Baku Tembak di Lapangan Sidolig Jelang Akhir Revolusi

Klasik

by redaksi

Baku Tembak di Lapangan Sidolig Jelang Akhir Revolusi

Voetbal is oorlog. Sepakbola adalah peperangan, kata Rinus Michels yang merupakan penubuh sistem sepakbola supercanggih : total voetbal.

Tak jelas apa yang ia ucapkan. Ia pun mengakui dirinya mengutip kata-kata itu di luar konteks dari sepakbola dan tak bermaksud menyamakan perang dengan sepakbola. Namun toh dalam kenyataannya tak sedikit peperangan terjadi karena disulut sepakbola. Rivalitas panjang di antara dua tim yang berlaga jadi bara yang siap diledakkan. Emosi, reputasi, dan harkat dilibatkan.

Dalam beberapa kasus, sepakbola biasanya dijadikan titik klimaks untuk meluapkan kekesalan atas perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara dua pihak, baik itu soal kebangsaan, agama, strata sosial, ekonomi, ras dan lainnya.

Tak perlu kita jauh-jauh ke Amerika Selatan untuk mempelajari arti "voetbal is oorlog" yang membuat Honduras dan El Salvador -- misalnya -- berperang dan menewaskan lebih dari 2 ribu jiwa warga sipil. Cukup kita menengok saja sesuatu hal yang menggemparkan masyarakat Kota Bandung pada tanggal 17 Desember 1950. ketika itu, gara-gara soal sepakbola, lima orang tewas dan puluhan lainnya terluka akibat baku tembak antara APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) -- cikal bakal TNI -- dan KL (Koninklijke Leger) Kerajaan Belanda.

Sidolig Veld, Bandung 18 Desember 1950

Dalam rangka menyambut datangnya hari Natal dan syukuran atas dipulangkannya kembali prajurit Angkatan Darat Kerajaan Belanda ke negeri asalnya, pihak Rayons Sportofficier van de K.L (Divisi Olahraga A.D Belanda) bersama 50 tentara terakhir yang masih tersisa di Kota Bandung mengadakan turnamen sepakbola di Lapangan Sidolig. Lokasi turnamen sengaja di pilih di Sidolig karena dekat dengan perkemahan mereka. Turnamen itu diikuti oleh klub Jong Ambon, Sidolig, Chung Hua, UNI dan dua tim internal dari A.D Belanda itu sendiri.


Hari Minggu tepat pukul 16.00, pertandingan antara Sidoling dan Jong Ambon dimulai. Turnamen ini ternyata menyedot animo masyarakat Kota Bandung. Sebuah insiden terjadi di pintu masuk lapangan Sidolig. Lima menit setelah kickoff, sekelompok tentara Indonesia dari APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia), ingin masuk menonton pertandingan tanpa membayar karcis. Jelas saja, permintaan ini ditolak oleh beberapa tentara Belanda yang kebetulan ditugasi menjadi penagih karcis, yang di antaranya adalah Laisina.

Salah seorang tentara APRI yang tetap keukeuh menerobos memaksa masuk, mendapatkan bogeman mentah dari tentara belanda, membuatnya tergelapar K.O pingsan tak berdaya. Tak ada yang tahu kata-kata apa yang dikeluarkan dalam diskusi dua kubu prajurit untuk menjernihkan masalah itu, tiba-tiba saja mereka terlibat perkelahian, dan saling baku hantam satu sama lain.

Karena merasa terdesak, sekelompok prajurit APRI itu kemudian berbalik badan meninggalkan lapangan Sidolig. Prajurit Belanda pun terkekeh-kekeh menertawakan larinya prajurit Indonesia ini. Namun siapa sangka, rasa dendam dan kemarahan justru memuncak. Sekelompok APRI ini mundur bukan memang benar karena takut, tapi mereka berlari menuju pos APRI terdekat untuk mengambil senjata api.

Sekitar pukul 16.30, sekelompok APRI ini kembali ke Lapangan Sidolig. Dengan kemarahan yang begitu tinggi, tanpa ragu-ragu, mereka menembak secara membabi buta ke arah lapangan, di mana di situ terdapat prajurit Belanda yang memang tak bersenjata. Tiga orang prajurit Belanda dan satu pemain Jong Ambon tewas. Puluhan orang lainnya tergeletak karena tertembak.

"Saya berada di sana dan tentara Indonesia menembaki kami secara membabi buta. Laisina dibantai oleh mereka padahal ia tak bersenjata," ucap Sersan F.J.J Berings, salah seorang saksi mata kepada penulis.

