Oleh: Betrika Oktaresa
Di ajang Piala Dunia, Inggris jarang dilabeli sebagai negara unggulan. Tak berlebihan memang, karena terakhir kali Tiga Singa meraih juara terjadi pada tahun 1966.
Terlepas dari embel-embel sebagai negara yang melahirkan dunia sepakbola modern dengan lahirnya klub sepakbola profesional pertama di dunia, Sheffield FC pada tahun 1857, dan the Football Association (the FA) pada 1863, Inggris jarang meraih prestasi yang gemilang di level tim nasional.
Di level Piala Dunia misalnya, setelah juara pada tahun 1966, posisi terbaik Inggris adalah peringkat 4 pada gelaran Piala Dunia 1990. Sisanya, perjalanan Inggris lebih sering hanya berakhir di babak perempat final bahkan tidak lolos penyisihan grup.
Di ajang lain seperti Piala Eropa, Inggris bahkan belum sekalipun meraih gelar juara. Posisi terbaik Inggris di ajang tersebut adalah peringkat ketiga pada tahun 1968, tepat dua tahun setelah mereka meraih juara dunia.
Namun, tren positif muncul pada ajang Piala Dunia dan Eropa terakhir, di mana pada Piala Dunia 2018 Inggris berhasil melaju sampai semifinal, dan pada Piala Eropa 2020 bahkan menjadi finalis. Kira-kira, apa yang membedakan capaian Inggris saat ini?
Pembinaan Bibit Muda Sepakbola
Dalam berbagai riset yang telah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Vaeyens dkk, pada tahun 2005, Elliott dan Weedon pada tahun 2010, dan Mills dkk di tahun 2012, menegaskan bahwa pengembangan dan pembinaan pemain muda merupakan elemen utama dalam dunia olahraga termasuk sepakbola.
Memegang salah satu misinya yaitu “our mission is the development of young players through international competitions and educational activities”, UEFA melakukan satu gebrakan nyata melalui “home-grown” rule. Aturan tersebut mengharuskan klub menyertakan pemain binaannya sendiri yang telah bergabung sejak periode usia 15 s.d 21 tahun di klub dengan negara yang sama. Jumlahnya pun meningkat dari awalnya 4 pemain (2006/2007) menjadi 8 pemain di tahun 2008.
Kebijakan ini kemudian direspon secara cepat oleh the FA dan Pengelola English Premier League (EPL), dan menjadi trigger utama perkembangan pembinaan usia muda satu dekade terakhir. Kala itu, EPL Chief Executive Richard Scudamore menyatakan bahwa jumlah pemain muda di usia 18-22 tahun yang berhasil bertransisi menjadi pemain profesional senior masih sangat minim.
Peneliti di bidang olahraga, Jimmy O`Gorman dari Edge Hill University, UK, menjelaskan bahwa sepakbola usia muda di grassroots merupakan urat nadi dari sepakbola profesional karena merupakan basis perkembangan pemain dan pendukung dilahirkan. Di UK sendiri, perkembangan pemain usia muda sudah dimulai sejak tahun 1980-an dengan pembentukan Youth Training Scheme (YTS) yang kemudian berkembang menjadi Youth Training (YT) pada tahun 1990.
Program ini menggantikan program magang vokasi yang sebelumnya diterapkan di Inggris. Perubahan ini didasari fakta bahwa jumlah pemain profesional di Negeri Ratu Elizabeth kala itu masih sangat kecil angkanya, yaitu 1930 pemain profesional dan 303 pemain magang (bermain di akademi sekaligus masih melaksanakan pendidikan akademis). Bagaimana efek YT? 4 tahun kemudian, jumlah pemain pro dan magang meningkat menjadi 2740 pemain pro dan 1224 pemain magang.
Setelah itu, perubahan kembali dilakukan dengan penerapan Elite Player Performance Plan (EPPP), yang memberikan peta jalan yang lebih jelas tentang perjalanan karir para pemain dari usia muda. Dalam perubahan ini, kompetisi tim cadangan ditransformasi menjadi “Premier League 2” yaitu liga untuk usia U-21 (kemudian direvisi menjadi U-23 pada tahun 2016/17).
Pedoman tersebut dibagi dalam 4 tahapan, yaitu tahapan Fondation (5-11 tahun), Youth Development (12-16 tahun), Profesional Development (17-21 tahun), dan Senior Professional (EPL). Imbasnya, klub-klub juga harus menata ulang klusterisasi tim di berbagai jenjang usia di dalam klub masing-masing. Artinya, akademi usia muda klub menjadi modal utama dalam membangun masa depan keberhasilan klub mereka.
Perebutan Mutiara Muda di Pasar Terbuka
Akademi usia muda klub-klub sepakbola di Inggris juga memahami bahwa mereka harus saling berebut pemain muda potensial yang masih tersebar di penjuru negeri. Menurut The Professional Football Scouts Association (PFSA), wadah resmi para pencari bakat di UK, salah satu ajang yang menjadi langganan para scout dalam mencari bibit muda berbakat adalah Sunday Football League.
