Salah satu kegiatan pasca-latihan yang sering dilakukan oleh atlet elit adalah dengan krioterapi. Krioterapi atau cryotherapy berasal dari kata 'cyro' dalam bahasa Yunani yang berarti dingin, sedangkan 'therapeia' memiliki arti penyembuhan.
Krioterapi ini secara umum dilakukan untuk menjaga kebugaran. Hal ini juga yang pernah dilakukan oleh kesebelasan negara Indonesia U19 pada 2013 yang lalu, yaitu dengan berendam di air es.
Terapi es yang dilakukan oleh Evan Dimas dkk ini dianggap bisa mempercepat pelarutan timbunan asam laktat (dicirikan dengan rasa pegal-pegal) dalam otot yang terbentuk setelah melakukan latihan berat. Asam laktat yang berlebihan yang terlalu lama tertimbun tentunya akan mengganggu kinerja otot, maka dari itu perlu dilarutkan secara cepat.
Pada kenyataannya, terapi es ini memang sangat marak dilakukan di dunia olahraga. Misalnya saja Franck Ribery yang pernah melakukannya saat ia ingin menyembuhkan cedera di kakinya, seperti yang ditunjukkan pada foto di atas.
Hanya saja, yang membedakan Ribery dengan Evan Dimas dkk adalah Ribery tidak menggunakan air es, tetapi ia melakukannya dengan cairan nitrogen yang suhunya di bawah nol derajat Celcius.
Krioterapi bisa jadi berbahaya
Sejak marak di tahun 2013, banyak atlet elit yang mulai memanfaatkan 'whole body cryotherapy' (WBC) atau krioterapi seluruh tubuh, kecuali biasanya kepala.
Cara kerjanya adalah dengan mengekspos suhu dingin yang ekstrem (antara -80 sampai -120 derajat Celcius) selama beberapa menit ke seluruh tubuh yang dimaksudkan untuk mengurangi memar dan rasa sakit serta mempercepat penyembuhan dan pemulihan.
Para ahli juga memperkirakan WBC ini dapat mengurangi jumlah asam laktat yang dihasilkan jika dilakukan sebelum latihan, dan mempercepat penghapusan asam laktat jika dilakukan setelah latihan. Manfaat lainnya yang menarik (meskipun belum terbukti secara ilmiah) adalah dapat mencerahkan kulit.
Tidak heran, sampai sekarang krioterapi model ekstrem ini semakin marak bukan saja di kalangan atlet, tetapi juga di kalangan selebriti dunia. Bahkan pada 2013, Cristiano Ronaldo saja sampai rela mengeluarkan uang sekitar Rp 700 juta hanya untuk membeli tong nitrogen tersebut untuk ia gunakan di rumahnya di Madrid.
Namun, ada berita buruk mengenai pengguna WBC setelah salah satu karyawan di salon kecantikan Las Vegas (Amerika Serikat) dilaporkan meninggal setelah masuk ke dalam tong krioterapi milik salonnya tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai keamanan dan efek yang sesungguhnya dari WBC.
Ternyata selama ini krioterapi tidak disetujui FDA (Food and Drug Administration) atau "not FDA-approved". Hal ini didasarkan pada penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa kontak yang terlalu lama dengan suhu rendah (apalagi di bawah nol derajat Celcius) dapat menyebabkan radang dingin dan kaligata.
Di antaranya, mereka yang hamil atau memiliki tekanan darah tinggi sangat tidak disarankan melakukan terapi es.
Secara ilmiah, ternyata krioterapi tidak terlalu bermanfaat
"Ini jelas memberi Anda efek kejutan dan adrenalin," kata Houman Danesh, spesialis manajemen nyeri di rumah sakit Mount Sinai, mengenai manfaat dari krioterapi secara umum. "Tapi secara medis, tidak ada (manfaatnya)."
Krioterapi ekstrem ke seluruh tubuh ini memang dianggap sudah banyak membantu atlet dalam pemulihan otot, di antaranya adalah LeBron James (besket), Paula Radcliffe (maraton), sampai beberapa atlet UFC.
Secara umum memang kita sudah mengenal jika kita memar, kita disarankan mengompres daerah memar tersebut menggunakan es yang dingin, tapi bukan ke seluruh tubuh.
Setelah insiden tersebut, ada perubahan pandangan dari beberapa ahli medis dan olahraga yang sekarang justru menganggap krioterap lebih kepada tren daripada pengobatan medis.
"Ada sangat sedikit bukti yang mendukung efektivitas (krioterapi)," kata Joe Costello, seorang peneliti senior di kedokteran olahraga di University of Portsmouth.
Setelah latihan lebih baik mandi air dingin atau air hangat? Temukan jawabannya di halaman berikutnya.
Komentar