Oleh: Yasmin Durrani
Presiden Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono, buka suara perihal perdebatan pasal penghinaan presiden yang rencananya akan diaktifkan kembali. Lewat akun @SBYudhoyono, SBY menuliskan kekhawatirannya terkait pasal tersebut lewat 22 kicauan. SBY berpendapat kalau pasal penghinaan tersebut hanya akan membungkam suara rakyat; yang akan menghasilkan semacam âbom waktuâ yang pada akhirnya akan meledak juga.
Bukan cuma itu, SBY juga menceritakan sikapnya yang legowo saat dihina dulu. Ia menceritakan jika pasal tersebut diaktifkan pada masanya dulu, mungkin ia tak akan fokus bekerja karena sibuk memperkarakan rakyat yang menghinanya. Intinya, kicauan SBY tersebut mewanti-wanti para pemangku kebijakan untuk tak menyalahgunakan kekuasaan masing-masing.
Wacana aktivasi pasal penghinaan presiden kabarnya berasal dari Presiden Joko Widodo. Media saat ini sudah kepalang sensitif dengan gerak-gerik Presiden Joko dalam memimpin pemerintahan. Padahal, dulu, Presiden Joko adalah media darling; kesukaan media; harapan media akan adanya cerita-cerita yang sulit ditemukan pada pemimpin lainâsebut saja diplomasi meja makan dan blusukan.
Peran media dalam karir politik Presiden Joko memang luar biasa. Apesnya, keadaan mulai berubah setelah ia dilantik sebagai presiden.
Lihat saja bagaimana Presiden Joko menjadi bahan ejekan sejumlah netizen saat berpidato di pertemuan APEC di Beijing pada 2014 silam. Sebagian memang memuji; tapi sebagian lagi tak begitu senang dengan logat Jawa yang bercampur dengan pelafalan Bahasa Inggris yang juga tak terlalu sempurna.
Tapi siapa yang peduli? Orang Inggris saja dibilang medok sama orang Amerika. Orang Spanyol logat Inggrisnya gak bagus-bagus amat kok. Orang Rusia juga terkenal dengan logat Rusianya yang kental-ed.
Gerak-gerik Presiden Joko pun tak luput dari sasaran netizen. Video yang memperlihatkan bagaimana Presiden Joko mendengarkan pidato pada pertemuan G-20 tanpa menggunakan headset translator menjadi perbincangan hangat karena dianggap pencitraan. Ini tak lain karena para pemimpin negara lain yang tidak menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa ibu, seperti Angela Merkel (Kanselir Jerman), Jacob Zuma (presiden Afrika Selatan), dan Sinzho Abe (Perdana Menteri Jepang) masih menggunakan headset translator. Sekretaris Jenderal PBB saja, Ban Ki Moon, yang malang melintang di korps diplomatik internasional masih menggunakan headset translator saat mendengar pidato dari PM Australia, Toni Abbott.
Di ranah sepakbola, orang-orang dengan sorotan media yang begitu besar pun ada pada diri sejumlah pemain dan pelatih; sebut saja Nicklas Bendtner yang kerap menjadi bahan olokan pula atas tingkahnya di dalam maupun di luar lapangan. Pada golongan pelatih, ada nama Arsene Wenger dan Jose Mourinho yang tingkah dan ucapannya bisa menjadi bahan empuk tulisan media. Wenger bahkan mengingatkan penulis tentang love-hate relationship-nya dengan media Inggris yang dikenal kejam dan manipulatif.
Wenger adalah pelatih yang paham dengan teknologi yang dikenal kooperatif dalam memberikan perkembangan informasi timnya. Entah bagaimana berita mengenai pasa penghinaan presiden tersebut mengingatkan penulis terhadap video âkemarahanâ Wenger yang sempat viral pada Oktober 2014 silam.
Dalam video tersebut Wenger tengah diwawancarai Jacqui Oatley, reporter perempuan dari BBC Sport. Namun, Wenger yang kerap tanpa ekspresi terlihat membentak Oatley, yang kemudian menjadi sumber tulisan media-media Inggris.
