Kilau box-to-box midfielder semakin meredup seiring pergeseran mindset sepakbola menjadi lebih posisional dan konstruktif. Hampir semua tim berusaha memenangkan penguasaan bola. Mereka membangun serangan dari lini belakang, dengan demikian pemain dituntut memiliki kemampuan dalam menjaga penguasaan bola. Apapun posisinya. Bahkan seorang kiper, kini dinilai dari kemampuan nya mendistribusi bola dari belakang.
Meski meredup, eksistensi mereka tidak hilang. Box-to-box midfielder masih menjadi salah satu peran penting. Setiap tim berprestasi di level domestik dan internasional memiliki seorang box-to-box midfielder yang cakap.
Box-to-box midfielder justru menjadi gelandang paling adaptif. Jika badai cedera menyerang tim, dan berdampak pada kedalaman, tidak jarang box-to-box midfielder yang ditugaskan mengisi kekosongan tersebut. Salah satu contohnya adalah Granit Xhaka di Arsenal ketika mereka dilatih Unai Emery. Xhaka pernah ditempatkan sebagai bek kiri karena kedua bek kiri Arsenal cedera bersamaan. Maka dari itu, tidak sembarang pemain yang mau dan mampu memainkan peran box-to-box midfielder. Apalagi di era sepakbola masa kini.
Ironisnya, peran penting box-to-box midfielder sering terpinggirkan oleh pemain-pemain yang rajin tercatat di papan skor. Sulit bagi seorang box-to-box midfielder untuk rutin mencetak gol atau asis karena masih banyak pemain yang porsinya lebih besar dalam urusan tersebut. Maka dari itu, gelar pahlawan tanpa tanda jasa rasanya sangat cocok disematkan kepada mereka.
Serba Bisa tapi “Nanggung”
Box-to-box midfielder yang sebelumnya mendapat kesan “si serba bisa” berubah menjadi “gelandang nanggung”. Perbedaan nya tipis tapi konotasinya berubah. Hal ini disebabkan karena secara natural, box-to-box midfielder memang tidak memiliki spesialisasi tertentu yang menonjol.
Ketika bertahan, penonton tentu akan menyoroti kiper, bek, dan gelandang bertahan. Mereka yang mendapatkan tugas utama untuk mencegah lawan mencetak gol. Lebih mudah menyaksikan dan menilai mereka dalam memenangkan duel, sapuan di garis gawang, atau penyelamatan spektakuler dari sang kiper. Sebaliknya, momen yang bisa dimanfaatkan box-to-box midfielder untuk unjuk gigi adalah ketika ia berhasil merebut dengan tekel atau intersep, lalu memulai serangan balik. Itu pun harus berbuah gol. Jika tidak, semua nya akan terlihat seperti hal biasa.
Juga ketika menyerang, penonton lebih fokus kepada seorang penyerang, pemain sayap, dan gelandang serang. Kita lebih mudah terpukau ketika melihat Gareth Bale menyisir sisi kiri dengan cepat daripada aksi N’Golo Kante merebut bola di depan kotak penalti lalu menggiring bola ke depan sebelum diserahkan kepada Eden Hazard.
Satu-satunya pentas terbesar bagi box-to-box midfielder adalah momen transisi. Baik transisi dari bertahan ke menyerang maupun sebaliknya. Jika berkaca pada momen sebelumnya, nama Kante akan lebih harus jika setelah merebut bola, menggiring bola, dan menyelesaikan nya sendirian menjadi gol. Banyak sekali yang harus ia lakukan. Melihat situasi tersebut, syarat seorang box-to-box midfielder mendapat gelar pahlawan sudah lebih dari cukup.
Setia
Salah satu fakta unik dari para box-to-box midfielder adalah kesetiaanya. Mereka cenderung bermain untuk satu klub dalam jangka waktu yang cukup lama. Sejak awal kemunculan, masa keemasan, hingga sekarang, tidak banyak box-to-box midfielder (yang hebat) cepat berganti klub.
