Landon Donovan telah mengakhiri perjalanan panjangnya bersama tim nasional Amerika Serikat. Pertandingan melawan Ekuador menjadi laga terakhirnya bersama The Stars and Stripes. Ban kapten melingkar di lengannya sepanjang laga. Perpisahan yang manis.
Kenangan pahit di penghujung karir, toh, tak serta merta pergi jauh meninggalkan Donovan dan para penggemarnya. Hingga kini, pasti masih ada saja yang kesal kepada Jurgen Klinsmann. Pria asal Jerman tersebut tidak membawa Donovan ke Brasil. Padahal status Donovan adalah pemegang rekor jumlah gol terbanyak untuk USMNT.
Selama beberapa saat, amarah publik mereda. Tanpa Donovan, Amerika Serikat terbukti tetap mampu bermain baik. Rasa kehilangan kembali terasa di perdelapan final. Pada satu titik di pertandingan melawan Belgia. Saat Alejandro Bedoya tidak mampu mengubah peluang emas menjadi gol.
âJika saja yang menyambut umpan itu adalah Donovan, pasti ceritanya akan berbeda.â Begitulah kira-kira sesal terasa. Bedoya memang bukan penyerang. Namun perasaan itu muncul dengan bantuan komentator yang menghubungkan insting buruk Bedoya dengan kemampuan mencetak gol milik Donovan.
Namun semuanya telah terjadi. Waktu tak dapat diulang. Masyarakat Amerika Serikat mau tak mau harus mulai menerima bahwa Piala Dunia 2014 tanpa Donovan adalah bagian dari sejarah sepakbola negara mereka. Piala Dunia yang tidak lengkap. Tanpa bintang terbesar mereka. Tanpa cinta terdalam mereka.
Baca juga: Akhir Cerita Kapten Amerika
Selalu ada dua sisi dari sebuah cerita. Absennya Donovan membuat Amerika Serikat menemukan cinta baru mereka. Kepalanya plontos. Tubuhnya penuh rajah. Namanya Tim Howard.
Tak hanya itu, Tuhan juga mengganti kehilangan seorang bintang dengan kelahiran bintang baru. Tidak tajam seperti Donovan, memang. Namun menjanjikan. Benar-benar menjanjikan, tidak seperti Freddy Adu. Yang diprediksi bersinar namun malah tenggelam.
Di Arena de Amazonia pada tanggal 22 Juni, ia masuk sebagai pemain pengganti di menit ke-72. Posisinya adalah bek kanan. Di pertandingan yang berakhir sama imbang 2-2 tersebut, sang pemain tampil gemilang. Secara rutin ia menyisir sisi kanan dan menebar ancaman dari sana.
Nama sang pemain adalah DeAndre Yedlin. Usianya kala itu baru 20 tahun 11 bulan 13 hari. Fakta ini membuat kekaguman kepada dirinya menjadi lebih besar.
Yedlin kembali mendapatkan kepercayaan di laga melawan Jerman dan Belgia. Ia bermain baik di kedua pertandingan tersebut. Namanya pun semakin ramai menjadi perbincangan. Klub-klub Eropa mulai menaruh perhatian. Beberapa di antaranya bahkan serius.
Yedlin muda memiliki cita-cita yang besar. Saat berusia 16 tahun, ia berkesempatan untuk menjalani tur ke Belgia, Austria, Italia, dan Jerman. Sepulangnya dari Eropa, Yedlin menuliskan tiga impiannya: bermain di Eropa, menjadi seorang profesional di dalam dan di luar lapangan, serta membiasakan diri terhadap budaya Eropa.
Saat menuliskan impian tersebut, Yedlin sadar betul bahwa tidak pernah ada pemuda Seattle yang berhasil menjadi pemain sepakbola di Eropa. Siapa yang sangka, hanya dalam waktu lima tahun impiannya menjadi nyata.
Tepatnya pada 13 Agustus, Seattle Sounders merestui kepergian Yedlin. Mereka menerima pinangan dari Tottenham Hotspur. Yedlin menjadi pemuda Seattle pertama yang berhasil bergabung dengan klub top Eropa.
Yedlin sendiri saat ini masih berada di Seattle. Ia masih membela Sounders yang berkompetisi di Major League Soccer. Namun tidak akan seperti itu lagi dalam waktu dekat. Kabarnya, Yedlin ingin mempercepat kepindahannya ke Inggris di bulan Januari. Kesepakatan antara Sounders dan Spurs sendiri menyebutkan bahwa sang pemain baru akan bergabung dengan The Lilywhites menjelang dimulainya Liga Primer musim 2015/16.
Pindah pada bulan Januari maupun Juni, tugas Yedlin tetap sama: membuktikan diri sebagai the new soccer star.
Komentar