Ia menuturkan, beberapa serdadu Belanda yang kebetulan membawa senjata membalas tembakan prajurit APRI tersebut. Lapangan Sidolig pun bak seperti medan perang. Selama satu jam setengah, 16.30-18.00 baku tembak terjadi antara dua pasukan. Seorang anggota pasukan APRI Bahrum tertembak. Tak diketahui siapa yang membuat Bahrum tewas, apakah peluru dari serdadu Belanda atau rekannya sesama APRI.

Dua jam setelah kejadian, pasukan bantuan polisi militer dari A.D Belanda dan APRI berusaha mendamaikan kedua kubu, namun gagal. Barulah setelah dilakukan pengepungan yang cukup lama, sekelompok prajurit AURI yang memulai tembakan akhirnya menyerahkan diri. Pasca kejadian, Jalan Raya Pos yang melintas di depan Lapangan Sidolig ditutup untuk beberapa saat. Pasukan gabungan dari Belanda dan Indonesia terlihat hilir mudik berpatroli berkeliling Kota Bandung, berjaga-jaga agar baku tembak tak terjadi kembali di antara dua kubu.

Setelah KMB, Pasca Westerling

Insiden Sidolig tak bisa lepas dari kondisi politik Indonesia yang kala itu masih berkonfrontasi dengan Pemerintah Kerajaan Belanda pasca Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Meskipun Belanda sudah mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia, kenyataanya masih banyak tentara Belanda bercokol di Indonesia.

Terlebih saat itu Indonesia menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda. Sistem pemerintahan yang berlaku adalah Republik Indonesia Serikat (RIS), yang membawahi beberapa negara bagian -- salah satunya Republik Indonesia sendiri yang berkedudukan di Yogyakarta. RIS akhirnya bubar pada Agustus 1950 dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan di bawah panji Republik Indonesia.

Sebelum RIS bubar, serah terima kekuasaan sebenarnya sudah dimulai. Salah satu yang paling sensitif adalah perihal kepulangan pasukan Belanda, Koninlijke Leger (KL). Dalam serah terima tersebut, Belanda berjanji menarik total seluruh angkatan perangnya dari semua wilayah Indonesia. Tiga orang prajurit Belanda yang tewas adalah bagian dari sisa-sisa terakhir yang belum sempat dipulangkan.

Kejadian penembakan Sidolig tak lepas dari sentimen masyarakat, khususnya Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) terhadap keberadaan Belanda, yang memang tengah memuncak tahun itu. Pada 23 Januari 1950, kelompok milisi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan Depot Speciale Troepen (Pasukan Khusus) KNIL, masuk ke kota Bandung dan membunuh 94 orang berseragam TNI.

Pemberontakan ini dilatarbelakangi oleh penolakan terhadap serah terima kekuasaan yang dilakukan Kerajaan Belanda kepada pemerintah Indonesia. Kekecewaan warga Kota Bandung memuncak setelah Westerling berhasil kabur ke luar negeri berkat pejabat militer Belanda yang membantunya.

Pemakaman yang Emosional

Rona kemerahan senja di ufuk barat memancar di atas tiga tanah kuburan yang baru saja digali di pemakaman Pandu. Liang lahat itu untuk tiga prajurit K.L -- Angkatan Darat Kerajaan Belanda -- yang tewas bukan karena gugur di medan perang, namun ditembak dalam sebuah insiden di lapangan sepakbola Sidolig.

Beberapa ratus orang, baik warga sipil dan militer datang ke pemakaman Pandu untuk memberikan penghormatan terakhir kepada para korban, sampai-sampai Komisaris Kerajaan Belanda, Mr G. J. A. Veling, jauh-jauh datang dari Jakarta untuk menghadiri pemakaman tiga laki-laki yang bernama Letnan Van der Loos (27), Sersan De Bies (26) dan Prajurit kelas satu Laisina (26), yang merupakan keturunan dari Ambon.

Iring-iringan barisan tentara Belanda dengan tiga peti mati yang dibalut bendera Merah-Putih-Biru, disambut ratusan orang yang didominasi oleh orang Belanda itu dengan rasa iba dan duka cita.

Ratusan orang menatap tajam, ratapan dari wanita tua yang merupakan ibu dari Laisina yang menangis haru sembari berteriak-teriak tak bisa menahan kepergian anaknya. Sebelum ajal menjemput, Laisina meminta izin kepada dirinya untuk menonton pertandingan sepakbola, namun kemudian tak pernah kembali.

