Ditulis oleh Teguh Rama
#PanditCamp sudah memasuki hari ketiga. Setiap harinya, para peserta akan diberi materi dan tugas yang berbeda. Hari ketiga, mereka diharuskan untuk menulis dari pengamatan lapangan.
Pengamatan langsung barangkali tidak lagi populer di era kepenulisan sepakbola modern. Banyaknya kendala yang sebenarnya cukup masuk akal, seperti lokasi yang tidak mudah dijangkau, keengganan untuk berbaur dengan objek pengamatan, tidak ada jaminan munculnya peristiwa menarik untuk ditulis, minimnya waktu yang dimiliki sampai adidaya internet yang sanggup memberikan banyak informasi secara cepat; sering kali membikin pengamatan langsung sebagai metode terakhir yang diambil oleh mereka yang menggiati penulisan sepakbola.
Namun demikian, sepakbola tak melulu tentang statistik pertandingan ataupun transfer pemain. Ia juga menyoal petugas loket stadion yang jengkel karena ulah penonton, sekelompok tukang becak yang gemar minum anggur murah sambil menyaksikan pertandingan di warung-warung, keluh-kesah para pedagang kaus bola berharga miring ataupun tradisi menonton langsung pertandingan sepakbola perempuan yang berbeda dengan sepakbola laki-laki.
Sepakbola juga tentang remeh-temeh yang terlalu tak penting untuk dijadikan pemberitaan. Dan agaknya, hal-hal kecil tersebut hanya bisa ditemukan jika kita mau "membuang waktu dan bertungkus lumus di lapangan, seperti yang dilakukan oleh para peserta Pandit Camp di hari ketiga.
**
Kencangnya angin membuat debu-debu pasir di hamparan rumput yang tidak terlalu rata itu, terbang agak tinggi dari permukaan. Kemudian terdengar seorang pria paruh baya meniup peluit singkat, yang menegaskan kalau siang itu, di tengah matahari yang terik dan cuaca berangin, ia telah siap memulai latihan.
Pria itu memakai setelan training abu-abu lengkap dengan topi berwarna senada. Saya merasa gerah melihat dandanannya itu. Di depannya sudah berjejer anak-anak usia sekolah dasar. Mereka mengenakan atribut sepakbola lengkap. Tidak semua datang latihan tepat waktu, ada beberapa yang terlambat. Tanpa banyak bicara, setelah menemui pelatihnya, anak itu langsung menuju ke tepi lapangan dan berlari beberapa keliling sebagai konsekuensi dari keterlambatannya tadi.
Lapangan itu terletak di tengah-tengah salah satu perumahan elit di Bandung. Jangan harap Anda bakal melihat anak yang memakai sepatu butut di dalam lapangan. Semua yang mereka pakai sudah pasti merek kenamaan. Dari tepi lapangan yang di kerangkeng oleh pagar besi itu, setidaknya ada sekumpulan orang tua yang mendampingi anak-anaknya berlatih siang itu.
Tepat di sisi barat lapangan, tiga bapak-bapak berkumpul, lengkap dengan kepulan asap dari lintingan tembakau yang mereka bakar. Terdengar jelas mereka saling mengomentari sesi latihan tim anak-anaknya.
âKamari meunang juara sabaraha?â(kemarin juara berapa) ujar bapak-bapak yang berjaket kulit yang kemudian ditimpali dua orang bapak-bapak yang lainnya, âJuara, kamari pan aya pialanaâ(juara, kemarin kan ada pialanya). âMaenna alus euy, ngan lebar si Willy dipasang di sayap, padahal alus di hareup,â (Mainnya bagus, hanya sayang si Willy ânama salahsatu anak- dipasang di sayap padahal dia bagus di depan).
Di sisi lain, tepat di depan kantor Sekolah Sepakbola tersebut berkumpul kira-kira sekitar 10 orang ibu-ibu yang mengantar anaknya. Ibu-ibu itu terlihat sangat akrab, bahkan tertawa-tawa bersama. Sementara di sisi sisi lainnya, ada beberapa orang tua yang lebih memilih untuk menunggu dan melihat anaknya sendirian saja. Suatu pemandangan yang cukup banyak menjelaskan bahwa dukungan dan perhatian terhadap anaknya sangat besar. Lebih dari sekadar urusan antar-jemput.
