Oleh Murhartadi Siregar
Gimin, ya? Bukannya Gatsby, The Great Gatsby?
Bagi anda penggemar film, mungkin sudah tidak asing dengan judul tersebut, The Great Gatsby. Tokoh utama dalam film yang diadaptasi dari novel legendaris karya Fitzgerald ini adalah miliyuner misterius yang sering mengadakan pesta meriah nan mewah di kediamannya. Namun ia sendiri tidak pernah muncul dalam pesta- pesta tersebut. Itulah yang membuatnya misterius.
Lalu bagaimana dengan Gimin yang dimaksud di sini? Gimin ini hampir dipastikan tidak sekaya Gatsby. Tidak pula misterius, hanya tidak dikenal publik, setidaknya tidak sekenal pemain-pemain yang bolak-balik masuk tim nasional. Â Ia baru saja membawa klub sepakbola kota kelahirannya menjuarai Piala Kemerdekaan 2015 yang diadakan Tim Transisi bentukan Kementrian Pemuda dan Olahraga.
Gimin adalah Legimin Raharjo, kapten tim PSMS Medan yang menjadi pahlawan dalam laga pamungkas. Pada pertandingan yang digelar di Stadion Gelora Bung Tomo Surabaya, Legimin menyumbangkan satu gol dan satu asist untuk mengungguli Persinga Ngawi, 2-1, di laga final.
Nama Legimin Raharjo bukanlah nama âkhasâ Medan yang identik dengan Batak (walaupun penduduk asli Medan adalah Melayu). Bahkan  nama itu mengindikasikan bahwa dia adalah keturunan Jawa. Namun faktanya, ia lahir di Medan dan memulai karir sepakbolanya bersama PSMS Medan pada 2001. Ia terus bertahan di PSMS sampai 2007 untuk kemudian berpindah ke kesebelasan lainnya.
Sempat bermain di beberapa klub di Jawa Timur, Gimin tidak kehilangan âfilosofi rap-rapâ ketika kembali berkostum hijau membela PSMS di Piala Kemerdekaan.
Pertandingan final ini tidak berlangsung mudah, baik untuk Gimin maupun PSMS. Setelah tertinggal lebih dulu oleh gol yang dicetak Jefri Kurniawan pada menit ke 26, Ayam Kinantan harus bermain dengan 10 orang setelah Asrul Rohundua menerima kartu kuning kedua pada menit 38.
Di sinilah ke-âgreatâ-an Gimin bermula. Sebagai senior sekaligus kapten, pemain kelahiran 10 Mei 1982 ini harus bekerja ekstra keras mengisi kekosongan yang ditinggalkan Asrul serta menjaga rekan-rekannya untuk tetap bermain penuh semangat, sebagaimana yang diperlihatkan tim Sumatera Utara pada PON 1989, yang sempat tertinggal lebih dulu 0-2 dari musuh bebuyutan Jawa Barat di semifinal, namun sanggup membalikkan keadaan dan lolos ke final melalui adu penalti.
Hasilnya, ia dapat mengirim umpan tendangan bebas yang berhasil dikonversi Aldino menjadi gol pada menit ke 61. Puncaknya, pada menit 90+1, gantian ia yang mencatatkan namanya di papan skor melalui sundulan memaksimalkan umpan M. Guntur. Jeger!
Piala Kemerdekaan dibawa ke Negeri Paman Lae.
Kemenangan di Piala Kemerdekaan ini disambut suka cita. Lini masa dipenuhi âPSMS juaraâ, dan bahkan sempat menjadi trending topic di twitter. Bahkan ada konvoi di Medan menyambut kemenangan PSMS ini.
