Para #Lord Sepakbola: Dari Bendtner, Heskey, Atep hingga Aji Santoso

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Para #Lord Sepakbola: Dari Bendtner, Heskey, Atep hingga Aji Santoso

Karya Murhartadi Siregar

Lord Bendtner sudah menerima bermacam-macam ejekan akibat penampilannya di lapangan yang tak sesuai dengan kata- kata yang pernah diucapkannya ke media. Bendtner sempat tampil memukau di masa awalnya berkarir sebagai pesepakbola, namun kemudian anjlok.

Begitu pula yang terjadi dengan Emile Heskey. Tak ubahnya Bendtner, Master Heskey menjadi olok-olokan yang parah. Bahkan jika kita menggunakan mesin pencari Google.co.id dengan kata kunci "Emile Heskey", terdapat artikel menarik di urutan ketiga setelah wikipedia berbahasa inggris dan wikipedia bahasa Indonesia. Artikel yang dimuat mirror.co.uk ini berjudul 10 reasons Emile Heskey should be your favourite footballer. Cek saja, anda akan menemukan beberapa poin menarik, seperti: he give us all hope. If Emile can play for England, can`t I?

Frederico Chaves Guedes (biasa dikenal dengan Fred saja) pun demikian. King Fred menjadi bulan-bulanan karena performanya di Piala Dunia 2014. Terlepas dari hasil buruk Brasil, penampilan Fred memang sangat buruk. Mudah kehilangan bola, gampang jatuh, dan jarang membuat peluang. Tampil sebagai striker utama di depan Neymar, Hulk, dan Oscar, hanya sebiji gol yang dibuatnya sepanjang perhelatan.

Berbeda dengan cerita Jose Manuel Pinto, FC Barcelona. Statusnya sebagai kiper cadangan Victor Valdes membuat jam bermain pinto sangat sedikit. Dalam kurun waktu 2008-2014, tercatat Pinto hanya bermain 31 kali. Dalam durasi waktu yang sama, ia mendapatkan hampir semua gelar yang dapat diraih pemain di level klub. Kisah hampir sama, di klub yang sama, juga menimpa Thomas Vermaelen. Hanya bermain 1 kali sepanjang 2014/2015, Barcelona berhasil diantarkannya meraih trebel winners. You Don`t Need To Play, To Be A Legend.

Menjadi bahan olok-lokan tidak hanya menimpa pemain di lapangan, manajer di pinggir lapangan pun merasakannya. David Moyes adalah contoh sahih. Usai Sir Alex Feguson pensiun dari Old Trafford pada akhir musim kompetisi 2012/13, kursi manajer Manchester United diisi Moyes. The Choosen One, Moyes dipilih langsung oleh Sir Alex untuk menjadi manajer baru United. Materi pemain juara liga yang diwariskan Sir Alex musim sebelumnya, ditambah Felaini dan Mata, tidak mampu dimaksimalkan Moyes. Di bawah Moyes, penampilan United dibuat angin-anginan dan finish di urutan ke 7 klasemen. Artinya, United sama sekali tidak berlaga di Eropa musim berikutnya.

Italia punya cara lain untuk menertawakan pemain semacam Lord Bendtner, Master Heskey, atau King Fred. Mereka menamakannya Bidone d`Oro, plesetan Ballon d`Or, yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kira- kira artinya: Tempat Sampah Emas. Ini penghargaan untuk pemain `sampah` yang merumput di Serie A. Pemain yang didatangkan dengan harga mahal dan ekspektasi tinggi, namun justru melempem.

Bidone d`Oro dirancang pengelola Radio RAI 2 di Firenze, dilaksanakan pertama kali tahun 2003. Edisi pertama `dimenangkan` oleh Rivaldo, yang kala itu berseragam AC Milan. Adriano Leite-nya FC Internazionale berhasil mencatatkan hatrick dengan menggondol Bidone d`Oro tahun 2006, 2007, dan 2010. Filipe Melo sangat kesal ketika mendapatkan Bidone d`Oro tahun 2009. Ia menyatakan bahwa hal ini adalah konspirasi pendukung Fiorentina yang tidak senang dengan kepindahannya ke Juventus. Pagelaran ini hanya bertahan 10 tahun, sayang sekali. Dan Alexandre Pato adalah pemain terakhir yang meraihnya pada 2012.

Tidak hanya di sepakbola Eropa, di Indonesia pun berlaku sindiran seperti ini. Untuk pemain, pelakunya adalah Atep, kapten Persib Bandung. Permainan Atep di masa muda terbilang cukup menjanjikan, sama halnya seperti Bendtner, yang kemudian tidak berkembang dengan baik.

Di kalangan penggemar Persib (Bobotoh dan Viking), Lord Atep dianggap sebagai pemain yang patut dimuliakan. Alasannya bukan karena kesombongan seperti yang dilakukan Bendtner, tapi skil olah bolanya yang seperti keronaldo-ronaldo an dan kemampuannya membuang peluang di muka gawang lawan. Maka ketika Atep mencetak gol, bobotoh akan serempak melakukan push-up.

Beruntung pada ISL musim 2014 lalu, Atep merespons julukan #lord itu dengan penampilan yang relatif memuaskan. Ia mencetak 6 gol, salah satunya gol yang akan menjadi legenda ke gawang Arema Malang di semifinal. Pun dengan penampilannya di Piala AFC. Atep mencetak 3 gol sebelum Persib disingkirkan Kitchee FC di babak 16 besar. Bobotoh tampaknya lumayan `eungap` karena sering push-up menyusul gol demi gol yang digelontorkan Atep.

