Oleh: Eko Noer Kristiyanto*
Tertangkapnya Johan Ibo saat berupaya merekayasa hasil akhir pertandingan pada 2015 membuat publik sepakbola "pura-pura" kaget, heboh dan terkejut tentang gerakan match fixing di Indonesia.
Walau familiar dengan kata-kata suap, sogok dsb, namun pengalaman yang membuat saya benar-benar menyadari parahnya sepakbola kita terkait suap adalah ketika berkesempatan berbincang dengan salah seorang tokoh Persib, budayawan sekaligus mantan wartawan senior, (Almarhum) Rahmatullah Ading Affandi yang akrab disapa RAF.
Dalam suatu jamuan makan siang, dengan memori yang jernih dan kemampuan bercerita yang sangat runut, beliau memaparkan beberapa insiden terkait suap yang beliau tahu betul kejadiannya. Dari mulai salah seorang mantan pemain yang mengambil uang suap berupa gepokan dalam tas (entah karena dahulu ATM masih sangat langka) sehingga menjadi perhatian wartawan yang jumlahnya tidak sebanyak sekarang. Setelah saya konfirmasi kepada pelaku yang kebetulan saya kenal juga, ternyata sang pemain hanya terkekeh.
Dan dari wawancara-wawancara berikutnya terhadap beberapa pemain (beberapa adalah eks. timnas) terungkap bahwa tawaran si penyuap memang gak kira-kira. Bukan lagi 2 atau 10 kali lipat dari gaji rutinnya, tapi bisa ratusan kali lipat.
Salah seorang bintang timnas di masa lalu mengatakan bahwa dulu tidak seperti pemain sekarang yang mendapat gaji, yang ada hanyalah bonus. Misal kita mendapat bonus 50 rupiah (jumlah yang sangat lumayan di masa lalu), maka si penyuap (yang memang terindikasi erat dengan bandar judi) bisa menawarkan uang hingga 2000 rupiah. Pemain yang menerima suap biasanya memang langsung terendus karena dengan lugunya mereka tiba-tiba balanja segala rupa dan membawa oleh-oleh untuk orang-orang di kampung. Padahal sehebat apapun pemain di masa lalu yang mereka punya hanyalah nama besar dan prestise, kalau uang tidak seberapa. Maka sesama pemain pasti bisa mengerti kenapa si A atau si B bermain buruk karena esoknya yang bersangkutan bisa langsung memperlihatkan perilaku royal.
Motif
Paparan saya di atas ingin menggambarkan bahwa motif utama yang paling sulit disangkal terkait pengaturan skor adalah uang. Sindikat perjudian tentu bermodal besar untuk membuat skenario hasil pertandingan. Dan hal ini jelas suatu tindakan kriminal.
Walau secara jernih dan terang benderang pula kita harus dapat membedakan bahwa selama tak memenuhi unsur-unsur tertentu maka suatu pengaturan skor tak dapat dimasukkan kategori kejahatan/kriminal namun semata mencederai fair play. Karena ada juga pengaturan skor yang motifnya bukan uang, tetapi murni strategi untuk menghindari/memilih lawan dsb.
Kejelasan motif menjadi sangat penting dalam pengusutan pengaturan skor. Seringkali masyarakat pun mendahulukan asumsi daripada fakta. Semisal kasus sepakbola dagelan antara PSS vs PSIS beberapa waktu lalu. Banyak masyarakat yang langsung berteriak bahwa polisi harus turun tangan. Padahal separah, sehina dan seterkutuk apapun sepakbola gajah di lapangan, selama tak memenuhi unsur delik pidana, maka urusan sanksi hanya sebatas ada di tangan komdis, komding dan komisi etik PSSI.
Begitupun sebaliknya, ketika proses penyelidikan dan penyidikan menemukan fakta lain yang melibatkan pihak-pihak di luar football family seperti bandar judi, mafia dll., maka federasi tak dapat menjangkaunya dan harus menggandeng aparat penegak hukum (baca: negara) untuk memberantasnya.
Kolaborasi seperti ini memang perlu komitmen dan itikad baik dari federasi, juga negara, seperti yang dilakukan FIGC (PSSI-nya Italia) ketika membongkar kasus calciopolli. Ketika terindikasi ada suap-menyuap dan pengaturan skor di serie A, maka FIGC menjalankan perannya, menjerat para pelaku di lingkaran football family dengan sanksi-sanksi seperti skorsing, hukuman degradasi., dsb. Tak cukup sampai di situ, ketika terbukti memenuhi unsur pidana yang merupakan yurisdiksi negara, maka federasi pun membuka akses yang seluas-luasnya bagi aparat kepolisian dan kejaksaan untuk melaksanakan tugasnya.
Sedangkan yang terjadi di negara ini memang jauh dari itu. Contoh kecil saja, ketika skandal mafia wasit di era Djafar Umar terkuak, tampaknya cukup pemecatan, skorsing dan sanksi-sanksi administratif saja yang dilaksanakan. Padahal terkait suap menyuap sebenarnya diatur juga di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Atau jika ingin lebih spesifik, maka dapat kita lihat ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap.
