Awal Mei lalu, penulis sempat membuat tulisan khusus bagaimana gemerlapnya bakat-bakat pemain muda Inggris yang tergabung dalam kesebelasan negara Inggris U-21. Tulisan tersebut didasarkan pada sesi latihan kesebelasan negara Inggris yang dikemas begitu mengesankan di saluran Youtube.
Sejumlah pemain terlihat begitu memesona saat melakukan penyelesaian akhir. Sejumlah nama seperti Saido Berahino dan Patrick Bamford memperlihatkan tendangan mereka yang bukan cuma keras dan akurat, tapi juga mampu menipu kiper lawan yang membuat pemain lain dan staf berdecak kagum.
Video yang diunggah pada 8 Oktober 2014 tersebut nyatanya memang sejalan dengan perjalanan kesebelasan negara Inggris saat melakoni babak kualifikasi Piala Eropa U-21. Inggris kala itu tak terkalahkan dan hanya meraih sekali hasil seri dari 10 pertandingan. Inggris pun terbilang produktif dengan mencetak 31 gol atau 3,1 gol per pertandingan dan hanya kebobolan dua gol. Ini yang membuat Inggris begitu diunggulkan untuk bisa melangkah lebih di Piala Eropa U-21, bahkan menjadi juara.
Dalam video tersebut terlihat sejumlah pemain yang memiliki kontrol bola yang begitu baik. Alex Pritchard adalah salah satu yang sering disebut-sebut dalam komentar. Meskipun postur tubuhnya hanya 1,71 meter, tapi Pritchard memiliki kontrol bola dan pergerakan yang mirip Jack Wilshere.
Lini serang Inggris pun dianggap akan mampu mengacaukan konsentrasi lawan. Berahino mencetak 10 gol dari 10 penampilan yang menjadikannya top skorer di atas Alvaro Morata (8 gol) dan Philipp Hofmann (7 gol).
Namun, kenyataan berbicara lain. Pada pertandingan pertama Piala Eropa U-21 yang dihelat pada 18 Juni lalu, Inggris dijungkalkan Portugal dengan skor 0-1. Asa Inggris masih tetap terjaga setelah pada pertandingan kedua, mereka menang 1-0 atas Swedia.
Pada partai penentuan yang dihelat tadi malam, Inggris sebenarnya tinggal membutuhkan hasil seri untuk melenggang ke babak selanjutnya. Nahas, permainan Inggris antiklimaks. Mereka dibantai Italia 1-3.
Sumber gambar: bbc.co.uk
Pertanyaan pun muncul. Ada apa dengan Inggris? Apa yang salah?
Hal paling mencolok tentu saja dua gol yang dicetak Inggris nyatanya bukan oleh Berahino, si top skorer babak kualifikasi. Berahino mandul? Tentu saja tidak, karena pemain muda West Bromwich Albion tersebut tidak jadi dipanggil karena berkutat dengan cedera.
Tim pelatih pun memanggil bekas penyerang Arsenal (Reserves), Benik Afobe, yang kini merumput di Wolverhampton Wanderers. Pemanggilan yang mendadak membuat Afobe baru bisa bermain pada pertandingan menghadapi Swedia dan Italia, di mana pada kenyataannya ia sama sekali tak dimainkan.
Pelatih Inggris U-21 Gareth Southgate mengungkapkan kekecewaannya atas cederanya Berahino. Pertanyaannya adalah benarkah Berahino amatlah penting bagi Inggris dan tidak ada penyerang lain yang namanya jauh lebih familiar?
Anda pastilah terkejut karena ada nama Harry Kane, yang selalu bermain penuh di lini depan Inggris sepanjang tiga pertandingan tersebut. Magis Kane yang mencetak 21 gol di liga pada musim lalu, nyatanya tidak menular di kompetisi internasional. Bisa jadi salah satu alasannya adalah karena minimnya penunjang di lini tengah Inggris yang mampu bersaing dengan kesebelasan negara lain.
Tim Kelas Dua
Sumber gambar: telegraph.co.uk
Menjadi pekerjaan sulit bagi Southgate untuk memilih pemain yang masuk ke skuatnya; sulit karena memang tidak ada pilihan bagi Southgate untuk mendapatkan pemain muda Inggris yang berkompetisi di Premier League. Meskipun demikian terdapat sejumlah nama yang sudah berpengalaman seperti Jack Butland, Carl Jenkinson, Calum Chambers, Luke Garbutt, John Stones, James Ward-Prowse, Nathaniel Chalobah, Jesse Lingard, Ruben Loftus-Cheek, dan Danny Ings.
