owner, manajer dan pemerhati bisbol bahwa metode yang dilakukannya bisa menjadi strategi unggul di masa depan. Hitung-hitungan matematisnya untuk mengevaluasi nilai seorang pemain rupanya masuk akal dan tepat. Di sisi lain, ini seolah menghidupkan kembali karir pemain-pemain berpotensi yang selama ini dianggap pesakitan hanya karena lebih akrab dengan bangku cadangan, menua atau rentan cedera.
Percobaan Si Katak
Moneyball memang tidak lahir di ranah sepakbola. Lantas pertanyaannya, apa yang bisa dilakukan moneyball pada sepakbola?
Liga Rusia bukanlah liga populer, namun agaknya, nama Anzhi Makhachkala bukanlah nama yang asing-asing amat. Apalagi saat mengingat pemain-pemain bintang semacam Roberto Carlos dan Samuel Etoâo.
Baca juga tulisan-tulisan tentang moneyball:Menanti Dampak Moneyball pada Liga Belanda
Bielik, Odegaard & Saat Ideal Merekrut Pemain Muda
Ali Dia, Bentuk Kesalahan dari Sebuah Proses Bernama Perekrutan
Tapi ketika mendengar nama Kuban Krasnodar, mungkin banyak dari Anda yang mengernyitkan dahi meskipun klub yang disebut belakangan berusia 63 tahun lebih tua daripada Anzhi sekaligus salah satu klub paling uzur di negara eks pecahan Uni Soviet ini.
Sejatinya lumrah, apabila nama Kuban Krasnodar asing di telinga kita, terlebih prestasi tim ini di Liga Rusia sendiri naik turun bak yoyo. Seringkali mereka hilir mudik dari divisi satu ke divisi utama Liga Rusia ataupun sebaliknya. Bahkan sejak 2005 lalu, mereka sudah tiga kali bolak-balik Liga Utama Rusia.
Baru pada 2011 lalu, klub berjuluk Zhabi atau Si Katak ini mulai bisa bertahan di ketat dan bekunya Russian Premier League (RPL). Walau begitu, status mereka hanya sebagai klub papan tengah dan penggembira. Menembus tiga besar saja belum mampu, apalagi memutus dominasi raksasa-raksasa negeri beruang merah macam Spartak Moskow, Zenit St. Petersburg, CSKA Moskow atau Rubin Kazan sekalipun.
Modal yang dipunyai klub yang kini diarsiteki eks gelandang Real Sociedad, Dmitri Khokhlov, ini memang belum sanggup untuk menyaingi kedigdayaan nama-nama diatas atau Anzhi yang baru kembali ke RPL usai terdegradasi ke divisi satu.
Namun hal tersebut tak menghalangi manajemen Si Katak untuk membenahi tim supaya bisa bersaing di percaturan elite RPL. Dengan kondisi finansial pas-pasan, manajemen Kuban pun berpikir keras mencari ide. Menjadi juara RPL jelas bukan gagasan sepele yang bisa diwujudkan dalam sekejap.
Selama ini warga Krasnodar yang terbelah dua lebih dominan mendukung FC Krasnodar meski tim yang punya julukan Byki atau Si Banteng ini baru berdiri tujuh tahun lalu! Hal ini bisa diperkuat dengan data okupansi stadion Krasnodar yang diisi 9000-an orang kala Kuban bertanding sementara 11.000 pasang mata hadir ketika FC Krasnodar berlaga. Tatkala Si Katak lalu-lalang di papan tengah klasemen RPL, Si Banteng justru sanggup nangkring di tempat kelima dan ketiga pada dua musim terakhir. Kuban benar-benar tertinggal dari sang adik.
Di sinilah korelasi antara Beane dan manajemen Kuban terlihat. Ketiadaan dana melimpah membuat mereka berpikir ekonomis namun logis. Dua mantan bintang timnas Rusia, Andrey Arshavin dan Roman Pavlyuchenko, direkrut manajemen Kuban tanpa mengeluarkan sepeser uang pun demi mendongkrak penampilan tim.
Tapi jangan salah duga dengan status Arshavin dan Pavlyuchenko, karena label kebintangan mereka sudah lama memudar. Mereka kini tak ubahnya pesakitan dengan performa biasa-biasa saja, gaek dan sering dihantam cedera.
Kepindahan keduanya ke Inggris pasca Euro 2008 lalu bagai senjata makan tuan. Niat mengembangkan karir sekaligus meraup pundi-pundi poundsterling justru meredupkan sinar Arshavin dan Pavlyuchenko saat membela Arsenal dan Tottenham.
Penurunan performa membuat keduanya memilih untuk mudik ke Rusia di tahun 2012, Arshavin balik ke Zenit sementara Pavlyuchenko menuju Lokomotiv Moskow. Namun keduanya lagi-lagi gagal menunjukkan penampilan terbaik sehingga lebih sering menghangatkan bench. Walau Zenit menjadi juara RPL musim lalu tapi manajemen memutuskan untuk melepas Arshavin yang habis kontrak. Setali tiga uang, Pavlyuchenko juga tak ditawari perpanjangan masa bakti oleh Lokomotiv akibat penampilan memblenya.
Layaknya Beane, manajemen Kuban mencoba untuk menangkap potensi yang masih tersisa pada diri dua pemain ini dengan harapan keduanya bisa mengatrol performa mereka sendiri sekaligus membuat Si Katak bisa bersaing di RPL.
Kehadiran keduanya sejauh ini memang belum menampakkan hasil yang signifikan sebab dari empat laga yang sudah dijalani Kuban, mereka baru mengoleksi tiga angka hasil dari tiga kali imbang dan sekali kalah. Anak asuh Khokhlov pun tercecer di peringkat keduabelas klasemen sementara RPL.
Tercatat menit bermain yang Arshavin koleksi pun baru menyentuh angka 92, hasil dari dua kali main (sekali starter, sekali pengganti) tanpa pernah mencetak gol. Pun begitu dengan Pavlyuchenko yang punya catatan 101 menit dari dua laga (keduanya sebagai pengganti) dan nirgol.
Jika asa yang coba direngkuh oleh Beane bersama barisan pesakitannya (Bradford, Justice, Durham, Lilly, Koch dan Hatteberg) menuai hasil positif bagi Oakland Athletics. Bisakah Kuban Krasnodar mengais asanya sendiri bersama pesakitan bernama Arshavin dan Pavlyuchenko?
Penulis biasa beredar di dunia maya dengan akun Twitter @Windekind_Budi
Komentar