Hampir setengah tahun telah berlalu sejak Piala Dunia 2014 di Brasil, FIFA tampaknya telah belajar banyak bahwa cedera kepala telah menjadi sorotan serius bukan hanya bagi sepakbola, tetapi juga bagi seluruh olahraga.
Contoh paling populer pada Piala Dunia adalah gelandang Jerman, Christoph Kramer, pada pertandingan final melawan Argentina.
Kramer mengalami benturan di kepala di menit ke-17 dan ia kemudian mengaku bahwa ia tidak tahu dimana ia berada, apa yang terjadi di sekelilingnya, dan bahkan sempat bertanya kepada wasit apakah ia sedang bermain di pertandingan final.
Contoh lainnya hadir pada bulan Oktober ketika laga Liga Primer Inggris antara Chelsea dan Arsenal. Saat itu kepala Thiabaut Courtois terbentur Alexis Sanchez dan ia tidak sadarkan diri selama beberapa saat. Meskipun ia bisa kembali bermain, tetapi dokter dan ofisial Chelsea memutuskan bahwa ia harus ditarik keluar.
Dua penelitian baru-baru ini diterbitkan dalam Journal Clinical of Sport Medicine yang ditulis oleh Dr. J. Scott Delaney, seorang dokter tim untuk Montreal Alouettes, Montreal Impact, dan tim sepakbola McGill, menjelaskan bahwa bentuk paling umum dari cedera kepala banyak terlihat pada atlet.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa gegar otak terus menjadi "cedera terselubung" atau "cedera tersembunyi" dalam olahraga.
Meminimalkan dan Menyembunyikan Gejala Gegar Otak
"Banyak orang telah dicurigai bahwa mereka telah mengalami gegar otak untuk waktu yang lama, sebagian besar dari mereka adalah atlet. Kami memeriksa seberapa sering hal ini benar-benar terjadi dan alasan mengapa atlet memilih untuk menyembunyikan gegar otak mereka," kata Dr. Delaney, yang juga spesialis kedokteran olahraga dan direktur riset di Departemen of Emergency Medicine di Universitas McGill Health Centre (MUHC) dan seorang profesor di Fakultas Kedokteran di Universitas McGill.
Penelitian Dr. Delaney ini melibatkan survei dari 469 atlet universitas selama periode 12 bulan. Menurut penelitian ini, 20% dari atlet universitas percaya bahwa mereka telah menderita gegar otak selama ini dan hampir 80% dari atlet memutuskan untuk tidak mencari bantuan medis dan memilih untuk terus bermain meskipun percaya mereka telah menderita gegar otak.
"Penjelasan paling umum atlet adalah bahwa mereka tidak merasa gegar otak mereka itu serius," jelas Dr. Delaney. "Mereka percaya itu tidak akan berbahaya jika mereka terus bermain. Kebanyakan atlet tahu apa yang harus terjadi ketika mereka mendapatkan gegar otak, yaitu mereka akan dibawa keluar dari permainan. Namun, mereka tidak selalu menyadari bahwa gegar otak jika tidak dilaporkan dan diobati, akan bisa sangat berbahaya."
Menurutnya, atlet yang bermain ketika mereka memiliki gejala gegar otak berada pada risiko cedera yang lebih serius, termasuk gegar otak berulang. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan saraf kumulatif dan bahkan, dalam jangka panjang, gangguan kognitif dan depresi.
"Pelatih harus menyadari bahwa sikap dan perilaku mereka terhadap atlet yang menderita gegar otak dapat mendorong pemain untuk menyembunyikan gejala," katanya.
Penelitian ini menemukan bahwa beberapa atlet tidak mengungkapkan gejala karena mereka takut itu akan mempengaruhi mereka di tim. Tanggapan pelatih dan staf medis untuk gegar otak dapat memiliki dampak jangka pendek yang signifikan pada pemain mereka dan dampak jangka panjang untuk kesehatan."
Contoh lain dari kasus di atas datang dari mantan pemain American football yang juga menderita gegar otak, Charles-Antoine Sinotte. Ia menyadari pentingnya pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana gegar otak terjadi dan bagaimana atlet bereaksi terhadap cedera.
"Sulit untuk berpikir jangka panjang ketika Anda adalah seorang atlet dan terfokus pada pengembangan keterampilan olahraga Anda," katanya. "Pada akhirnya, meskipun, atlet mahasiswa harus menyadari bahwa mengambil istirahat satu atau dua minggu setelah gegar otak akan dibayar mahal dari segi kesehatan mereka secara keseluruhan. Mereka harus belajar untuk melaporkan gejala gegar otak, percaya kepada staf medis, dan mengikuti saran mereka."
Perbedaan Mekanisme Cedera
Selain mempelajari respon atlet terhadap cedera gegar otak, Dr. Delaney dan rekan-rekannya melakukan penelitian ke dalam mekanisme cedera gegar otak. Mereka meneliti 226 kejadian gegar otak yang terjadi selama sepuluh tahun kepada 170 atlet universitas (pria dan wanita) yang bermain American football, hoki es, atau sepakbola.
Sisi kepala dan tulang tengkorak adalah lokasi yang paling umum dari dampak yang mengakibatkan gegar otak dalam tiga olahraga tersebut.
Kontak dengan kepala pemain lain adalah mekanisme yang paling sering terjadi di American football, kontak antara kepala dengan anggota bagian tubuh lainnya serta menyundul adalah mekanisme yang paling sering terjadi di sepakbola, sementara kontak dengan bagian tubuh atau objek lain adalah penyebab paling mungkin dari gegar otak di hoki es.
Untuk sepakbola sendiri, sekitar setengah gejala gegar otak hampir pasti terkait dengan upaya untuk menyundul bola.
"Kami juga menemukan perbedaan dalam mekanisme cedera untuk pria dan wanita dalam hoki es," lapor Dr. Delaney. "Dalam hoki es, gegar otak dari kontak dengan bahu lebih umum terjadi pada laki-laki, sedangkan gegar otak dari kontak dengan papan (pemukul) atau es lebih umum terjadi pada wanita."
Perbedaan-perbedaan ini mungkin terjadi karena perbedaan dalam gaya dan kecepatan bermain, aturan, atau anatomi dan biomekanika antara kedua jenis kelamin.
Tidak ada keraguan bahwa olahraga sepakbola selalu berhubungan dengan kontak fisik. Namun di atas segalanya, keselamatan adalah nomor satu.
Sumber Jurnal:
- J. Scott Delaney, Ammar Al-Kashmiri, José A. Correa. Mechanisms of Injury for Concussions in University Football, Ice Hockey, and Soccer. Clinical Journal of Sport Medicine, 2014; 24 (3): 233 DOI: 10.1097/JSM.0000000000000017
- J. Scott Delaney, Charles Lamfookon, Gordon A. Bloom, Ammar Al-Kashmiri, José A. Correa. Why University Athletes Choose Not to Reveal Their Concussion Symptoms During a Practice or Game. Clinical Journal of Sport Medicine, 2014; 1 DOI: 10.1097/JSM.0000000000000112
Baca juga:
Komentar