Usai dilepasnya Johan Ibo meski tertangkap tangan sedang berbicara dengan fixer, mungkin kita menjadi bertanya-tanya, ada apa dengan sistem pidana di negeri ini? Apakah benar-benar tak berdaya untuk menjerat para pelaku suap dan pengaturan skor lapangan hijau?
Suap Dalam Pengaturan Skor Sebagai Suatu Delik Pidana
Jika ditanya hukum apakah yang paling mirip dengan matematika, bagai bermain rumus serta sarat logika, maka hukum pidana jawabannya.
Suatu tindakan dapat dipidana jika termasuk ke dalam delik pidana, dan suatu delik haruslah memenuhi unsur-unsur tertentu. Jika satu unsur saja tak terpenuhi, maka tak dapat dikatakan sebagai suatu delik tertentu. Dapat kita temukan berbagai delik yang mirip namun berbeda unsur, rumusan serta sanksinya. Misal saja ada yang dinamakan pembunuhan, percobaan pembunuhan, pembunuhan berencana dsb. Itu berbeda-beda, dengan hukuman yang juga tidak sama.
Perlu diingat hukum pidana sangat kental dengan legisme serta positivistiknya. Sehingga ada prinsip "bukan termasuk suatu tindak pidana terkecuali telah diatur sebagai suatu tindak pidana sebelumnya."
Maka terobosan-terobosan dan penemuan hukum /rechtsvinding, utamanya yang dilakukan para hakim, menjadi sangat penting karena dapat dijadikan preseden di kemudian hari. Namun sayangnya kasus-kasus dan terobosan terkait pidana suap dalam bidang olahraga dapat dikatakan nihil di negeri ini. Padahal tanpa terobosan yang terlalu ekstrim pun sebenarnya instrumen hukum yang ada sudah cukup memadai jika saja aparat memang serius ingin memberantas suap dalam sepakbola.
Seperti diulas secara singkat, bahwa bicara menjerat secara pidana adalah bicara unsur-unsur untuk terpenuhinya suatu delik. Maka pintar-pintarnya para penyelidik dan penyidiklah menjadikan temuan-temuan sebagai unsur delik.
Saya beri contoh betapa suap dalam sepakbola yang melibatkan wasit, pemain ataupun pihak lain di luar football family dapat dijerat pidana. Bacalah ketentuan pasal 2 hingga 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap ini:
Pasal 2
Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
Pasal 3
Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah).
Pasal 4
Apabila tindak pidana tersebut dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dilakukan di luar wilayah Republik Indonesia, maka ketentuan dalam undang-undang ini berlaku juga terhadapnya.
Pasal 5
Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.
Ketentuan di atas sudah cukup menjerat pemberi suap, penerima suap, tak peduli di manapun locus (lokasi) penyuapan, apalagi jika terkait perjudian yang nyata-nyata diatur pula oleh KUHP. Maka lengkaplah sudah suap-pengaturan skor sebagai sesuatu yang mengganggu ketertiban serta kepentingan umum dan hukum pidana harus ditegakkan guna menjaga stabilitas masyarakat.
Terlebih dalam penjelasan pasal 2 UU 11 Tahun 1980 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "kewenangan dan kewajibannya", termasuk kewenangan dan kewajiban yang ditentukan oleh kode etik profesi atau yang ditentukan oleh organisasi masing-masing (cetak tebal oleh penulis). Kode etik profesi ini tentunya mengikat para pemain yang masuk kategori berprofesi pemain sepakbola, dan mereka yang terlibat suap jelas-jelas melanggar pula ketentuan dan etik yang ditetapkan oleh organisasi (federasi dari tingkat nasional hingga FIFA).
Maka miris rasanya jika untuk menjerat para pelaku suap dan pengaturan skor saja masih ada yang beralasan belum ada aturannya (lalu melepas si pelaku yang jelas-jelas tertangkap tangan). Alasan lain (yang seakan-akan benar) adalah perlu menunggu aturan yang memasukkan ketentuan suap olahraga dalam rancangan KUHP yang baru ataupun memasukkan ketentuan ini dalam rancangan Sistem Keolahragaan Nasional yang baru.
Sekali lagi kuncinya adalah niat dan komitmen, karena memang pemberantasan suap-pengaturan skor bukanlah suatu hal yang mudah. Jangankan di Indonesia, di negara yang sepakbolanya maju serta terintegrasi sistem pun, match fixing tetap menjadi momok yang selalu mengintai setiap musim kompetisi.
Khusus di Indonesia tercinta, setelah apa yang terjadi pasca tertangkapnya Johan Ibo yang seharusnya bisa menjadi momentum baik, karena jarang-jarang ada pelaku suap yang seceroboh ini, lalu kemudian dilepaskan begitu saja, penulis lalu bertanya: ini orang-orang yang mengatasnamakan federasi dan negara (kepolisian) jangan-jangan bukan sekadar tidak mau, tapi juga tidak tahu (bahwa ada hukum yang bisa diterapkan)?
Kalau begitu keadaannya, kasihan betul sepakbola Indonesia!
Eko Noer Kristiyanto
Peneliti Hukum di Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional-Badan Pembinaan Hukum Nasional
Komentar