Ditulis oleh Arif Utama
Pemberitaan penggusuran Kampung Pulo menyita perhatian media. Penggusuran lahan tersebut menuai protes dari warga. Protes ini sendiri dilakukan untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka akan keputusan ini. Namun, Ahok selaku gubernur DKI Jakarta akan tetap menggusur lahan tersebut.
Hal ini membuat ia mendapat protes keras akibat apa yang ia lakukan dari warga. Ia dianggap tak memiliki dasar atas penggusuran yang dilakukan. Namun, Wali Kota Jakarta Selatan, Tri Kurniadi membantah. Ia mengatakan bahwa apa yang diperintahkan Ahok sendiri bukan sekedar perintah, namun ada itikad baik didalamnya.
"Kita menertibkan itu ada dasar aturannya dan bukan sekadar perintah. Kita ada dasar aturan,"
Lahan tersebut memang direncanakan untuk dibangun sebuah pemukiman yang lebih baik jika dibandingkan yang ada sekarang. Dijelaskan, Pemda DKI hendak menyodet lurus Sungai Ciliwung yang melintasi Kampung Pulo. Jalur asli Sungai Ciliwung yang berkelok mengelilingi Kampung Pulo akan disodet ke arah jembatan Tongtek, yang bersebelahan dengan Bukit Duri. Rencana ini disebut-sebut belum diketahui oleh warga Kampung Pulo. Kampung Pulo sendiri merupakan salah satu daerah rawan banjir di Jakarta. Saat musim hujan, Kali Ciliwung bisa meluap dan âmenenggelamkanâ Kampung Pulo hingga 120cm.
Dengan situasi seperti ini, sebenarnya warga Kampung Pulo sendiri telah menerima ganti rugi yang baik. Mereka diberikan apartemen yang layak huni dan lokasinya-pun strategis. Mereka tak perlu lagi pusing saat hujan melanda rumah mereka. Secara kasat mata, mungkin tak perlu rasanya warga Kampung Pulo mengeluh akan segala apa yang mereka dapatkan ini.
Namun, memang ada faktor lain yang membuat warga Kampung Pulo tak ingin pindah. Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriyatna menilai, hal ini dipicu oleh ketakutan warga akan kehidupan di rumah susun. Sehingga solusi penggantian rumah susun saja tidak cukup untuk membuat mereka mau pindah.
Menurutnya, pokok permasalahannya adalah ketakutan warga, sehingga pemerintah perlu menghilangkan ketakutan tersebut.
"Mereka pindah mau, tetapi kehidupan mereka jadi lebih baik atau tidak, mereka takut,"
Memang ketakutan ini tak dapat dihindari. Mereka bisa saja kecewa atas situasi baru yang mereka terima. Juga perlunya menata tempat baru agar terasa seperti rumah yang lama, atau bahkan lebih baik. Akan selalu ada kenangan dari rumah yang lama yang akan mereka cari di rumah barunya.
Situasi inilah yang terjadi saat Casillas harus pergi meninggalkan Madrid. Madrid sendiri telah memiliki kebijakan khusus yang kemudian menyebabkan Casillas harus âdiusirâ. Santos Marquez, seorang Agen FIFA membeberkan, kebijakan Real Madrid di masa Florentino Perez ialah mendatangkan satu âgalacticoâ kedalam El Real.
Saat itu, memang gencar-gencarnya pemberitaan De Gea akan pindah ke Real Madrid. Adalah suatu hal yang mutlak bahwa Casillas harus pindah jika nanti suksesornya datang.
Akan tetapi, berbeda dengan warga Kampung Pulo yang menolak proses relokasi, Casillas malah menerima segala keputusan klub. Lagipula, ia juga telah mendapat ganti rugi yang sepadan dengan pindah ke klub yang dapat mempercayainya dan terus memainkannya.
"Sekarang tiba waktunya tinggalkan Madrid setelah 25 tahun membela klub terbaik ini. Bakal tiba hari dimana saya harus ucapkan selamat tinggal kepada klub yang sudah memberi saya segalanya ini."
Kemudian, program perbaikan Real Madrid-pun dilakukan. Ia menggantikan Casillas dengan Kiko Casilla. Meski Casilla bukanlah ganti sepadan dengan Casillas, tentu ia merupakan rival setara bagi Keylor Navas. Keduanya memiliki kualitas yang tak jauh beda dan hal ini dapat membuat keduanya dapat bertarung mati-matian untuk menjadi seorang No. 1 bagi Real Madrid. Meski terlihat kejam, namun memang performa Iker Casillas di musim lalu cukup merisaukan. Seperti Kampung Kulo, Casillas juga bisa âkebanjiranâ gol saat sedang berada dibawah performa.
Apa yang dilakukan seorang Florentino Perez dan Ahok sebenarnya adalah dua hal yang simpel: memaksa seseorang untuk keluar dari zona nyamannya. Namun, sebenarnya di dunia ini memang tak ada zona nyaman. Setiap orang, sebenarnya hidup dalam ketidakpastian.
Casillas dan Real sendiri sama-sama memutuskan bahwa mereka tak ingin hidup di zona nyamannya. Casillas tak ingin dicadangkan dan Real ingin tetap memiliki kiper yang dapat diandalkan. Alih-alih berharap Casillas akan membaik, kedua klub memutuskan untuk jalan dengan jalannya masing-masing. Karena mereka sadar, tidak siap untuk keluar dari zona nyaman akan membuatnya mendapatkan dua hasil, pertama, dia tidak akan berkembang; Kedua, kemungkinan zona nyamannya sudah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman.
Meski hal itu merupakan suatu hal yang sulit karena zona nyaman memang pada dasarnya merupakan tempat yang lebih disukai. Namun, tak ada yang bisa berkembang jika terus berada di zona nyaman. Tentunya, mungkin bagi Ahok bisa belajar akan keputusan yang memenangkan keduanya.
Namun kenyamanan, dalam arti harfiah, tidak mungkin sepenuhnya ada bagi warga di Kampung Pulo. Pada Casillas, mungkin saja ada ketidaknyamanan perasaan karena terbuang, tapi di keseharian ia tetaplah mega bintang dengan hidup yang serba kecukupan. Kenyamanan, toh, tidak menjauh dari hidupnya sehari-hari.
Lain cerita, tentu saja, dengan yang dialami mereka yang di Kampung Pulo. Di titik ini, kadang kita mesti memihak salah satu. Setidaknya: bersimpati. Meski seringkali, dalam soal-soal kepahitan hidup, simpati saja tidaklah cukup.
Ya, Casillas memang tak ada di Kampung Pulo.
Penulis adalah peserta kelas menulis di #PanditCamp dengan akun Twitter @utamaarif
Komentar