Menjadi petualang tampaknya sudah digariskan dalam takdir hidup dan karir seorang Rafael Van der Vaart. Belanda, Jerman, Inggris dan Spanyol pernah dicobanya, bahkan sebelum bursa transfer musim panas ini mulai bergerak ia sudah digosipkan akan hengkang ke Sporting KC, salah satu kesebelasan di Major League Soccer, Amerika Serikat.
Masa depan Van der Vaart sangat jelas, Hamburg SV selaku kesebelsan yang ia bela musim 2014-15 lalu, tak ingin memperpanjang jasanya. Padahal, ia mengemban tugas sebagai kapten tim dan mengangkat timnya dari jeratan degradasi meski harus melewati babak play-off. Di laga hidup mati yang akan menentukan nasib Hamburg musim depan itu, mereka berhasil mengalahkan Karlsruher SC dengan aggregat 3-2.
Hamburg SV sudah lama menjadi bagian perjalanan karir van der Vaart. Sebelum ini, ia sudah bermain di Hamburg pada musim 2005 hingga 2008. Pada periode pertamanya bersama Hamburg itu, hidup terasa berjalan dengan begitu indah baginya. Ia praktis menjadi pahlawan bagi suporter Hamburg.
Setelah itu karirnya seperti akan berkembang lebih gemilang. Ia bergabung dengan Real Madrid. Musim pertamanya bersama El-Real berjalan baik. Ia menjadi penting dan bahkan masuk sebagai nominator peraih Ballon d'Or pada 2008, namun gelar pemain terbaik dunia itu melayang kepada Cristiano Ronaldo yang berhasil memberi trofi Liga Champions untuk Manchester United.
Musim berikutnya, 2009, karirnya mulai meredup karena mulai sering dicadangkan oleh manajer Real Madrid saat itu, Juande Ramos. 2010, ia pun hijrah ke Tottenham Hotspurs. Selama dua tahun, antara musim 2010-2012, ia tampil 63 kali untuk Spurs dan berhasil mencetak 24 gol. Tidak buruk-buruk amat. Setelah itu ia pun kembali ke Hamburg.
Kini periode keduanya bersama Hamburg sudah berakhir dengan lebih tragis ketimbang periode pertamanya. Namun, ia tak ambil pusing dengan masa depannya. Ia akhirnya menetapkan tujuan dan berlabuh ke Andalusia, Spanyol, untuk bergabung dengan Real Betis yang baru saja promosi ke Primera La Liga.
Sekilas, agak timpang jika dibandingkan dengan karirnya di Spanyol sebelumnya. Ia datang ke Spanyol pada 2008 lalu menuju Real Madrid yang baru saja juara Primera La Liga dan 2015 ini ia datang menuju Real Betis yang baru saja juara Segunda Division Liga Adelante. Sama-sama Real, namun berbeda nasib.
Spanyol, baginya bukan sekedar negara persinggahan dalam perjalanan panjang karirnya. Spanyol mempunyai tempat khusus dalam hatinya.
Siapa lagi kalau bukan sang ibunda, Lolita, yang mengalirinya darah Andalusia, Spanyol. Maka tak heran ketika ia pindah untuk pertama kalinya ke Spanyol (re: Real Madrid) ia sangat sumringah dan berujar bahwa bermain untuk sebuah kesebelasan besar di Spanyol adalah "...sebuah mimpi keluargaku", seperti dikutip dari laman Guardian.
Sebetulnya, bukan Real Betis yang menjadi tujuan awal Van der Vaart untuk kepulangannya ke Spanyol yang kedua, melainkan Cadiz CF. Namun, sebentar, apa anda sebelumnya sudah pernah mendengar nama Cadiz CF? Jika belum, maka tak usah bingung karena kesebelasan Cadiz CF hanyalah tim Andalusia yang kini berkompetisi di kasta ketiga liga Spanyol atau tepatnya di kompetisi Segunda B. Prestasi paling mentereng hanya menjadi perempatfinalis Copa del Rey musim 2005-06 lalu.
Kemudian, mengapa pemain sekaliber Van der Vaart bisa-bisanya ingin singgah di kesebelasan Cadiz CF yang hanya berkompetisi di kasta ketiga?
Ya, permintaan sang kakek yang membuat Van der Vaart berencana singgah menuju kesebelasan kecil tersebut. Kepada harian The Post Online, ia menuturkan bahwa ia telah setuju dan berjanji pada sang kakek untuk mengakhiri karirnya disana. Mungkin, kalau bukan karena permintaan gaji Van der Vaart yang cukup tinggi bagi kesebelasan Cadiz tersebut, nampaknya kita akan jarang sekali melihat penampilan Van der Vaart (lagi), karena sangat sulit menemukan tayangan siaran langsung kompetisi Segunda B.
Janji yang terucap dari mulut Van der Vaart tentu tak sekadar main-main atau pemanis berita saja. Ia melakukannya sungguh-sungguh, tentu saja demi keluarganya, terutama demi sang kakek. Hubungannya dengan sang kakek memang sangat spesial. Bahkan ketika libur kompetisi di musim panas, Van der Vaart kerapkali bertamasya bersama kakeknya untuk sekadar menikmati pantai di dekat rumahnya di Cadiz atau pergi berlibur bersama keluarganya yang lain.
Kepndahannya ke Real Betis yang notabenenya masih yang berada di wilayah Andalusia juga meneguhkan rasa cintanya bagi keluarga dan kakeknya. Di umurnya yang sudah 32 tahun, mungkin Real Betis dan Cadiz adalah dua kesebelasan terakhir yang akan ia bela. Toh, Real Betis, bersama Pepe Mel yang menjadi juru racik, memang tak buruk-buruk amat sebagai pelabuhan Van der Vaart selanjutnya. Ia bisa membantu Real Betis, setidaknya, untuk bertahan di Primera La Liga dan membuat kejutan-kejutan lainnya.
Dengan itu, ia bisa merasa dicintai oleh rakyat Andalusia sebagaimana ia pernah dicintai para pendukung Hamburg SV. Dan di penghujung karirnya, entah berapa tahun lagi, Van der Vaart mungkin akhirnya bisa menunaikan janjinya kepada sang kakek untuk bermain bagi Cadiz CF.
Niscaya itu akan menjadi akhir karir yang manis untuk seorang cucu yang mencintai kakeknya, bukan?
Tulisan diolah dari berbagai sumberSumber gambar: www.realbetisbalompie.es
Komentar