Argentina meraih gelar juara dunia ketiga setelah mengalahkan Prancis dalam babak final Piala Dunia tahun 2022, Minggu (18/12) di Stadion Lusail, Qatar. Kedua tim masing-masing mencetak tiga gol dalam waktu normal dan babak tambahan sehingga pemenang ditentukan melalui drama adu penalti. Laga bersejarah tersebut disaksikan oleh 88.966 pasang mata yang hadir langsung di stadion.
La Albiceleste memimpin dua gol di babak pertama berkat gol Lionel Messi (23’) dari titik putih dan Angel Di Maria (36’). Babak kedua, Les Bleus membalas kontan melalui dua gol dari kaki Kyllian Mbappe (80’ dan 81’). Laga berlanjut ke babak tambahan. Messi kembali mengejutkan pasukan Didier Deschamps pada menit ke-108 namun dibalas oleh gol ketiga Mbappe pada menit ke-118.
Pada babak adu penalti, semua eksekutor tim Tango berhasil menjalankan tugasnya dengan sempurna. Lain halnya dengan eksekutor lawan. Tembakan Kingsley Coman berhasil ditepis Emiliano Martinez dan eksekusi dari Aurelien Tchouameni terlalu melebar. Gonzalo Montiel yang menjadi eksekutor terakhir menjadi penentu kemenangan Argentina.
Keputusan Cerdas Scaloni di Menit Pertama
Pada babak semifinal, Lionel Scaloni menggunakan formasi dasar 4-4-1 dengan menggunakan empat gelandang tanpa memasang pemain sayap. Pemilihan pemain tersebut ternyata berhasil meredam kekuatan Kroasia yang bertumpu pada tiga gelandang mereka. Pada laga tersebut, Argentina hanya meraih 38 persen penguasaan bola namun berhasil mencetak tiga gol. Efektif.
Gambar 1 - Sebelas Pertama Argentina dan Prancis
Pada laga ini, Scaloni kembali mengubah taktik dan formasi dasar yang ia turunkan sejak menit pertama. Kali ini, ia menggunakan 4-3-3 dengan Di Maria yang berperan sebagai penyerang sayap kiri. Keputusan ini bertujuan untuk mengeksploitasi dan mengurai sisi kiri pertahanan Prancis dengan penetrasi Di Maria ke dalam kotak penalti.
Rencana Scaloni berhasil sejak menit pertama. Argentina mendominasi penguasaan bola (59,2%) dan berhasil melepaskan enam tembakan pada babak pertama. Berbeda jauh dengan Prancis yang tidak mengancam gawang Emi Martinez sekali pun.
Hal ini disebabkan karena tiga gelandang yang dipasang Scaloni masing-masing menjaga satu gelandang Prancis. Akibatnya, ketika Prancis berusaha membangun serangan dari belakang ke tengah, mereka tidak menemukan gelandang yang bebas dan bisa menjadi penyambung aliran bola.
Tidak hanya itu, keputusan Scaloni memasang Di Maria sejak awal berbuah manis. Kehadiran Di Maria membuat Ousmane Dembele tidak leluasa untuk menyerang dari sayap kanan. Ia justru lebih banyak turun membantu Jules Kounde karena Di Maria beberapa kali berhasil melewati bek milik Barcelona tersebut. Maka wajar jika dua gol Argentina di babak pertama berasal dari sisi kiri.
Lini Depan Prancis yang Terisolasi
Masalah utama Prancis sejak menit pertama adalah menguasai bola dan membangun serangan. Tiga gelandang yang dipasang Deschamps tidak berhasil membebaskan diri dari kawalan tiga gelandang Argentina. Tchouameni yang sering diandalkan mengawali serangan menerima tekanan dari Alexis Mac Allister. Situasi ini semakin sulit bagi Les Bleus karena Adrien Rabiot dan Antoine Griezmann tidak bergerak turun untuk membantu Tchouameni. Alhasil, penguasaan bola Prancis tidak bertahan lama karena Julian Alvarez tanpa lelah menekan dua bek tengah Prancis yang sedang menguasai bola.