Contoh pertama datang dari salah satu box-to-box midfielder terbaik sepanjang masa, Paul Scholes. Selama berkarir, Scholes hanya membela satu klub yaitu Manchester United. Berkat kehadiran nya, Man. United selalu berada di papan atas liga domestik dengan sebelas kali menjuarai Liga Inggris dan dua trofi Liga Champions.
Setelah Scholes, ada Frank Lampard yang berseragam Chelsea lebih dari 10 tahun. Lalu kembali ke London Biru sebagai pelatih. Sebagian karir Lampard bersaing dengan Scholes tapi popularitasnya tetap berkilau. Peran Lampard di Chelsea sangat penting dan berkontribusi besar atas keberhasilan mereka meraih dua trofi Liga Inggris, satu gelar Liga Champions dan Europa League. Selain Lampard, saingan sekaligus rekannya, Steven Gerrard menjadi box-to-box midfielder Liverpool selama lebih dari 15 tahun.
Sekarang, Luka Modric adalah contoh terbaik. Ia menjadi pemain andalan Tottenham Hotspur selama empat musim sebelum hijrah ke Madrid dari tahun 2013 hingga sekarang. Selama membela Spurs, tidak ada trofi mayor yang ia dapatkan. Tapi, penampilan impresifnya bersama The Lillywhites menarik perhatian Real Madrid yang menjadi rumahnya hingga saat ini. Bersama Real Madrid, ia meraih tiga gelar La Liga dan lima trofi Liga Champions.
Kesetiaan yang mereka tunjukan sangat cukup untuk membuktikan bahwa mereka tidak hanya pahlawan dalam lapangan, tapi juga pahlawan di luar lapangan.
Luka Modric
Jika anda bertanya siapa box-to-box midfielder terbaik saat ini, kemungkinan besar akan banyak yang menjawab Luka Modric. Selain lima trofi Liga Champions, Modric juga membantu Real Madrid meraih tiga gelar juara Liga Spanyol, satu trofi Copa del Rey, empat Piala Super Spanyol, tiga Piala Super UEFA, dan empat Piala Dunia Antarklub. Maka tidak heran jika sampai saat ini, Modric menjadi salah satu pemain kunci Real Madrid.
Di usianya yang menginjak angka 36, Modric sulit tergantikan di Real Madrid. Ia dan Toni Kroos menjadi dua pemain yang mengatur permain. Ketika Casemiro hengkang ke Inggris, banyak yang berspekulasi bahwa trio Modric, Kross, Casemiro telah berakhir. Tapi yang terjadi saat ini, Real Madrid tetap mengandalkan Modric dan Kross dan mengganti Casemiro dengan Camavinga atau Aurelien Tchouameni.
Puncaknya adalah Piala Dunia 2018 ketika membawa tim nasional Kroasia ke babak final. Pada turnamen tersebut Modric menjabat sebagai kapten. Dari seluruh pemain yang terdaftar, Modric tercatat sebagai pemain dengan menit bermain terbanyak yaitu 694 menit. juga mencetak dua gol serta satu assist dan memiliki persentase penguasaan bola sebanyak 87 persen. Dalam tujuh laga yang ia mainkan, Modric tiga kali meraih predikat man of the match. Tidak heran jika Modric dipilih sebagai pemain terbaik Piala Dunia 2018.
Ia juga dianugerahi gelar Ballon D’Or pada tahun 2018. Gelar ini menjadi “tanda jasa” yang sudah lama tidak hinggap kepada seorang box-to-box midfielder. Terakhir kali seorang box-to-box midfielder meraih gelar ini adalah tahun 1998 yang diraih oleh Zinedine Zidane. Hal ini membuktikan bahwa butuh waktu 20 tahun untuk memberikan tanda jasa kepada seorang box-to-box midfielder.
Komentar