Jika sudah memiliki Atep sebagai Bendtner, apakah Indonesia sudah memiliki Moyes? Belum? Atau belum menyadari? Punya nama? Siapa? Tepatkah kalau mengangkat Aji Santoso?

Sebelum memberikan gelar kepada Aji Santoso, kita lihat dulu rekam jejaknya.

Sebagai pemain, Aji Santoso berhasil mengantarkan Indonesia menjuarai Sea Games 1991. Sebuah prestasi yang masih sulit diulang sampai saat ini. Di level klub, Aji turut bertanggung jawab atas capaian juara yang diraih Arema 1992/1993 di Galatama, Persebaya Surabaya 1996/1997, dan PSM Makassar pada 1999/2000 di Liga Indonesia. Tidak Buruk. Sangat baik, bahkan!

Sebagai pelatih? Hhmm.

Setelah pensiun sebagai pemain pada tahun 2004, Aji Santoso mengawali karir kepalatihannya di level junior bersama SSB Arema dan Akademi Arema. Tahun 2005, ia langsung diangkat menjadi pelatih Tim Nasional Indonesia U-17 menggantikan Iwan Setiawan. Â Rencananya, tim yang dibesut Aji Santoso ini skan berlaga di Piala Asia U-16 2006 di Singapura yang sekaligus penyisihan Piala Dunia U17 2007 di Korea Selatan. Hasilnya: untuk berlaga di Piala Asia saja Aji gagal, setelah dikalahkan Australia 3-1 dan dilumat Laos 5 gol tanpa balas. Sekali lagi, kalah dari LAOS. Skor? 5-0!

Pada musim 2009/2010 Aji Santoso menjadi pelatih Persisam Samarinda. Maret 2010, Pusamania memaksa Aji untuk mundur setelah serangkaian hasil buruk yang diraih Persisam. Menghabiskan musim 2009/2010, mulai April 2010, ia didaulat menggantikan Subangkit untuk menangani Persema Malang. Selama bersama Persema ia mengantongi 3 kemenangan, 1 kali seri, dan 6 kalah.

Kembali ke Timnas, Aji pernah menjadi asisten Rahmad Darmawan untuk tim nasional U-23 yang berlaga di Sea Games 2011 dan 2013. Ia juga pernah menjadi caretaker Wim Rijsbergen untuk Pra Piala Dunia 2014. Dalam era ini, Aji mampu menang atas Timor Leste, Maladewa, dan Laos. Rekor kekalahan? Berikut daftarnya:

    • 10-0 Vs Bahrain dalam Pra Piala Dunia

    • 4-1 Vs Korea Utara dalam Asian Games

    • 6-0 Vs Thailand dalam Asian Games

    • 3-0 Vs Suriah pada laga persahabatan

    • 4-0 Vs Korea Selatan Pra Piala Asia

    • 4-2 Vs Myanmar dalam Sea Games

    • 5-0 Vs Thailand dalam Sea Games, dan

    • 5-0 Vs Vietnam dalam Sea Games.



Merujuk hasil yang diraih Aji Santoso tersebut, sempat ada diskusi yang mengangkat isu kemungkinan Aji Santoso diangkat sebagai Pahlawan Nasional di salah satu forum diskusi online.

Sebenarnya Aji tidak selalu seperti itu. Setelah kegagalan di timnas U-17, ia sempat mengantarkan Persiko Kotabaru promosi ke divisi 2. Tahun 2008, Aji berhasil mengantarkan Jawa Timur meraih medali emas PON XVII di Kalimantan Timur dan membawa mahasiswa Indonesia meraih perunggu pada Asean University Games di Malaysia.

Di level klub, ia pernah membawa Persik Kediri finish di urutan 4 Liga Super Indonesia 2008/2009 dan meloloskan Persebaya Surabaya dari jurang degradasi setelah menang playoff melawan PSMS Medan.

Tepatkah kita menganggap kiprah kepelatihan Aji Santoso seperti roda berputar, kadang di atas dan kadang di bawah? Kadang meraih emas (PON), kadang kalah 10-0 dari Bahrain? Kadang mengantarkan Persiko promosi ke divisi 2, kadang kalah 4-0 dari Korea Selatan? Kadang menghindarkan Persebaya dari jurang degradasi, kadang kalah 5-0 dari Vietnam?

Meniru para Bobotoh, rasanya 10 kali push-up untuk setiap gol open play yang dicetak tim yang asuhan Lord Aji rasanya cukup pantas untuk menghargai kehebatannya mengatur strategi.

Roda kadang memang benar-benar berputar untuk Bendtner. DFL Supercup 2015 yang berlangsung Minggu (2/8) lalu mempertemukan Bayern Munich sebagai juara Bundesliga dan Wolfsburg sebagai juara DFB Pokal. Bayern unggul 1-0 sampai menit 89, hingga Bendtner yang masuk pada menit 70 berhasil menyamakan kedudukan. Pertandingan dilanjutkan hingga babak adu tendangan penalti, dan lagi- lagi Bendtner menjadi juru selamat. Ia berhasil menceploskan tendangan penalti yang memastikan Wolfsburg menjadi juara.Â

Penulis tinggal di Yogyakarta. Dapat dihubungi di akun twitter:Â @murhartadi.


Komentar