Namun, nama-nama yang sudah dianggap berpengalaman seperti di atas pun jarang dimainkan di klub. Southgate bahkan harus memasang Ings, yang bermain untuk Burnley, karena tidak ada lagi penyerang yang setidaknya setara dengan kualitas Kane.
Absennya Berahino benar-benar membuat Southgate kelimpungan, sampai-sampai ia harus memanggil bekas pemain Arsenal yang tak pernah bermain dalam musim kompetitif sama sekali.
Dua musim lalu, Ings sempat diganjar sebagai pemain terbaik Divisi Championship karena bermain fantastis dengan mencetak 21 gol serta membawa Burnley lolos ke Premier League. Namun, Piala Eropaâwalaupun kelasnya cuma U21âtentu tidak setara dengan kompetisi kelas dua dalam sebuah negara. Piala Eropa bukanlah kompetisi yang sekadar mempertandingkan para pemain yang bermain di tim reservesâmacam Jesse Lingard.
Ambil contoh Portugal U21 di mana semua pemain utamanya bermain lebih dari 10 kali di tim utama yang bermain di divisi teratas kompetisi liga. Malah sejumlah pemain macam Paulo Oliviera, William Carvalho, Sergio Oliviera, Ivan Cavaleiro, dan Ricardo Horta bermain rata-rata lebih dari 25 kali di tim utama.
Butuh Waktu Panjang
Sumber gambar: standard.co.uk
Butuh waktu yang panjang bagi Inggris untuk mengembangkan pada pemain mudanya. Pengembangan infrastruktur secara masif baru akan dilakukan mulai musim 2016/2017.
Ini seperti menjadi dua sisi mata uang bagi Inggris di mana mereka tak bisa melepaskan bebasnya kesebelasan mengatur dirinya sendiri di liga, karena itu akan berpengaruh pada nilai kompetisi itu sendiri.
Dengan banyaknya pemain bintang yang bermain di Premier League, otomatis nilai liga terkatrol dengan sendirinya, yang membuat daya tawar liga lebih tinggi di hadapan sponsor.
Di sisi lain, ini berpengaruh pada masa depan para pemain asli Inggris sendiri. Mereka tak bisa mengembangkan bakatnya akibat sulitnya bersaing baik secara subjektif maupun objektif dengan para pemain asing yang sudah punya nama.
Berdasarkan statistik, Ings jauh lebih baik ketimbang Balotelli yang direkrut Liverpool pada musim lalu. Namun, penyerang Inggris, utamanya yang berusia muda, tidak begitu mendapatkan banyak perhatian karena minimnya terpaan.
Namun, sebuah langkah yang salah juga apabila manajemen kesebelasan negara Inggris mencitrakan segala hal yang berbau kebaikan dan kehebatan kepada dunia (dengan merilis video latihan misalnya), karena hal tersebut membuat ekspektasi khalayak akan membumbung tinggi.
Kini, sisa-sisa pencitraan itu hanya melekat pada kesebelasan negara perempuan Inggris yang berlaga di Piala Dunia Perempuan 2015 di Kanada. Mereka berhasil melenggang hingga babak perempat final yang dipertandingkan pada 27 Juni mendatang.
Jika melihat video latihan, tentu saya memprediksi Inggris bisa melangkah setidaknya hingga semifinal, karena mereka sepertinya akan bertemu Jepang yang pasti menyulitkan. Jika berhasil melenggang sampai babak final pun, peluang Inggris masih terbilang kecil karena harus berhadapan dengan dua raksasa sepakbola perempuan, Amerika Serikat dan Jerman.
Ya setidaknya mereka bisa membuktikan bahwa apa yang ditunjukkan saat latihan adalah kejadian sebenarnya, bukan rekayasa. Ini juga yang sepertinya membuat media-media Inggris terkadang terlalu optimis dengan masa depan para pemain Britania. Jangan-jangan mereka dihargai begitu mahal bukan karena kemampuan, tapi karena mereka yang (digembar-gemborkan) hebat adalah "barang langka"?
Mulai saat ini, kita harus berhati-hati saat akan memuji Inggris; kecuali cara mereka menghasilkan uang lewat kerjasama hak siar televisi, yang memang merupakan sebuah terobosan spektakuler dalam industri sepakbola. Itu memang prestasi dan kemahiran mereka dalam industri sepakbola: membikin mahal apa yang boleh jadi sebenarnya biasa saja.
Saya ingat sajak bagus berjudul "Kwatrin tentang Sebuah Poci". Dengan sedikit memplesetkan sajak itu, bolehlah kita bilang:"Apa yang berharga pada pemain mahal Inggris itu selain separuh ilusi?/ Sesuatu yang kelak retak, dan media membikinnya abadi//.
Komentar