Ada pemandangan yang lain siang ini ketika saya melewati gedung kebanggaan rakyat kota Bandung dan Jawa Barat yaitu Gedung Sate. Menurunkan tuas gas demi memperlambat laju sepeda motor saya lakukan untuk menyelediki apa yang terjadi. Mereka yang berkumpul ternyata buruh yang sedang merayakan kebebasan demokrasi. Ribuan orang bergumul di siang hari itu, di tempat yang sama, semakin membuat saya tak bisa melupakan kejadian hari Minggu (18/10) lalu, dua hari sebelumnya.
***
Minggu (18/10), di pelataran Gedung Sate, saya dan ribuan orang mengacuhkan teriknya matahari. Kami, saat itu, sedang menanti kedatangan bus-bus yang bakal membawa kami ke Jakarta. Saya dan orang-orang itu memang tak saling kenal, tapi kami punya urusan yang sama: mendukung Persib Bandung di Stadion Gelora Bung Karno.
Bus dan truk yang kami nanti akhirnya datang juga. Mereka yang tergabung dalam rombongan terlihat begitu bersemangat. Mereka girang benar. Ada keriaan yang tak biasa yang lahir di tengah hari yang terik itu. Seketika, mereka yang tak muda-muda amat itu pun terlihat seperti anak kecil yang baru diberi hadiah oleh orang tuanya.
Namun tak semuanya berbahagia, masih ada ribuan orang yang gelisah bercampur marah. Mereka tak kunjung diberangkatkan menuju Jakarta, padahal, bus yang tersedia semakin menipis.
Apa-apa yang tak diinginkan jadi kenyataan. Kabarnya, perusahaan pengelola bus membatalkan keberangkatannya secara sepihak. Peserta menjadi gusar, panitia kalang-kabut.
Suasana pun berubah jadi tak mengenakkan. Beberapa kelompok terlihat mondar-mandir memastikan kehadiran bus tambahan. Cuaca yang panas membikin suasana tambah panas. Kerah baju mulai basah, apalagi bagian pangkal lengan. Saya mulai melirik jam pada ponsel, ternyata sudah hampir pukul dua siang.
Untungnya tak lama kemudian, bus yang kabarnya menjadi bus terakhir yang bakal mengangkut ribuan Bobotoh ke Jakarta datang. Penampilannya ringkih, membikin ngeri dan bertanya-tanya tentang kesanggupannya mengantar kami ke GBK.
Kedatangan si ringkih di satu sisi memang melegakan, namun di sisi lain, ia memantik amukan sekelompok orang yang memang tak kebagian bus. Beberapa orang malah nekat menghadang bus tersebut. Pikir mereka, mereka harus tetap berangkat. Apapun caranya, sebesar apapun risikonya.
Ketika suasana mulai terkendali, massa yang tertahan tak kehabisan akal untuk bisa berangkat ke Jakarta. Ketika dipastikan bahwa tak ada lagi bus ataupun truk bantuan, mereka berinisiatif mengumpulkan angkot sampai mini-bus (elf) dari pangkalan-pangkalan terdekat.
Bahkan saking putus asanya, beberapa dari mereka menghentikan bus-bus angkutan umum secara paksa agar bisa tetap berangkat ke Jakarta. Namun apapun upayanya, tetap saja tak semua Bobotoh bisa berangkat.
Sambil berteduh, saya mencoba bertanya dengan seorang polisi yang bertugas di sana. Ia bilang, tak mungkin semua angkutan mendapat izin untuk berangkat ke Jakarta. Katanya, faktor keselamatan yang jadi pertimbangan utama.
Di saat bersamaaan, saya mencoba mengerti kekesalan ribuan orang di sini. Melawan kenyataan yang sama sekali tidak diharapkan bukanlah pekerjaan yang mudah.
Sejak pagi, orang-orang yang tertahan di Gedung Sate itu sudah bersiap untuk melakukan perjalanan ke Jakarta demi menghadiri partai puncak Piala Presiden. Tiket sudah ada di tangan mereka, Persib yang jadi kebanggaan bakal bertanding. Apapun caranya, mereka pikir, mereka harus berangkat ke Jakarta.
Hari semakin gelap. Kick-off final Piala Presiden tetap dimulai tanpa memerdulikan mereka yang berteriak kesal karena tak mampu hadir ke sana. Mereka (dan juga saya) akhirnya menyerah. Lantas, kami berusaha mencari tempat-tempat nobar terdekat dengan tiket masuk stadion SUGBK masih dalam genggaman.
Baca juga:Analisis Final Piala Presiden 2015
Away Days Rasa Indonesia, Bung!
Gelar Zulham Zamrun dan Keberhasilan Djajang Nurjaman Mengakomodasi Kelebihannya
Singkat cerita, Persib mampu mengalahkan Srwijaya FC. Piala Presiden secara resmi singgah ke Kota Kembang. Meski begitu, bagi mereka yang gagal bertolak ke Jakarta, kemenangan Persib jadi lumayan hambar.
"Urang mah lalajo Persib asa teu sumanget kieu, euy. Asa hambar. Kuduna urang aya didinya!". Kalimat yang memiliki arti " Saya nonton Persib ini berasa tidak semangat. Saya seharusnya ada di GBK;" ini diungkapkan salah satu kawan saya, Ganjar, pasca peluit panjang dibunyikan.
Tapi jalanan kota Bandung di sekitaran kawasan Merdeka hingga Juanda tetap riuh dan gembira. Tahun lalu, kejadian serupa pernah terjadi di tempat yang sama. Saya seperti bernostalgia dan membayangkan diri sendiri ikut berkonvoi dan mengikuti massa hingga larut malam.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya melayang-layang membayangkan diri sendiri sedang berpesta di SUGBK. Saya juga bertanya-tanya apa yang dilakukan oleh para bobotoh yang tertahan di Bandung, apa lagi mereka yang sudah datang dari luar kota. Dalam level tersebut, saya hanya berimajinasi dan merutuki nasib sendiri.
Di ujung perjalanan pulang yang masih riuh oleh sukacita konvoi malam itu, saya langsung teringat ucapan kawan. Katanya; ââ¦di dunia ini hal yang paling sulit adalah beriman pada qodho dan qodar (takdir yang baik dan buruk). Kita mengeluh dengan keadaan saja itu sudah gagal mengaplikasikan rukun iman (dalam agama Islam) tersebut.â
Akhirnya, ada rasa hormat yang sangat besar bagi mereka yang sudah berpanas-panas menunggu kejelasan nasib, bagi mereka yang sudah merelakan menonton tim kebanggaannya lewat televisi meski memiliki tiket masuk stadion, dan bagi mereka yang sudah menelan pahit-pahit kenyataan karena melewatkan momentum yang langka terjadi.
Tanpa mengecilkan upaya dan nyali bagi mereka yang sampai di Jakarta, kalian yang gagal berangkat pun adalah juaranya.
Komentar