Gambar 2 - Ilustrasi Gelandang Prancis yang Sulit Memulai Serangan dan Lini Depan yang Terisolasi
Jika meninjau ilustrasi di atas, Varane yang menguasai bola berusaha mencari Tchouameni yang bertanggung jawab untuk mengurasi serangan. Ada tiga pemain Argentina yang menekan ke arah bek tengah sehingga Varane tidak punya banyak waktu berpikir. Tchouameni kesulitan mencari ruang. Ia beberapa kali turun sangat dalam hingga sejajar dengan bek tengah namun gelandang Real Madrid tersebut menjadi terlalu jauh untuk menjangkau Rabiot atau Griezmann yang diam di tengah lapangan. Terbukti selama 120 menit laga berjalan, Tchouameni hanya menyentuh bola sebanyak 87 kali. Berbeda jauh dari laga-laga sebelumnya yang bisa menyentuh bola lebih dari 100 kali.
Pada situasi ini, Pilihan Varane tentu berusaha mengakses lini depan tanpa harus melalui lini tengah dengan cara mengirimkan umpan panjang ke arah Olivier Giroud. Tapi, Nicolas Otamendi dan Christian Romero sangat kuat dalam duel udara. Alhasil, rencana tersebut gagal.
Kondisi ini diperparah ketika Argentina menguasai bola dengan leluasa tanpa tekanan dari Prancis, bahkan ketika Les Bleus dalam kondisi tertinggal. Giroud, Mbappe, dan Dembele sangat pasif ketika bola masih dikuasai lini belakang Argentina. Padahal, mereka bertiga mampu untuk menekan sehingga lawan kesulitan membangun serangan. Akibatnya, La Albiceleste dengan mudah mengalirkan bola hingga sampai di kaki Messi. Tidak heran jika Messi menjadi pemain paling berbahaya pada laga ini dengan lima tembakan, tiga umpan kunci, dan dua gol.
Situasi Membaik Ketika Coman dan Camavinga Masuk
Pada situasi tertinggal dan tidak ada perubahan dari para pemainnya, Deschamps melakukan dua pergantian di akhir babak pertama. Randal Kolo Muani menggantikan Dembele dan Marcus Thuram menggantikan Giroud. Pergantian pemain tersebut secara tidak langsung menggeser Mbappe menjadi penyerang tengah.
Keputusan Deschamps sedikit mengubah kebiasaan lini depan yang jarang menekan lawan. Thuram, Mbappe, dan Muani lebih rajin berlari dan menekan pemain lawan yang menguasai bola. Namun, perubahan tersebut belum cukup untuk dapat membalikan keadaan.
Jika melihat pertandingan sebelumnya, Argentina kebobolan tiga kali di atas menit ke-70. Artinya terjadi penurunan performa ketika pertandingan memasukkan menit-menit akhir. Oleh karena itu, Deschamps melakukan Kingsley Coman dan Eduardo Camavinga pada menit ke-70 menggantikan Griezmann dan Theo Hernandez. Pergantian ini bertujuan menambah energi di lini depan dan menugaskan Camavinga khusus untuk menjaga Messi.
Tidak membutuhkan waktu lama, keputusan Deschamps berbuah manis. Prancis berhasil menyamakan kedudukan dari dua gol Mbappe yang dicetak dengan selisih waktu kurang dari dua menit. Hal ini disebabkan Coman yang sangat aktif menekan lawan dan berani melakukan penetrasi ketika menguasai bola. Aksi Coman menarik perhatian lini pertahanan Argentina sehingga Mbappe mendapatkan lebih banyak ruang.
Emi Martinez Raja Adu Penalti
Memasuki babak adu penalti, Argentina patut untuk lebih percaya diri karena ini bukan pengalaman pertama mereka. Pada babak perempat final, mereka memulangkan Belanda melalui babak adu penalti. Dengan kata lain, “angin” yang berhembus ke Prancis, kini berbalik ke arah Argentina.
Emi Martinez menjelma menjadi pahlawan Argentina karena berhasil menggagalkan tembakan Coman. Kepiawaiannya menghalau sepakan penalti secara tidak langsung memberi tekanan mental kepada Tchouameni yang menjadi eksekutor selanjutnya setelah Coman. Alhasil, tendangan Muani terlalu melebar.
Keberhasilan Emi memenangkan drama adu penalti memperpanjang rekornya dengan selalu memenangkan adu penalti dalam tiga pertandingan berturut turut. Emi menjadi bintang ketika Argentina memenangkan Copa America 2021 melawan Kolombia, dilanjutkan dengan adu penalti babak perempat final lawan Belanda, dan diakhiri dengan adu penalti paling penting sepanjang karirnya, final Piala Dunia 2022.
Lionel Messi patut menghaturkan banyak terima kasih kepada penjaga gawang milik Aston Villa ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa Emi melengkapi kepingan skuad Argentina hingga Messi berhasil melengkapi capaian karirnya dengan menjadi juara dunia.
Komentar