Suporter Rusia adalah suporter yang cukup ganas. Pada gelaran Piala Eropa 2016 silam, mereka berbuat rusuh di Prancis. Mereka ribut-ribut dengan suporter Inggris, baik itu di luar dan di dalam stadion. Hal ini membuat Prancis menjadi negara yang membara dalam ajang empat tahunan antar negara Eropa tersebut.
Inilah yang sempat membuat beberapa pihak merasa khawatir akan Piala Dunia 2018 yang akan digelar di Rusia. Namun, campaigner dari lembaga Kick It Out, Paul Elliot, mengungkapkan bahwa Piala Dunia 2018 akan menjadi awal mula bagi negara Rusia untuk memperbaiki diri dan menghilangkan cap yang sudah melekat sebagai negara rasis.
"Kami berharap bahwa kami dapat menentang segala bentuk aksi rasis, utamanya kepada masalah gender dan warna kulit. Segala bentuk diskriminasi harus dihilangkan. Bagi Rusia, Piala Dunia 2018 adalah awal yang baik untuk melakukan itu. Saya juga percaya bahwa Piala Dunia 2018 akan membawa perubahan besar bagi Rusia," ujar Elliot seperti dikutip ESPN FC.
"Melalui sepakbola, olahraga yang sangat luar biasa, kekuatan anti-diskriminasi itu dapat disuarakan. Kekuatan besar dari sepakbola ini mesti digunakan," tambahnya.
FARE, lembaga anti-diskriminasi yang berbasis di Eropa, juga menyuarakan hal yang sama. Piara Powar, kepala FARE, percaya bahwa presiden Rusia, Vladimir Putin, akan menampilkan sisi positif dari negaranya dalam ajang Piala Dunia untuk menyuarakan kepada masyarakat dunia bahwa Rusia bukanlah negara yang menyeramkan.
"Jika ada kejadian diskriminatif terjadi di sini (Rusia), maka mereka akan langsung jadi pusat perhatian dunia. Semua hal baik tentang Rusia akan ia munculkan. Ia tahu ini adalah kesempatan besar baginya untuk memasarkan Rusia kepada dunia," ujar Powar.
Tapi, tantangan berat menanti pihak-pihak yang ingin Rusia menuju lebih baik usai Piala Dunia 2018. Sampai sekarang, aksi-aksi diskriminatif dan juga rasial masih terjadi di negara tempat kelahiran Andrey Arshavin dan Roman Pavlyuchenko tersebut. Yang terbaru adalah kasus pelemparan pisang oleh suporter FC Rostov dalam pertandingan Liga Champions Eropa melawan PSV Eindhoven. Pisang itu baru dibuang setelah berada di lapangan selama 15 menit.
Pada 2014, FC Rostov pun dihadapkan pada tindakan rasis usai pelatih mereka saat itu, Igor Gamula, menolak untuk mendatangkan bek asal Kamerun, Benoit Angbwa. "Kami sudah memiliki banyak pemain kulit hitam, jumlahnya ada enam buah [menyebut sebagai `benda` menggunakan kata `things`, bukan `orang` dengan kata `people`]," ujarnya saat itu seperti dilansir Independent.
Ia juga mengungkapkan bahwa sakitnya para pemain timnya, ketika itu, adalah karena virus Ebola yang mungkin dibawa oleh pemain kulit hitam miliknya. "Saya takut penyakit yang diderita oleh para pemain saya adalah Ebola,"
Hal yang cukup berat untuk menjadikan Rusia menjadi negara anti-diskriminatif dengan segala catatan tindakan rasial yang mereka lakukan, meski kemungkinan untuk berubah akan selalu ada.
Komentar