Ada sebuah anggapan bahwa populer bahwa menghabiskan waktu untuk permainan virtual adalah hal sia-sia. "Kamu kenapa main gim terus sih? Cari les piano, gitar, atau bela diri apa gitu. Jangan buang-buang waktu untuk hal gak berguna," kata seorang ibu ke anaknya. Ada juga sebuah persepsi yang menganggap menghabiskan waktu di depan layar bermain komputer atau konsol gim tidak baik untuk mereka yang masih dalam masa pertumbuhan karena mengurangi kemampuan sosial.
"Zaman gue dulu pulang sekolah main sepeda, layangan, atau bola di lapangan. Anak-anak zaman sekarang nongkrong juga matanya pada mainan handphone," ucap seorang generasi milenial melihat perubahan zaman. Padahal filsuf Yunani bernama Heraclitus pernah berkata, "Tidak ada yang konstan selain perubahan".
Perubahan zaman terjadi dalam urusan olahraga. Dulu, menghabiskan waktu di warnet, berteriak-teriak dengan rekan satu deretan sambil bermain Counter Strike disebut buang-buang waktu. Tapi di abad ke-21 hal seperti itu bisa menjadi sebuah karier. Gim online mulai dianggap sebagai olahraga, dan mereka yang menghasilkan uang dengan bermain hal tersebut sudah disebut atlet: Atlet esports.
Istilah `esports` sebenarnya sudah muncul sejak tahun 70-an saat Universitas Stanford mengadakan turnamen untuk permainan `Spacewar`. Akan tetapi, hal tersebut baru meledak pada 2006 ketika FUN Technologies membuat turnamen dunia dengan hadiah satu juta dollar Amerika Serikat.
Pada Asian Games 2018, turnamen esports mulai digelar sebagai percobaan untuk 2022. Pada 2022, turnamen tersebut akan menjadi cabang tersendiri di Tiongkok dan mempengaruhi klasemen akhir Asian Games. Olimpiade Paris 2024 juga membuka ruang untuk hal menjadikan e-sports sebagai di cabang pesta olahraga dunia.
Potensi besar dari esports ini kemudian dimanfaatkan oleh kesebelasan olahraga profesional lain. Bali United jadi kesebelasan sepakbola pertama di Indonesia yang membentuk tim esports. Pemilik Bali United, Peter Tanuari, mengaku keputusannya membentuk tim esports tak lepas dari perubahan zaman.
"Tren dunia berubah, saya rasa kami [Bali United] harus menjadi pionir dan masuk ke dunia esports," akunya saat diwawancarai TVRI.
Peter mengaku masih hati-hati dalam pengembangan tim esports. Itulah mengapa tim tersebut diberi nama Island of Gods tanpa embel-embel Bali United. "Soal nama itu lebih ke strategi marketing, karena bisa mempengaruhi reputasi Bali United. Sedangkan kami belum berpengalaman di bidang ini," akunya.
Kekhawatiran Peter Tanuari pernah terjadi pada raksasa sepakbola Perancis, Paris Saint-Germain (PSG). Ketika Neymar mendarat di Paris, PSG disebut harus mengeluarkan kocek sebesar 220 juta euro. Dana yang dikeluarkan PSG itu masih menjadi rekor pembelian termahal di dunia hingga musim 2018/19. Namun sebulan sebelum Neymar datang, mereka ternyata memangkas 250.000 euro dari divisi esports. Kontrak beberapa atletnya di olahraga elektronik itu juga tidak perpanjang oleh mereka.
Pihak PSG tidak mengonfirmasi keterkaitan hal ini dengan kedatangan Neymar, namun reputasi mereka ikut terbawa karenanya. Wajar jika akhirnya Peter Tanuari ragu untuk menggunakan nama Bali United di tim esports mereka.
Mendongkrak Popularitas Klub
Hingga Februari 2019, banyak tim olahraga lain yang sudah memiliki divisi esports. Bukan hanya sepakbola, Philadelphia 76ers yang bermain di National Basketball Association (NBA) juga memiliki tim esports. Indonesia kini memiliki Bali United sebagai pionir dan jelas mereka bukan yang terakhir.
Persijap Jepara sudah bekerja sama dengan perusahaan esports asal Malaysia, Kitamen, untuk membuat liga di kota mereka pada masa mendatang. Salah satu tim esports asal Indonesia, Rex Regum Qeon, juga menandatangani kontrak selama dua tahun dengan PSG sejak 8 Februari 2019.
Popularitas esports di kancah dunia ini pada akhirnya bisa membuka pintu bagi setiap kesebelasan untuk memperluas jangkauan mereka di wilayah masing-masing dan juga kancah dunia.
