Lolosnya Atletico Madrid ke final Champions League tahun ini membuat banyak orang gusar. Gara-garanya adalah mereka mempersoalkan gaya bermain Atletico yang terlalu negatif dan tak menarik. Memarkir bis dianggap sesuatu yang haram dan tak boleh dihalalkan. Entah siapa yang membuat peraturan ini. Walau jelas-jelas pemenang pertandingan sepakbola ditentukan oleh mereka yang membuat gol lebih banyak (dan bukan mereka yang bermain lebih cantik), tampaknya masih banyak Taliban-Taliban sepakbola yang ngotot dengan pemahaman ekstrem mereka bahwa sepakbola adalah ajang adu estetika.
Berhubung pusat perdebatan adalah Atletico Madrid, mari kita tengok perjalanan Atletico Madrid dari pertandingan ke pertandingan musim ini di mana sekarang mereka berada di peringkat kedua dengan poin yang sama dengan Barcelona dan masuk ke final Champions League.
Dari tabel di bawah bisa dilihat bahwa Diego Simeone tak selalu menginstruksikan Atletico Madrid untuk selalu bermain bertahan. Bila penguasaan bola dijadikan ukuran untuk melihat seberapa giat sebuah tim dalam berusaha melancarkan serangan (alih-alih hanya duduk di belakang dan bertahan).
Ketika berhadapan dengan lawan yang diyakini memiliki kualitas di bawah timnya, Simeone tak segan menyuruh para pemainnya untuk memegang bola lebih lama dan membombardir gawang lawan. Tengok saja catatan ketika Atletico berhadapan dengan tim seperti Las Palmas atau Eibar. Simeone sadar bahwa lawan gentar terhadap Atletico dan pilihan terbaik mereka Los Rojiblancos adalah menyerang semaksimal mungkin.
Namun pendekatan Simeone berbeda ketika berhadapan dengan tim yang dianggap setara kemampuannya atau berada di atas timnya. Ketika berhadapan dengan Sevilla di pekan kedua liga misalnya, Atletico hanya menguasai 37 % bola, namun yang impresif mereka bisa mencetak 3 gol dan total jumlah tendangan yang mengesankan.
Taktik Simeone untuk bermain bertahan ketika bertemu tim yang lebih superior tak selalu sukses. Mereka kalah dua kali dari Barcelona musim ini di La Liga dengan penguasaan bola masing-masing 31% dan 29% di setiap pertandingan, meski di pertandingan kedua ada faktor mereka bermain dengan sembilan orang sejak menit ke-61.
Hasil lebih baik dengan pendekatan yang sama mereka tampilkan ketika bertemu dengan rival sekota, Real Madrid, yang belum pernah mengalahkan mereka di La Liga sejak 2013. Atletico hanya memegang 46%penguasaan bola ketika bermain seri di Vicente Calderon menghadapi Real Madrid meski mencatatkan jumlah tendangan yang lebih banyak.
Di partai balasan di Santiago Bernabeu, Atletico menang 1-0 meski hanya menguasai 31% penguasaan bola. Yang menarik, jumlah tendangan ke gawang Atletico lebih banyak dari Real Madrid pada partai itu meski mereka bermain lebih defensif.
Jika mau dirunut lagi, di awal musim Atletico kalah dua kali berturut-turut dari Villareal di La Liga dan Benfica di Champions League dalam pertandingan di mana mereka lebih dominan. Pada partai kandang melawan Benfica, bahkan mereka mencatatkan 58% penguasaan bola dan menembak 22 kali dengan tujuh mengarah ke gawang. Jauh lebih banyak dari lawannya asal Portugal itu. Nyatanya mereka kalah.
Setelah kekalahan beruntun tersebut, sepertinya Simeone mulai menimbang masak-masak kapan harus bermain dominan dan kapan memilih untuk bersandar pada serangan balik. Tergantung lawan.
Setelah dikalahkan Villareal pada September dalam partai di mana mereka lebih dominan, Atletico baru kalah lagi dari Malaga pada Desember dalam pertandingan di mana mereka hanya menguasai 39% penguasaan bola karena bermain dengan 10 orang sejak menit ke-52.