Lalu bunyi keras menggelegar di pemakaman Pandu yang keluar dari senjata regu tembak, mengiringi peti mati yang dikerek menggunakan tambang untuk dibenamkan dalam liang lahat, dengan ditutupi bendera Belanda di atasnya. Usai itu, patok telapak perak dan helm perak disimpan di atas tiga kuburan yang kini sudah rata menjadi tanah.

Setelah seorang pendeta berkhotbah singkat, beberapa pembicara bergiliran maju ke depan. Salah seorang komandan tentara Laisina mengatakan kejadian ini tak masuk akal. "Saat ini bertanya-tanya siapa yang harus disalahkan atas kematian tiga orang muda," kata sang kapten, "tetapi kami yakin bahwa para tersangka tak akan melarikan diri dan pasti mendapat hukuman yang setimpal, Oleh karena itu, janganlah kita balas dendam, kita harus hargai mereka (baca: APRI) yang sedang mengusut kasus ini."

Nederlandse Rayonscommandant, Luitenant Kolonel Van der Hurk Zal yang terakhir berbicara. Dengan tegap Der Hurk berdiri di antara karangan bunga yang memenuhi kuburan. Dia mengatakan sangat sulit menekan perasaan kebencian saat anak buahnya menjadi korban. Karena itu dia meminta untuk melakukan upaya terbaik, dengan penarikan total Angkatan Perang Kerajaan Belanda di Indonesia sesegera mungkin.

Sementara itu di tempat lain, dua jenazah korban lainnya yaitu pemain Jong Ambon D. Croque dan Bahrum prajurit APRI telah diambil oleh pihak keluarga di Rumah Sakit Ranctja Badak, sebelum akhirnya di kuburkan di kediaman masing-masing.

Beberapa hari kemudian, sebuah rilis yang dikeluarkan oleh tentara Indonesia melalui Komandan K.M.K (Komando Militer Kota) Letnan Kolonel Omon Abdurrachman menegaskan bahwa kedua belah pihak telah berusaha untuk berdamai. Seorang perwira Indonesia (komandan batalyon "L") yang memimpin penembakan dan pasukannya telah ditangkap, dipecat dari kesatuan dan diadili.


Tak hanya itu, pihak APRI berlapang dada, mengaku bersalah, dan meminta maaf atas penembakan yang dilakukan personelnya. Bahkan permintaan maaf ini di sampaikan langsung melalui pemasangan iklan di koran De Preangerbode edisi 23 Desember 1950, halaman 3.

Sementara itu, dari pihak A.D Belanda melalui Komisaris Kerajaan Belanda, Mr G. J. A. Veling, di Jakarta meminta ketegasan dari Presiden Soekarno untuk menyelesaikan masalah ini. Ia pun menegaskan, pihaknya tak akan memecat para tentara Belanda yang terlibat dalam baku tembak tersebut, karena ia beranggapan anak buahnya memang tidak bersalah.

(Akhir) Revolusi di Hari Minggu

"Is it possible," tanya filsuf Italia Umberto Eco, "to have a revolution on football Sunday?"

Pertanyaan itu dimungkinkan lahir dari sebuah kultur di mana rutinitas akhir pekan selalu dihiasi oleh pertandingan sepakbola. Dalam kultur macam itu, di mana jargon seperti "when saturday comes" bukanlah hal klise. Menggelar sebuah revolusi di akhir pekan seperti mustahil dilakukan. Bagaimana mau menggelar revolusi jika semua orang hanya memikirkan sepakbola yang akan digelar sore harinya?

Tapi sepakbola tetaplah sepakbola. Kerumunan massa yang berhimpun di stadion tetaplah menyimpan gelegak gairah yang bisa meledak secara tak terduga. Laga antara Honduras vs El-Salvador pada 1969 secara luar biasa menjadi pemicu yang meledakkan peperangan antara kedua negara yang menewaskan lebih dari 2 ribu korban jiwa.

Insiden Sidolig dan Insiden Senayan 1966 yang juga diwarnai penembakan [akan diuraikan dalam artikel tersendiri] juga terjadi di hari Minggu. Tentu saja itu bukan revolusi. Tapi, bisalah dikatakan bahwa dua insiden itu adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan revolusi fisik bangsa Indonesia yang dimulai sejak 17 Agustus 1945.

Suatu ujung dari revolusi di lapangan sepakbola.

===

* Tulisan: Aqwam Fiazmi Hanifan, akun twitter penulis: @aqfiazfan

Komentar