Taktik sepakbola mengalami perubahan dari masa ke masa. Salah satu yang mendasari perubahan tersebut adalah orientasi dan cara pandang setiap tim dan pelatih. Kendati demikian, semua taktik memiliki tujuan yang sama, yaitu mencetak gol dan memenangkan pertandingan.
Agar bisa memenangkan pertandingan, setiap tim memiliki pilihan untuk cenderung lebih aktif menyerang atau reaktif dengan mengutamakan pertahanan. Tim yang aktif menyerang mengincar untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya. Mereka menurunkan risiko kebobolan dengan mempersempit kemungkinan lawan untuk mencetak gol. Tim yang reaktif dan bertahan mengincar untuk tidak kebobolan. Sambil mencari celah untuk dapat mencuri gol. Berbagai taktik berkembang dengan dasar dua kecenderungan tersebut kendati tujuan nya tetap memenangkan pertandingan.
Dari sekian banyak taktik yang berkembang, salah satu yang populer adalah taktik dengan formasi dasar 4-4-2. Pada tahun 1990-an sampai akhir 2000-an adalah masa ketika skema 4-4-2 berjaya. Di Liga Inggris, skema ini lebih populer. Sir Alex Ferguson adalah salah satu pelatih yang sukses meraih banyak gelar dengan menggunakan skema ini.
Satu hal yang unik dari skema tersebut adalah peran gelandang yang sangat berat. Sebab dalam skema ini hanya terdiri dari dua gelandang. Mereka selalu mendapatkan porsi besar dalam segala situasi, baik ketika bertahan, menyerang, maupun transisi. Oleh karena itu, setiap tim yang sukses dengan 4-4-2 selalu memiliki box-to-box midfielder yang cakap.
Kekuatan dan Kelemahan 4-4-2
Prinsip dasar 4-4-2 adalah menyerang (bukan penguasaan bola) merupakan cara paling efektif untuk memenangkan pertandingan. Skema ini terdiri dari tiga lini berbeda. Lini belakang terdiri dari empat bek yang terdiri dari dua bek tengah dan dua bek sayap. Di depan mereka, lini tengah juga terdiri dari empat pemain yang terdiri dari satu pemain sayap di setiap sisi dan dua gelandang di tengah. Lini ketiga terdiri dari dua penyerang yang memiliki kemampuan menebar ancaman dan memiliki insting mencetak gol sangat tinggi.
Pola 4-4-2 ramah digunakan oleh tim yang memiliki kualitas individu tidak terlalu spesial. Berbeda dengan 4-3-3 atau 4-2-3-1 yang mengandalkan penguasaan bola dituntut memiliki 11 pemain dengan teknik penguasaan bola di atas rata-rata. Hal ini menjadi faktor mengapa 4-4-2 mudah menjamur. Tim yang kesulitan berkompetisi di papan atas berusaha untuk tetap kompetitif dengan menerapkan 4-4-2. Ralph Husenhuttl bersama Southampton dan Sean Dyche bersama Burnley merupakan salah dua contoh yang cukup lama menggunakan 4-4-2.
Kekuatan utama 4-4-2 adalah sepakbola transisional tapi terencana. Oleh karena itu taktik dengan formasi dasar 4-4-2 sangat cocok untuk tim yang mengandalkan serangan balik. Ketika tim bermain dengan pola 4-4-2, mereka akan memiliki struktur pertahanan yang solid dan melebar. Struktur tersebut memungkin mereka untuk mempercepat transisi dan berbondong-bondong bergerak ke depan ketika mendapatkan momen transisi.
Tapi, satu kelemahan terbesar dari skema tersebut adalah tuntutan fisik yang terlalu tinggi. Dengan banyak mengandalkan transisi, setiap pemain harus tampil konsisten bertahan selama 90 menit, eksplosif ketika transisi, dan klinis ketika berhasil mencapai pertahanan lawan. Tiga tugas tersebut berlaku untuk semua pemain. Hal ini yang membuat pola pikir dan sudut pandang tim dan pelatih mulai bergeser ke sepak bola yang lebih seimbang antara fisik dan intelejensi.
Pembagian Peran Midfielder dalam Skema 4-4-2
Seperti yang dibahas di bagian sebelumnya, bahwa skema 4-4-2 berorientasi menyerang tapi tidak terlalu mendewakan penguasaan bola. Dua penyerang diharapkan memiliki kemampuan memenangkan duel, menahan penguasaan bola, atau bergerak lebih dinamin untuk menciptakan ruang untuk pemain sayap. Sementara pemain sayap bertugas menyisir sisi lapangan atau bertukar posisi dengan salah satu penyerang pada momen-momen tertentu. Efektivitas peran penyerang dan sayap tersebut bergantung pada kepiawaian dua gelandang dalam mengatur permainan.
Oleh karena itu. agar dapat menjalankan skema 4-4-2 dengan baik, syarat utamanya adalah memiliki dua gelandang yang all rounded. Sehingga tidak heran jika box-to-box midfielder menjadi ruh utama dalam skema ini. Maka tidak heran jika ia disebut sebagai gelandang paling lengkap dan kombinasi proporsional dari gelandang nomor 6,8, dan 10.