Yang menarik, Atletico kalah delapan kali musim ini (lihat teks yang diwarnai merah di bawah) di La Liga dan Champions League (dalam satu partai, bukan agregat) dan hanya dua di antaranya terjadi dalam partai di mana mereka lebih menguasai pertandingan: lawan Villareal dan Benfica di awal musim.
Sisanya setiap kali Atletico kalah, selalu terjadi dalam pertandingan di mana mereka lebih menunggu dan defensif sembari berharap melancarkan serangan balik. Bahkan Atletico kalah dari Sporting Gijon (peringkat ke-18) dan hanya menguasai 38% penguasaan bola ketika kalah 1-2. Ini berarti bahwa bermain bertahan dan menumpuk pemain bukanlah jaminan kemenangan. Ini hanya sekadar strategi dari pelatih yang mengkalkulasi kekuatan lawan.
Hal lain yang menarik dari rekam jejak pertandingan Atletico pada musim ini adalah setiap mereka meraih kemenangan meski kalah dalam hal penguasaan bola, hal tersebut hampir selalu terjadi karena dua faktor: karena mereka bermain tandang atau berhadapan dengan lawan yang dianggap setara atau lebih hebat (lihat yang berwarna biru).
Hanya dalam pertandingan melawan Rayo Vallecano saja (peringkat 1ketujuh sekarang) di mana mereka bermain di kandang dan menang meski kalah dalam penguasaan bola. Meski begitu tengoklah jumlah tendangan yang dilakukan kedua tim. Tak banyak jauh berbeda. Ini menunjukkan bahwa serangan balik yang efektif memang selalu menjadi rencana dari Simeone.
Sekarang mari tengok partai yang membuat banyak moralis sepakbola berang. Yang pertama ketika Atletico menyingkirkan Barcelona di perempatfinal Champions League.
Sebelum partai tersebut digelar, Atletico sudah kalah dua kali musim ini dari Barcelona dalam pertandingan di mana mereka kalah segalanya. Meski begitu ada satu poin menarik: ketika Atletico bertemu Barcelona musim ini di semua kompetisi, Atletico selalu mencetak gol pertama meski kalah penguasaan bola. Ini menunjukkan bahwa strategi Diego Simeone untuk membuat Barcelona frustrasi dan mengandalkan serangan balik terlalu berjalan sesuai rencana.
Hanya kemalangan (yang disokong gaya permainan keras mereka) kerap terjadi. Ketika unggul terlebih dahulu di Nou Camp dalam laga La Liga misalnya, Atletico bermain dengan sembilan orang sejak menit ke-61 dan akhirnya kalah.
Di stadion yang sama dalam perempatfinal Champions League, Atletico juga unggul terlebih dahulu melalui serangan balik Fernando Torres sebelum akhirnya pemain yang sama dikartumerah wasit.
Maka ketika tiba giliran Atletico untuk mendapatkan kemujuran ketika berhadapan di leg kedua di mana mereka kembali mencetak gol duluan dan mendapatkan penalti di penghujung pertandingan, mereka kali ini keluar sebagai pemenang.
Berhubung memang sudah menjadi prosedur standar Simeone untuk tampil defensif ketika berhadapan dengan tim yang lebih superior, maka tak mengherankan jika di leg pertama kontra Bayern Munich mereka bisa mencetak gol kemenangan meski hanya memegang 26% bola.
Pada leg kedua, angka tersebut hanya membaik secuil menjadi 27% dan mereka kembali bisa mencetak satu gol yang kemudian menjadi vital karena gol tandang.
“Coincidence is logical”, begitu kalimat termashyur dari mendiang Johan Cruyff yang diagung-agungkan semua orang. Maka mendapatkan gol berkat taktik defensif dan menumpuk pemain bertahan bukanlah keberuntungan semata. Itu adalah sesuatu yang logis dan masuk akal.
Apakah Diego Simeone berdosa karena meracik strategi terbaik bagi timnya, tak peduli betapa tak eloknya dipandang mata, untuk mendapatkan kemenangan? Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan pertanyaan lainnya: Apa ada fans Atletico Madrid (atau fans tim sepakbola mana pun) yang protes karena timnya bermain defensif meski menang? Apa ada fans tim sepakbola yang memilih timnya bermain cantik meski kalah?