Kompetisi sepakbola amatir di level grass roots ini ternyata merupakan wahana unjuk kebolehan yang rajin disambangi para scout. Contohnya, apakah pembaca pernah mendengar klub yang bernama Fletcher Moss Rangers Football Club? Jika belum pernah, mungkin merupakan hal yang wajar, karena klub ini hanyalah klub amatir yang bermain di Manchester Football League Premier Division. Jika diurutkan secara hierarki dari mulai English Premier League (EPL), maka liga manchester football berada di tingkatan kesebelas (Level-11), dalam kategori Regional Feeder League.
Namun, tahukah pembaca bahwa dari klub amatir ini, lahir pemain muda berbakat dari mulai Wes Brown, Danny Welbeck, Ravel Morrison, Jesse Lingard, sampai pemain tulang punggung tim nasional Inggris saat ini, Marcus Rashford.
Yang perlu menjadi catatan, meskipun ada di tingkatan yang jauh dari EPL, secara pengelolaan, liga tetap dikelola secara profesional. The FA memahami bahwa di level amatir, klub harus tidak terbebani dengan pembiayaan yang besar, sehingga liga-liga yang digulirkan diklusterisasi di level county, selevel Kabupaten/Kota di Indonesia. Harapannya, sejak usia dini pemain sudah terbiasa dengan suasana liga yang kompetitif, jadwal yang teratur, dan memberikan peta jalan karir yang jelas menuju tingkatan-tingkatan liga di atasnya.
Beruntung, saya pernah merasakan langsung bagaimana profesionalnya pengelolaan liga amatir di level 11 ini. Pada tahun 2016-2017, saat melaksanakan studi di sebuah kampus di Kota Nottingham, UK, saya sempat diajak bergabung dengan sebuah klub amatir bernama Nottingham City Community FC yang bermain di Nottinghamshire Senior League Senior Division.
Menariknya, tidak berbeda kondisinya dengan klub-klub lain di tingkatan amatir lainnya, tetap terdiri dari berbagai jenjang tim, dari mulai usia muda (U-7 s.d U-15), tim wanita, sampai ke tim seniornya. Ketika itu, saya sempat bergabung dengan tim senior, dan beberapa kali berlatih bersama dengan tim mudanya. Surprisingly, kualitas mereka benar-benar luar biasa, dari mulai teknik dasar sampai cara bermain bak melihat Foden dan Sterling bermain.
Bagaimana dengan saya? Sudah bisa diprediksi, saya gagal menembus tim inti, tetapi kali ini tidak mengejutkan karena memang dari sisi kualitas dan mental mereka jauh unggul. Namun, pengalaman bergabung beberapa bulan di sana sangat berharga karena memberikan gambaran nyata bagaimana klub sepakbola dikelola secara profesional padahal klub masih di level amatir. Ironis bukan, di negara lain, ada klub profesional yang justru dikelola secara amatir, no mention tentunya.
Hasil Perbaikan Sistem Pembinaan Usia Muda
Lalu, bagaimana dampaknya? Insight dari penelitian yang dilakukan oleh duo peneliti Steve Bullough dan James Jordan di tahun 2017 menggunakan data panel selama satu dekade (2006 - 2016) di EPL bisa menjadi gambaran.
Di level klub, terdapat 369 pemain profesional Inggris yang berhasil melakukan debutnya di EPL. Kemudian, di level tim nasional, dari 369 pemain tersebut, 14%-nya berhasil mendapatkan cap pertamanya di tim nasional. Sedangkan di level junior tim nasional, baik U-16, U-20, dan U-21, 182 pemain atau 49,32% berhasil mendapatkan menit bermain mewakili negaranya selama kurun waktu satu dekade.
Dari data tersebut, sisi kuantitas jumlah pemain Inggris yang berlabel pemain profesional terus meningkat, sehingga dapat menghadirkan banyak pilihan bagi pelatih tim nasionalnya.
Menengok dari sisi kualitas, mungkin salah satunya bisa dilihat dari keberhasilan Inggris meraih gelar juara pada gelaran Piala Dunia U-17 India di tahun 2017. Kala itu, dengan dikomandoi oleh Phil Foden, skuad muda Three Lion mampu mengalahkan Spanyol. Di tahun yang sama, pada Piala Dunia U-20 Korea Selatan, Inggris juga berhasil menjadi juara setelah mengalahkan Venezuela. Satu tahun kemudian, di ajang Piala Dunia tahun 2018, tim nasional Inggris meskipun gagal meraih juara, mampu mencapai babak semifinal.
Sebuah capaian yang tidak dapat dikatakan buruk, bahkan cenderung mengarah ke tren positif. Termasuk menjadi finalis di ajang Piala Eropa di tahun 2020, menegaskan bahwa performa tim nasional Inggris terus meningkat. Hingga pertanyaannya, apakah segala hal yang telah dirintis oleh Inggris, akan mengantarkan Inggris meraih kembali kejayaannya di tahun 2022 ini? Atau masih kembali hanya sebatas nyaris?.
*Milanista sejak tahun 1999, Milanisti penulis Novel Sepakbola “The Ball is not That Round: The Darkside of Football”, bisa dihubungi di akun Twitter @B_Oktaresa dan Instagram @oktaresa.
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi
dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.
Komentar