Satu-satunya lelucon di sepakbola adalah penggunaan rumput sintetis ketika rumput alami masih bisa tumbuh. Apa yang dipikirkan FIFA ketika mempersilakan seluruh venue untuk Piala Dunia Perempuan mempergunakan rumput sintetis?
Gelaran yang akan dilangsungkan di Kanada pada 2015 tersebut mendapat protes keras dari sejumlah pemain yang akan berlaga. Mereka menganggap FIFA dan federasi sepakbola Kanada melakukan diskriminasi terhadap pesepakbola perempuan.
Mungkin tak sedikit dari Anda yang berpikir, memang apa salahnya dengan rumput sintetis? Bukankah di Indonesia perlahan mulai banyak berdiri lapangan sepakbola dengan rumput sintetis?
Sejatinya, rumput sintetis hanya bisa digunakan di wilayah di mana rumput alami tak bisa tumbuh. Misalnya Stadion Luzhniki yang terletak di Moskow. Karena matahari jarang menghangat di negeri beruang tersebut, pengelolaan rumput pun menjadi serba sulit. Ini yang membuat Stadion Luzhniki menggunakan rumput sintetis.
Pada 2008, Stadion Luzhniki menjadi venue final Liga Champions yang mempertemukan Manchester United dan Chelsea. Atas hal ini, UEFA meminta pengelola stadion mengganti rumput sintetis tersebut, dengan sebenar-benarnya rumput.
Panitia pun segera mengimpor rumput dari Slovakia, dan menanamnya. Rumput yang membuat John Terry terpeleset tersebut sebenarnya rumput kedua yang didatangkan. Rumput yang pertama mati saat dipasang. Berdasarkan data dailymail, panitia lokal mesti merogoh kocek hingga 160 ribu pounds hanya untuk memasangkan rumput tersebut.
Piala Dunia wanita akan digelar tahun depan, tapi mengapa FIFA tidak dengan melarang Kanada selaku tuan rumah yang menggunakan rumput sintetis di semua venue? tidak dipakainya rumput asli inilah yang sempat jadi pemberitaan dan cemoohan. FIFA dinilai pilih kasih terhadap pesepakbola wanita,
Akun @womensfootie_id mengunggah foto luka seorang pesepakbola perempuan setelah bermain di rumput buatan. Meskipun bukan luka dalam, tapi luka-luka tersebut begitu mengerikan. Kulit kaki terkelupas hingga mengeluarkan darah dan nanah. Ketakutan inilah yang membuat para pemain profesional enggan bermain di rumput sintetis.
Mengapa Rumput Sintetis Membuat Rentan Cedera?
Pemilihan sepatu saat bermain di rumput sintetis terbilang penting. Tidak sedikit pemain yang memilih menggunakan sepatu mirip sepatu futsal dengan jumlah tuds atau pul yang lebih dari 12 buah.
Meskipun demikian, karena kontur rumput yang licin, seringkali membuat pemain terpeleset. Di sinilah kemungkinan cedera itu terjadi. Alas dari rumput sintetis biasanya semen atau beton dengan kontur yang keras. Maka, saat terjatuh, daya tolak dari alas lapangan jauh lebih kencang ketimbang saat pemain terjatuh ke tanah atau rumput alami. Akibatnya, kemungkinan terjadinya kerusakan pada otot maupun pada tulang semakin besar.
Jika tidak merusak tulang dan otot, rumput sintetis dapat membuat luka menganga pada kulit. Dengan kontur âdaunâ yang tidak fleksibel, membuat kulit pemain yang mesti mengalah.
Saat pemain jatuh terseret, rumput alami yang mudah patah, biasanya merunduk, atau malah lepas dari akarnya. Konsekuensi dari gesekan antara kulit dan rumput bisa diminimalisir. Lain halnya dengan rumput sintetis. Ketika bermain tengah hari, temperatur rumput akan sangat panas. Saat terjadi gesekan dengan kulit, sudah barang tentu kulit akan terkelupas karena tekanan yang dibantu dengan panas itu sendiri.
Setelah melihat luka-luka tersebut, semoga saja FIFA bisa jauh lebih bijak dalam menyikapi hal ini. Rumput asli dipakai untuk meminimalisasi cedera pemain, bukan untuk hiasan belaka.
Komentar