Satu hal yang terus mengganjal saya dari sejak Kamis pekan lalu (16/03) adalah soal pengertian marquee player. PSSI menjelaskan pemain yang berstatus marquee player adalah mereka yang merupakan: pemain yang pernah bermain di Piala Dunia selama tiga putaran terakhir atau liga top dunia, serta berumur di bawah 35 tahun.
Pernyataan tambahan juga saya dapatkan dari Berlington Siahaan, Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru, yang dikutip dari JPNN, yaitu pemain bisa berasal dari negara mana saja, serta pengertian “liga top dunia” itu adalah Liga Inggris, Spanyol, Italia, Jerman, “atau liga-liga yang selama ini dianggap nomor satu” (well... sepertinya masih ambigu, ya).
Sementara Ade Wellington, Sekjen PSSI, mengatakan hal agak berbeda dengan Berlington terutama soal “dari negara mana saja”. Ia berkata: “Klub hanya bisa dapatkan pemain dari 32 negara (mengacu jumlah negara peserta di Piala Dunia) di Piala Dunia, dan mereka harus yang terbaik, ya. Ronaldinho saja hampir ke sini, Drogba juga disebut-sebut.”
Kita bisa melihat banyaknya standar di sini. Jika mengacu pada Ronaldinho, oke lah ia pernah bermain di Piala Dunia maupun liga top dunia, tapi usianya sudah 37 tahun (tidak memenuhi syarat). Kemudian Drogba sudah 39 tahun (tidak memenuhi syarat). Bahkan beberapa pemain yang digosipkan lainnya, seperti Robbie Keane (36 tahun), Dimitar Berbatov (36), dan Peter Odemwingie (akan berusia 36 pada Juli) sebenarnya tidak memenuhi syarat.
Michael Essien, yang disebut-sebut sebagai marquee player pertama musim ini, milik Persib Bandung, memang masih berusia 34 tahun. Tapi ia akan berusia 35 tahun di akhir tahun nanti.
Jadi, jika ada kesebelasan yang ingin merekrut marquee player, kriteria seperti apa yang dianggap benar-benar aman? Atau memang kriteria ini akan direvisi lagi? Kalau iya akan direvisi lagi, Liga 1 sudah mau dimulai, lho.
Hal-hal seperti ini lah yang membuat saya kembali membaca jurnal-jurnal ilmiah (kebanyakan tentang manajemen olahraga) untuk mencari tahu seperti apa definisi yang ideal dari seorang “marquee player”. Jadi, tulisan ini utamanya bukan soal kritik atau opini, melainkan tinjauan ilmiah.
Acuan yang biasanya digunakan adalah soal gaji
Dari sekitar enam jurnal yang saya tinjau (saya lampirkan di akhir tulisan ini), lima jurnal memberi acuan untuk marquee player kepada pemain yang memiliki gaji di atas atau di luar batasan gaji (salary cap)1, 2, 3, 4, 5, sementara satu jurnal, tentang olahraga di India, memberi acuan untuk marquee player sebagai pemain yang memiliki kemampuan di atas rata-rata6.
Namun, ada kesamaan dari seluruh penelitian tersebut, yaitu marquee player atau designated player yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan pemasaran olahraga secara keseluruhan di negara tersebut.
Menilai marquee player dari gaji, menurut penelitian-penelitian yang saya baca, adalah acuan yang adil2. Mereka tidak peduli siapa atlet tersebut, dari mana asal mereka, apa status mereka, yang penting atlet-atlet tersebut memiliki gaji di atas batasan tertentu yang sudah ditentukan sebelumnya.
Ini lah yang membatasi marquee player di setiap kompetisi olahraga (bukan hanya sepakbola), misalnya satu tim hanya boleh memiliki satu, dua, atau tiga marquee player saja6.
Salary cap ini sebenarnya cukup sederhana. Misalnya batas gaji atlet adalah 100 ribu dolar, maka seluruh atlet yang berkompetisi di kompetisi tersebut memiliki gaji tidak lebih dari 100 ribu dolar. Tapi pihak penyelenggara kompetisi membolehkan adanya beberapa pemain dalam satu tim yang bergaji di atas 100 ribu dolar. Beberapa atlet tersebut akan disebut sebagai marquee player. Seorang atlet yang gajinya 100,01 ribu dolar sekalipun bahkan sudah pantas disebut sebagai marquee player.
Peraturan salary cap lainnya yang lebih umum juga membatasi gaji bukan per atlet, melainkan per tim. Misalnya dalam suatu kompetisi, setiap tim diberi batasan gaji 3 juta dolar, maka total gaji seluruh atlet dalam tim tersebut tidak boleh melebihi 3 juta dolar. Sedangkan marquee player adalah atlet yang didaftarkan tapi gajinya tidak masuk ke dalam total gaji tim yang 3 juta dolar tersebut, karena ia berada di luar salary cap. Untuk itulah marquee player dibatasi jumlahnya.
Pengaruh marquee player kepada pengembangan pemain muda
Pada jurnal berikutnya, sempat disebutkan secara gamblang bahwa keseimbangan kompetisi bisa dicapai karena tiga hal, yaitu player draft (untuk keperluan perekrutan pemain pemula atau rookie), salary cap (untuk menentukan status marquee player), dan lokasi kesebelasan (lebih berbau bisnis)3.
Khusus untuk sistem draft ini ternyata menarik, yang biasa diaplikasikan untuk perataan distribusi dan kualitas pemain muda di sebuah negara. Jika hal ini diaplikasikan (mentah-mentah) oleh PSSI, mungkin kita akan meminimalisasi kejomplangan di kompetisi Liga 1 di saat seluruh kesebelasan diwajibkan mengontrak lima pemain berusia di bawah 23 tahun, dengan tiga di antaranya harus menjadi starter.
Namun, mimpi itu memang sulit diciptakan di Indonesia. Apalagi kita belum benar-benar paham jika sistem draft ini ingin diaplikasikan di negara kita. Kita harus banyak belajar, tidak bisa instan langsung diterapkan begitu saja.
Lain halnya dalam sebuah jurnal yang membahas mengenai Liga Australia (A-League), mereka menyebutkan bahwa kesebelasan-kesebelasan dipersilakan mengontrak pemain seperti Alessandro Del Piero. Mereka belajar banyak dari peraturan designated player milik MLS Amerika Serikat dan juga MLB (liga bisbol) Amerika Serikat2.
Hal ini ternyata membawa dampak hebat bagi Australia. Jumlah penonton meningkat, konsumen semakin terikat dengan produk kesebelasan (seragam, pernak-pernik, dll), dan pada akhirnya bisa membantu struktur pengembangan pemain muda berkat adanya pemain-pemain bintang ini3.
Jadi, Australia sudah membuktikan kepada kita bahwa pada akhirnya marquee player ternyata memiliki dampak yang signifikan kepada pengembangan pemain muda. Patut dinantikan di Indonesia.
Satu hal menarik dari jurnal tersebut adalah, melalui survei yang dilakukan di penelitian itu, publik Australia menyebut Sergio van Dijk sebagai marquee player3. Ya, Sergio yang sekarang bermain di Persib itu! Kalau pandangan Australia ini diaplikasikan mentah-mentah di Indonesia, berarti bahkan Persib bisa jadi sudah memiliki dua marquee player sekarang.
Bersambung ke halaman selanjutnya: Soal transparansi dan PSSI yang kurang tepat mendefinisikan “marquee player”
Komentar