Ketika bertahan, seorang box-to-box midfielder sedikit berkurang berkat kehadiran seorang gelandang bertahan. Tapi bukan berarti box-to-box midfielder lepas dari tanggung jawab bertahan. Bedanya, gelandang bertahan fokus mengawal pertahanan, mereka tidak jauh dari barisan pertahanan dan jarang terlibat unit yang menerapkan high press. Sementara box-to-box midfielder dituntut memiliki insting bertahan, merebut bola, dan mengantisipasi serangan balik. Mereka juga hampir selalu dilibatkan ketika pelatih menginstruksikan menerapkan strategi high press.
Agar seimbang, pembagian peran antara box-to-box midfielder dan gelandang bertahan menjadi penentu efektivitas taktik ini. Sebagian besar tim yang menerapkan 4-4-2 memasangkan satu gelandang bertahan dan satu box-to-box midfielder. Meskipun ada beberapa tim yang memasangkan dua box-to-box midfielder sekaligus.
Manchester United musim 1998/1999 memiliki Paul Scholes dan Roy Keane yang padu dan seimbang. Paul Scholes berperan sebagai box-to-box midfielder sementara Roy Keane sebagai gelandang bertahan. Roy Keane yang memiliki keunggulan fisik sangat diandalkan untuk memutus serangan lawan. Ia juga berani berduel sehingga secara tidak langsung mengintimidasi lawan bahkan sebelum bertanding. Kehadiran Keane membuat Scholes lebih nyaman. Ia tidak terlalu aktif ketika bertahan tapi Scholes jadi kreator utama serangan United pada masa itu. Scholes memiliki pemahaman taktik, kejelian membaca ruang, dan akurasi umpan tinggi yang sangat cocok untuk memerankan box-to-box midfielder.
Contoh lainnya adalah The Invincibles musim 2003/2004. Arsene Wenger menerapkan skema 4-4-2 memasangkan Patrick Vieira dan Gilberto Silva sebagai gelandang dengan pembagian tugas yang setara. Dua pemain ini memiliki kemampuan bertahan dan menyerang sama baiknya. Mereka tidak memiliki kreativitas yang istimewa tapi tugas tersebut disebar merata kepada empat pemain menyerang lainnya. Oleh karena itu, pada musim tersebut Arsenal tidak terkalahkan meskipun tidak selalu menang.
Keistimewaan Box-to-box Midfielder dalam format 4-4-2
Ketenaran box-to-box midfielder teras berlanjut hingga pertengahan tahun 2000-an. Beberapa nama yang sudah tersohor sebelum abad ke-21 masih menjadi topik perbincangan. Di sisi lain, muncul banyak nama baru yang mencuat seperti Frank Lampard, Steven Gerrard, Bastian Shweinsteiger, dan masih banyak lagi. Sebagian besar box-to-box midfielder yang dinilai istimewa bermain dalam format 4-4-2.
Privilege tersebut layak mereka dapatkan karena secara natural mereka dituntut sebagai pemain yang paling menonjol. Di antara semua pemain yang menjankan peran tertentu, hanya box-to-box midfielder yang dituntut memiliki atribut yang merata (bahkan mungkin tidak istimewa dalam satu aspek tertentu). Keistimewaan mereka berasal dari kehebatan nya menyeimbangkan antara menyerang dan bertahan.
Pesaing ketenaran box-to-box midfielder pada format 4-4-2 adalah seorang poacher dan pemain sayap yang super cepat. Seorang poacher semakin berkilau ketika mereka mampu mencetak banyak gol. Bisa mengejutkan penonton dengan mencetak gol dari situasi yang tak terduga atau sudut yang sempit. Sementara kilau pemain sayap hanya berlaku untuk mereka yang memiliki kecepatan tinggi. Jika hanya cepat, pamor mereka kemungkinan besar tertutup oleh pemain lain.
Kendati demikian, andai dua peran tersebut lebih bersinar dari box-to-box midfielder, tidak bisa menampikan fakta bahwa box-to-box midfielder adalah pemain paling penting dalam skema 4-4-2.
Potensi Kebangkitan 4-4-2
Skema 4?4?2 pernah mengalami kematian karena sistem ini sudah mainstream pada masanya. Lawan sudah hafal dan tahu bagaimana cara mengantisipasinya. Tapi bukan berarti potensi kebangkitan 4-4-2 benar-benar hilang.
Salah satu contohnya adalah Liga Inggris musim 2015/2016 yang hampir membangkitkan 4-4-2. Kala itu Caludio Ranieri bersama Leicester City bermain dengan skema 4-4-2. Ia memasangkan N’golo Kante dengan Danny Drinkwater. Tim ini berhasil mengalahkan dominasi 4-2-3-1 dan 4-3-3 yang pada masa itu menjadi “kiblat” sepakbola. Mereka tidak selalu mendominasi penguasaan bola. Tapi Kante dan Drinkwater sangat efisien dalam memutus serangan lawan. Kante menciptakan 87 intersep dan 63 tekel pada musim tersebut.
Penerapan 4-4-2 juga sebetulnya masih diterapkan pada shape bertahan meskipun tim tersebut bermain dengan skema 4-2-3-1 atau 4-3-3. Contoh paling mudah adalah Arsenal musim ini. Ketika bertahan, mereka membentuk strukti 4-4-2 untuk melancarkan pressing. Hal ini membuktikan bahwa masih ada konsep dari 4-4-2 yang relevan dan bisa menjadi modal kebangkitan 4-4-2 seutuhnya.
Komentar