Simeone sudah jadi legenda bagi Atletico sebagai pemain dan tak pelak lagi sebagai pelatih ia juga melegenda bagi publik Vicente Calderon. Ia membuat seluruh suporter Atletico Madrid yang tersebar di seluruh dunia bahagia karena kembali masuk final Champions League untuk kedua kalinya dalam 3 tahun.
Maka jika ada oknum-oknum (yang tak ada hubungannya dengan Atletico) yang terpaut belasan ribu kilometer dari Madrid dan mengeluhkan permainan Atletico karena mereka mengaku tak terhibur dengan apa yang mereka saksikan dengan sukarela di televisi, saya rasa wajar jika El Cholo Simeone mungkin akan berujar, “Emang elo siapa?”
Rekam Jejak Atletico Madrid musim 2015/2016
1-0 W vs Las Palmas: 62 %
0-3 W vs Sevilla 37 % | 17 shots (7 on goal)
1-2 L v Barcelona 31 %
0-2 W v Eibar 59 % | 14 shots ( 6 on goal)
2-0 W v Getafe 54 % | 12 shots (3 on goal)
1-0 L v Villareal 52 % | 9 shots (4 on goal)
1-2 L v Benfica 58 % | 22 shots (7 on goal) way more than Benfica
1-1 v Real Madrid 46 % | 18 shots (4 on goal) more than Real Madrid
0-2 W v Real Sociedad 42 %
2-1 W v Valencia 50 % | 16 shots (8 on target) < > Valencia 6 shots (1 on goal))
1-1 v Deportivo La Coruna 57 %
1-0 W v Sporting Gijon 72 % | 15 shots (3 on goal)
0-1 W v Real Betis 57 %
1-0 W v Espanyol 52 % | 21 shots (6 on goal) < > Espanyol 5 shots (0 on goal)
0-2 W v Granada 56 %
1-2 W v Benfica 43 % | 8 shots (5 on goal)
2-1 W v Athletic Bilbao 47 %
1-0 L v Malaga 39 % | Red-carded in 52th minute
0-2 W v Rayo Vallecano 42 %
1-0 W v Levante 56 % | 16 shots (2 on goal)
0-2 W v Celta Vigo 44 % | 10 shots (6 on goal)
0-3 W v Las Palmas 59 % | 11 shots (5 on goal) < > Las Palmas 11 shots (3 on goal)
0-0 v Sevilla 61 % | 20 shots (3 on goal) < > Sevilla red-carded in 61st minute
2-1 L v Barcelona 29 % | 7 shots (4 on goal) 9 men after 61st min | Barcelona 10 shots (4 on goal)
3-1 W v Eibar 53 %
0-1 W v Getafe 44 % | 6 shots (3 on goal) | Getafe 11 shots (0 on goal)
0-0 v Villareal 60 % | 13 shots (4 on goal)
0-0 v PSV 57 %
0-1 W v Real Madrid 31% | 9 shots (5 on goal) | Real Madrid 15 shots (3 on goal)
3-0 W v Real Sociedad 53 %
1-3 W v Valencia 55 %
3-0 W v Deportivo La Coruna 52 %
0-0 v PSV 59 % | 26 shots (7 on goal) | Won on Penalty Shoot-out
2-1 L v Sporting Gijon 38 % | 4 shots (1 on goal) | Sporting 12 shots (3 on goal)
5-1 W v Real Betis 50 %
2-1 L v Barcelona (UCL) 26 % | red-carded after 42nd min
1-3 W v Espanyol 47 %
2-0 W v Barcelona (UCL) 23 %
3-0 W v Granada 56 %
0-1 W v Athletic Bilbao 32 %
1-0 W v Malaga 46 % | 14 shots (4 on goal) | Malaga 7 shots (4 on goal)
1-0 W v Bayern Munich 26 % | 11 shots (5 on goal) | Bayern 20 shots (7 on goal)
1-0 W v Rayo Vallecano 38 % | 12 shots (6 on goal) | Rayo 13 shots (2 on goal)
2-1 L v Bayern Munich 27 % | 7 shots (4 on goal)) | Bayern 33 shots (11 on goal)
Komentar