Dukungan dari publik terhadap sebuah kesebelasan selalu dianggap penting. Sebuah kalimat populer: "Klub tidak akan berguna tanpa suporter," sering kali keluar dari mulut penikmat sepakbola. Kesebelasan-kesebelasan di Major League Soccer rela berpindah kandang atau menunda debut mereka agar mendapatkan stadion di pusat kota. Mitra Kukar pernah menjalani latihan di kelurahan Tenggarong untuk mendekatkan diri dengan masyarakat di sana. Hal-hal ini mencerminkan betapa pentingnya dukungan publik kepada sebuah tim sepakbola.
Sama seperti mencari lokasi strategis atau membuka pintu kepada masyarakat, esports hanyalah sebuah medium untuk merangkul dukungan. "Lewat esports kami membuka pintu ke pendukung lain, mereka yang tidak familiar dengan sepakbola. Pasalnya, PSG adalah sebuah label dan bukan sekedar sepakbola," tutur salah satu direktur PSG, Fabien Allegre.
Jika kesebelasan sepakbola di Indonesia mulai membangun divisi esports, bukan hanya dukungan mereka saja yang bertambah, melainkan juga popularitas di mata dunia. Menjalin koneksi dengan kesebelasan-kesebelasan di luar negeri lewat esports bukanlah sesuatu yang mustahil.
"PSG, Barcelona, Bayern Muenchen, dan LA Galaxy juga sudah punya tim esports. Kita nantinya bisa uji coba dengan mereka," tulis pihak Persijap Jepara saat mengumumkan kerjasama mereka dengan Kitamen.
Menambah Penghasilan
Bukan hanya menambah popularitas, penghasilan klub juga bisa bertambah lewat esports. Menurut BBC, esports dapat menyumbangkan dana lebih dari 500 juta paun pada 2017. Memasuki 2020, angka tersebut bisa melonjak tinggi hingga 1,2 miliar paun.
PSG yang disokong kucuran uang dari Qatar sekalipun masih mencari tambahan dari esports. "Kesebelasan sepakbola saat ini dituntut untuk independen dan mereka mengandalkan penghasilan dari luar liga untuk menambah pemasukan," kata Allegre.
Setiap kesebelasan sepakbola yang ingin dianggap profesional di Indonesia juga sudah tidak bisa meminta sokongan dana pemerintah daerah. Mereka harus mencari uang dari sponsor dan berdiri sendiri sebagai perusahaan. Jika gagal, ada peluang untuk kesebelasan itu absen dari liga seperti yang kabarnya tengah dirasakan oleh Perseru Serui menjelang Liga 1 2019.
Melihat prospek yang ditawarkan esports, mereka bisa mencari penghasilan tambahan jika menyisihkan uang dan melakukan investasi di olahraga elektronik tersebut.
Membuka Lapangan Kerja dan Memperbaiki Citra
Sepakbola dan esports bisa berjalan beriringan mencapai target mereka masing-masing. Kesebelasan sepakbola pada umumnya ingin memperlebar sayap mereka dan mengajak orang-orang yang tidak memiliki ketertarikan kepada Si Kulit Bundar untuk memiliki ikatan emosional dengan identitas klub. Selain itu, mereka juga membuka peluang karir untuk generasi muda. Pemerintah Indonesia juga sudah menimbang potensi esports sejak 2017.
"Mereka pekerjaannya bermain gim, tapi penghasilan setiap bulan bisa puluhan sampai ratusan juta. Dulu anak-anak main gim sering ditegur orang tua mereka. Tapi sekarang menghasilkan uang, ini namanya peluang," kata Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo.
Menghabiskan bermain gim di depan layar, berteriak-teriak kepada teman satu deretan di warnet mungkin pernah dianggap tidak berguna untuk generasi milenial dan sebelumnya, tapi bisa berguna untuk generasi mendatang. Hal serupa juga bisa diterapkan di sepakbola. Olahraga yang sering disebut tidak memiliki masa depan di Indonesia, biang kerusuhan, dan tanpa kejelasan dapat diperbaiki lewat esports.
Nama kesebelasan sepakbola yang menaungi divisi esports bisa terangkat bila tim mereka sukses. Apalagi jika menyumbang atlet untuk Indonesia. Meski tidak terlibat secara langsung, mereka bisa memperbaiki citra sepakbola Indonesia. Anggapan buruk soal sepakbola dan esports bisa diperbaiki secara bersamaan.
FIFA bahkan sudah membuat turnamen esports sejak 2004. Ketika pemerintah, FIFA, dan dunia mengakui mereka, siapa yang akan menutup mata dan telinga mereka, mengatakan hal ini tidak memiliki masa depan? Mungkin hanya mereka yang tidak bisa menerima perubahan.
Komentar