Baca juga kisah tentang matinya sebuah lapangan sepakbola yang ditulis oleh Ramzy Muliawan
Siang itu, mereka dibagi ke dalam empat kelompok. Satu kelompok buat penjaga gawang, sisanya untuk posisi out-field yang lain. Saya tak menemukan ekspresi ogah-ogahan di wajah mereka. Meskipun sesekali terdengar pelatih mengingatkan kepada para siswa, âYang mau ngobrol, gak usah latihan!â Seketika itu pula, siswa yang tadinya latihan sambil berbincang-bincang dengan kawannya menjadi serius.
Namun jika bergeser ke lapangan seberangnya, ada treatment yang berbeda dari yang dilakukan dari pelatih tadi kepada anak-anak didiknya. Di lapangan itu, bocah-bocah kecil yang berusia lima hingga enam tahun juga berlatih sepakbola. Suasananya terasa berbeda. Banyak yang latihan sambil bercanda, namun pelatih tetap sabar dan mengingatkan secara anak-anak kecil itu secara halus. Mereka berjumlah 12 orang. Bisa dibayangkan anak kecil berlari menggiring bola yang ukurannya sudah pasti lebih besar daripada ukuran kepala mereka. Gemas bercampur kagum melihatnya. Mereka dengan gesit mengikuti arahan pelatih untuk melahap porsi latihan teknik menggiring bola hari itu. Anak-anak kecil itu rupanya tidak sekadar masuk Sekolah Sepakbola, melihat mereka mengolah bola, sudah jelas jika mereka memang memliki talenta yang tak bisa dianggap sepele.
Setelah latihan berlangsung, ternyata masih banyak orang-orang yang datang menyaksikan latihan. Saya yang kali itu baru mengunjungi Saint Prima Soccer Academy â nama Sekolah Sepakbola tersebut- sangat terkejut melihat banyaknya orang tua yang datang mengantar dan menyaksikan anak kesayangannya berlatih. Setelah sesi latihan teknik, dimulailah sesi permainan. Kelompok usia 10 tahun tadi dibagi menjadi dua tim. Seru juga menonton anak-anak SSB bermain! Sesekali saya tertawa geli. Ada gol yang tercipta dari kelengahan penjaga gawang yang matanya kelilipan debu. Ada pemain yang tidak berani berduel dan memilih menghindar saja. Ada juga pemain yang menendang tak tentu arah hingga tertahan oleh pagar besi yang ada di pinggir lapangan.
Saya jadi sedikit teringat bagaimana dulu ketika mengikuti Sekolah Sepakbola. Waktu itu saya duduk di kelas 4 SD. Berangkat ke lapangan berjalan kaki sendiri, tanpa pernah diantar orang tua. Saya pernah bermimpi menjadi pemain sepakbola hebat seperti yang sering saya tonton di televisi waktu itu, seperti Andriy Shevchenko atau Paolo Maldini. Di lapangan ini saya terus berandai-andai jika saya ada di lapangan itu. Bagaimana dukungan yang diberikan orang tua mereka, bagaimana infrastruktur yang tersedia dan bagaimana juga metode yang diberikan di sana. Seketika itu pula saya teringat tempat saya dulu berlatih sepakbola.
Buat mereka yang sempat menikmati sepakbola ala bocah, pasti juga punya cerita tentang tiang gawang puing-puing mereka
Pada akhirnya, entah suatu hari di lapangan itu akan menjadi saksi keberhasilan, kegagalan, penyesalan,dan juga kenangan tentang emosi yang pernah ada di dalamnya. Saya yakin pasti akan ada Andriy Shevchenko atau Paolo Maldini yang muncul dari lapangan itu. Pasti akan ada juga penyesalan dari anak-anak itu tentang kegagalan mencapai cita-cita mereka seperti yang saya rasakan saat melihat lapangan SSB itu.
Tapi, urusan melupakan itu tanggung jawab nanti. Tugas mereka sekarang, cukup bermain dan bersenang-senang sampai puas, sampai terkumpul cerita-cerita menyenangkan tentang debu-debu di lapangan, peluit pelatih ataupun pagar besi sekeliling lapangan.
 Penulis adalah peserta #PanditCamp, kelas menulis yang diadakan oleh PanditFootball.com biasa beredar di dunia maya dengan akun Twitter @Teguhrama
Komentar