Giorgio Chiellini punya pendapat. Dia berkata, “Guardiolismo telah merusak satu generasi pemain bertahan. Sekarang semua pemain berpikir untuk menekan, memulai serangan; tidak ada pemain bertahan Italia yang mengintimidasi lawan dan tradisi kami perlahan mati". Chiellini benar mengenai beberapa hal; Chiellini juga salah dalam beberapa hal.
Dalam taktik yang diterapkan Josep Guardiola, semua pemain harus bisa menekan dan memulai serangan – dan memang harus terus berpikir untuk menekan dan memulai serangan, karena taktik Guardiola adalah taktik proaktif.
Para pemain dalam kesebelasan yang memainkan pendekatan proaktif tidak menunggu ketika lawan menguasai bola. Tidak pula mereka menghadapi serangan lawan dengan cara meredamnya. Menunggu dan meredam adalah sifat pendekatan reaktif.
Menganggap pendekatan proaktif sebagai taktik menyerang dan pendekatan reaktif sebagai taktik bertahan adalah keliru. Setiap kesebelasan, seberapa proaktif pun, tetap bertahan. Sama halnya dengan setiap kesebelasan, seberapa reaktif pun, tetap menyerang.
Memangnya kesebelasan nasional Italia – bangsa paling reaktif dalam sepakbola – bisa mencetak gol dengan bertahan saja? Mereka kan menyerang. Bagaimana Jose Mourinho bisa membawa Inter Milan meraih trigelar bersejarah jika bukan dengan mencetak gol, seberapa banyak pun waktu yang mereka habiskan di sekitar kotak penalti sendiri?
Sebaliknya, Borussia Dortmund pada masa kepelatihan Jurgen Klopp, dan Liverpool sekarang, adalah kesebelasan dengan taktik bertahan yang pendekatannya proaktif. Seberapa menarik dan tampak ofensif pun taktik yang diterapkan oleh Klopp, kesebelasannya adalah kesebelasan yang berorientasi bertahan. Sementara itu Manchester City sekarang, atau kesebelasan nasional Spanyol ketika mendominasi dunia dengan tiki-taka, adalah kesebelasan proaktif yang berorientasi menyerang.
Pendekatan proaktif membuat lawan bisa kehilangan bola di mana saja, berbeda dengan pendekatan reaktif yang membuat lawan cenderung menemui jalan buntu di sepertiga akhir.
Ketika berhadapan dengan kesebelasan yang menerapkan pendekatan proaktif, lawan bisa kehilangan bola di mana saja sehingga para pemain harus mampu memulai serangan – entah dengan umpan vertikal seperti dalam kesebelasan Klopp, maupun secara perlahan dan penuh perhitungan seperti dalam kesebelasan Guardiola.
Pembagian tugas spesifik tidak begitu terlihat dalam kesebelasan proaktif. Bukan sama sekali tidak ada, namun tidak begitu kentara. Ini berbeda dengan kesebelasan reaktif, di mana para penyerang cenderung tidak aktif terlibat dalam pertahanan – jika penyerang ikut bertahan, siapa yang akan dituju dalam serangan balik? Jika pengatur siasat ikut bertahan, siapa yang akan memulai dan mengatur serangan balik?
Chiellini salah ketika menuding revolusi sepakbola Guardiola sebagai penyebab perubahan pola pikir dan pendekatan permainan di kalangan para pemain, termasuk pemain bertahan. Kebanyakan kesebelasan Bundesliga adalah kesebelasan proaktif, dan tidak semuanya menerapkan pendekatan yang demikian karena pengaruh Guardiola.
Yang merusak satu generasi pemain bertahan, yang membuat tradisi Italia perlahan mati, bukan Guardiolismo melainkan pendekatan proaktif. Yang membuat kebiasaan mengintimidasi lawan perlahan ditinggalkan pun bukan Guardiolismo, melainkan pendekatan proaktif. Namun di sini pun Chiellini tidak sepenuhnya benar.
Tidak ada generasi pemain bertahan yang rusak; yang ada adalah generasi yang menyesuaikan diri. Para pemain bertahan dalam kesebelasan proaktif memang melakukan pekerjaan dengan cara yang berbeda dari para pemain belakang kesebelasan reaktif. Situasi pertandingan mengharuskan demikian.
Seperti otot yang menyusut di bagian tubuh yang tidak aktif, kecakapan bertahan tradisional mau tidak mau akan hilang dengan sendirinya. Untuk apa kemampuan mengintimidasi lawan jika waktu lebih banyak dihabiskan untuk menutup ruang, bukan mengawal lawan dalam jarak intim? Juga, apa guna pemain belakang yang hanya bisa merebut bola (walau kemampuan merebut bola tetap merupakan kecakapan utama setiap pemain bertahan, termasuk gelandang bertahan) dalam kesebelasan yang menuntut setiap pemain untuk bisa memecahkan masalah dengan bola dalam penguasaan?
Sebaliknya, apa guna bek tengah pembagi bola (ball-playing defender) yang cakap dalam mengumpan dan menutup ruang jika, ketika bermain dalam kesebelasan reaktif dan dihadapkan kepada lawan dalam situasi satu lawan satu malah tidak memanfaatkan kesempatan untuk menciptakan keunggulan dengan mengganggu konsentrasi lawannya?
Tidak ada satu taktik super yang bisa membawa satu kesebelasan menang mudah atas semua lawan. Tidak ada pendekatan yang paling benar dalam sepakbola, dan itu yang membuatnya menyenangkan. Maka ketimbang mengeluhkan superioritas pendekatan proaktif dan menuduhnya (keliru pula) sebagai penyebab rusaknya generasi, bukankah Chiellini akan lebih berguna jika memusingkan cara menjadi sangat efektif sebagai satu bagian dari kesebelasan reaktif sehingga kesebelasan reaktif seperti Italia tak perlu kalah peringkat dari kesebelasan proaktif seperti Spanyol dalam kualifikasi Piala Dunia dan karenanya terancam gagal ke Rusia?
Komentar