Wenger terlihat gelisah. Matanya seolah menghindari titik merah pada kamera. Wawancara itu menambah daftar panjang kemarahannya pada media. Ingatkah Anda saat Wenger memarahi seorang jurnalis yang menanyakan reaksinya terkait banner âWenger Outâ? Padahal, Wenger dianggap ramah oleh sebagian besar jurnalis. John Cross, salah satu jurnalis sepakbola senior dari The Daily Mirror berujar, âWenger sangat terbuka pada media. Ia bicara dengan baik, dan selalu memberikan komentar untuk dimuat.â Lantas, apa yang membuat Wenger membentak reporter atas pertanyaan mereka yang sensitif?
The Psychology Behind Dissing
Sejumlah psikolog menganggap bahwa setiap orang punya sisi yang tak ingin mereka tunjukan pada dunia. Saat sisi ini terancam, manusia pun mencari cara untuk melindungi sisi tersebut. Caranya beragam, misalnya dengan menghina orang lain maupun menunjukkan kemarahan.
Alasan di atas menjelaskan mengapa kita tertawa saat melihat orang lain terpeleset; memaki tim lawan saat mereka menang, atau berseteru dengan rasa senang saat seorang petinju dipukul hingga berdarah di atas ring. Alasan ini juga menjelaskan mengapa acara Americaâs Funniest Home Videos dipenuhi dengan rekaman-rekaman orang terjatuh atau menabrak sesuatu.
Insting bisa membuat manusia berubah menjadi kejam. We attack people to feel goodÂ. Menemukan kesalahan kecil orang lain bisa membuat kita merasa superior. Fenomena ini disebut schadenfreude, istilah dari Bahasa Jerman yang bisa diartikan sebagai âperasaan senang yang didapat dari kesengsaraan orang lainâ.
Peneliti dari Leiden University, Wilco van Dijk mengadakan riset untuk memahami schadenfreude lebih jauh. Van Dijk mengambil 70 sampel mahasiswa undergraduate untuk membaca kasus rekaan mengenai seorang overachiever student. Pada narasi itu, disebutkan di subjek adalah seseorang yang sangat sukses sepanjang hidupnya. Namun, pada akhir cerita, si subjek mengalami sebuah kegagalan yang merusak hidup sempurnanya. Van Dijk kemudian menanyakan respon masing-masing responden. Apa jawabannya?
âI couldnât resist to smile a litle,â kata seorang mahasiswi. âHe totally deserves a bitterness in his life,â kata seorang mahasiswa.
Van Dijk menilai bahwa seseorang yang memiliki rasa percaya diri rendah cenderung lebih senang saat melihat orang lain kesusahan. Mereka akan melakukan apa untuk membuat mereka merasa lebih baik, termasuk menertawakan kesusahan orang lain. Pada proses schadenfreude ini, ada injeksi hormon oksitosin yang membuat seseorang merasa lebih bahagia. Patut diketahui, oksitosin adalah hormon yang berperan dalam perasaan bahagia seseorang.
Baca juga: Cara Jitu Menendang Penalti Berdasarkan Sains dan Psikologi
Fenomena schadenfreude ini ternyata menjelaskan mengapa Wenger membentak reporter yang menanyakannya pertanyaan-pertanyaan âsensitifâ. Wenger, yang merasa terusik, membentak reporter malang tadi untuk merasa lebih superior. Apakah bentakan tadi membuat Wenger merasa lebih baik? Entahlah. Sebagai seorang manajer, Wenger lebih sering menunjukkan ekspresi datarâhasil melatih di Jepang selama beberapa tahun dulu.
Melihat reaksi-reaksi netizen yang menolak aktivasi pasal penghinaan presiden, penulis teringat teori schadenfreude yang pertama kali diungkapkan pada abad ke-17 oleh Robert Burton. Alasannya lumayan sederhanaâpara netizen yang menolak wacana tersebut pasti khawatir apabila sisi schadenfreude mereka harus dipidanakan. Kebanyakan Jokowiâs haters kan sekedar rakyat jelata penonton layar kaca, maka menertawakan Jokowi adalah cara mereka merasa lebih superior dari presiden. Bahaya juga kan kalau sisi schadenfreude mengantar kita ke penjara?
Foto: xinhuanet.com
 Tulisan di atas merupakan tugas dari materi Pandit Camp hari kedua tentang pemilihan sudut pandang. Peserta Pandit Camp diberi isu secara acak yang kemudian dibuatkan tulisannya selama kurang lebih lima jam. Penulis bisa dihubungi lewat akun @yasjamilah
Komentar