Pawai keliling kota Medan! https://twitter.com/hashtag/PSMSJuara?src=hash
">#PSMSJuara https://twitter.com/JTq8NV0Bcp
â SMeCK HOOLIGAN (@SMeCKPSMS) https://twitter.com/SMeCKPSMS/status/643620859635044352">September 15, 2015
Sudah sangat lama hal yang demikian tidak terjadi di Medan. Maklum, dalam satu dekade terakhir, apalagi memasuki dekade kedua abad-21, PSMS lebih sering identik dengan perseteruan, dualisme dan berita tak sedap soal tunggakan gaji. Jangankan juara, sekadar menyelesaikan kompetisi pun megap-megap.
Ini sangat ironis. Di era perserikatan, PSMS Medan adalah nama yang patut disegani. Rekor lima kali juara (1966- 1967, 1971, 1975, 1983, dan 1985) dan tiga kali runner-up (1954, 1957, dan 1992) adalah reputasi mewah bagi PSMS. Kendati baru resmi berdiri pasca kemerdekaan, namun raihan gelar PSMS tidak kalah dengan nama-nama besar perserikatan lainnya.
Di anah Parahyangan, PSMS adalah momok. Para bobotoh boleh saja sekarang berkaok-kaok sebagai kesebelasan terbaik di tanah air, namun kalau sudah berurusan dengan PSMS, terutama para âbobotoh klasikâ, ada luka yang hingga saat ini belum juga bisa disembuhkan.
Dua kali berturut-turut di final Perserikatan, 1983 dan 1985, Maung Bandung dipatok oleh Ayam Kinantan. Empat tahun kemudian, di PON 1989, saat tim sepakbola kala itu masih diperkuat para pemain senior, Sumatera Utara yang diperkuat banyak pemain  PSMS dan Jawa Barat banyak diperkuat pemain Persib, Iwan Karo Karo lagi-lagi mengandaskan Jawa Barat di semi final. Padahal Jawa Barat lebih diunggulkan dan sempat unggul 2-0 terlebih dahulu.
Dalam sejarahnya, tercatat hanya dua kali lapangan merdeka yang terletak di jantung kota Medan, dibanjiri ratusan ribu orang. Yang pertama terjadi sekitar tahun 50an, saat Presiden Soekarno menggelar rapat umum terbuka di lapangan itu. dan Yang kedua adalah saat penyambutan sang jawara PSMS Medna yang baru saja pulang dari Jakarta setelah mengalahkan Persib Bandung di laga final Perserikatan 1985. Cerita selengkapnya
Ingat PEBY? Piala Emas Bang Yos? Turnamen ini sudah berlangsung sebanyak empat kali. Dan saat ini, Piala Lentan Jendral (Purn) Sutiyoso permanen bermukim di Stadion Teladan Medan setelah PSMS berhasil keluar sebagai juara tiga kali berturut-turut. Edisi pertama memang dimenangkan sang empunya: Persija Jakarta. Namun sisanya menjadi milik Medan. Dengan berhasil membasmi Geylang United dari Singapura (13 Februari 2005) dengan skor telak 5-1 pada PEBY II , menjinakkan Macan Putih Persik Kediri (17 Desember 2005) 2-1 pada gelaran ketiga, dan menang adu penalti atas Mahesa Jenar PSIS Semarang (15 Desember 2006) pada edisi keempat.
Gimin? Menjadi bagian dari PSMS ketika menjuarai tiga edisi PEBY dan kegagalan di Divisi Utama setelahnya. Ia juga menjadi bagian dari eksodus pemain PSMS ke Persik Kediri bersama Mahyadi Panggabean, Saktiawan Sinaga, Markus Horison, dan Usep Munandar setelah kekalahan dari Sriwijaya FC pada final 2007.
PSMS Medan yang mengikuti Piala Kemerdekaan, Piala Emas Bang Yos II, III, dan IV hanya memiliki dua kesamaan: Juara dan Legimin Raharjo. No Gimin, No Party.
foto: @SMeCKPSMS
Penulis adalah pelajar Medan yang sedang bersekolah di Jogja. Dapat dihubungi melalui akun twitter @murhartadiâ
Komentar