Secara melankolis seorang Novelis Inggris, Sir Hall Caine, dalam novelnya yang berjudul “The Eternal City” (1901), mengatakan bahwa Kota Roma adalah "sebuah kekaisaran tanpa akhir." “Keabadian” itulah yang ingin disampaikan Caine. Suatu frasa yang berhubungan dengan keadaan utopis di Roma kala itu. Tak ayal sebutan Eternal City pun kini didaulat sebagai julukan Kota Roma.
Keabadian akan kebencian inilah yang akan hadir dalam laga epik nan heroik di Stadion Olimpico yang menyajikan duel antara rival sekota, AS Roma dan Lazio. Apalagi Derby Della Capitale tidaklah sebersahabat Derby della Mole atau Derby della Madonnina. Wajar saja jika website footbalderbies.com memberikan predikat Derby Della Capitale sebagai derby paling panas di italia.
Kebencian adalah keharusan itulah yang selalu dibenamkan kedua pendukung dari generasi ke generasi melalui beberapa kelompok suporter garis keras. Kebencian terhadap klub rival bahkan melebihi kecintaan terhadap klub sendiri. Coba tengok bagaimana tingkah suporter Lazio yang meminta timnya untuk mengalah kepada Inter Milan di tahun 2010. Kala itu, Inter sedang bersaing dengan AS Roma untuk memperebutkan gelar Scudetto dan kemenangan dari Lazio akan memuluskan langkah itu. Di sisi lain, Lazio berada di peringkat 17 hanya berselisih 4 poin dari zona degradasi. Kekalahan dari Inter tentunya akan membuat mimpi buruk itu semakin jadi kenyataan.
Dan suporter Lazio lebih memilih mimpi buruk tersebut. Coba baca isi tulisan-tulisan spanduk yang dibentangkan ultras Lazio: "Jika sampai menit ke-80 Lazio menang, kami akan menyerbu ke lapangan!", "Nando (Menunjuk kepada Fernando Muslera Kiper Lazio), biarkan bola melewatimu, dan kami akan tetap menyayangimu", "Zarate, satu gol saja kau cetak, kami paketkan kau ke Buenos Aires".
Ya, pendukung Lazio ternyata lebih memilih tim kesayangannya degradasi ke seri B ketimbang melihat sang rival berpesta merayakan scudetto. Tingkah ultras ini membuat pemain Lazio bermain buruk. Alhasil Inter pun menang 2-0. "Oh, Noooo Roma!" dan "Scudetto Game Over, Roma!" bentang spanduk pendukung Lazio usai pertandingan.
Presiden Roma, Rosella Sensi, mengecam dan menyebut suporter lazio anti fairplay. Jose Mourinho yang kala itu melatih Inter hanya geleng-geleng kepala sembari berkata, "Saya belum pernah menyaksikan yang seperti ini". Sudah menjadi sebuah tagline di antara kedua pendukung bahwa `Derby is much more than just a game`. Tak mengapa tak mampu meraih scudetto atau kalah dari tim lain asalkan jangan jadi pecundang saat menghadapi tim rival. Kekalahan adalah aib yang akan terus menjadi olok-olokan sampai Derby kembali digelar.
Perang spanduk dengan cacian yang aneh-aneh bukanlah sesuatu yang langka. Itu malah sudah jadi kewajiban. Kreativitas ide untuk membual memang tak pernah padam dilakukan oleh kedua kubu.
Buktinya, di musim 2000-01 AS Roma berhasil menaklukkan Lazio dengan skor tipis 1-0. Tragisnya gol tunggal tersebut merupakan gol bunuh diri bek Paolo Negro. Alhasil seminggu kemudian, penggemar Giallorossi mulai mengenakan jersey dengan nama Negro. Beberapa tahun kemudian saat bermain untuk Siena di Stadio Olimpico, secara sarkasme Negro mendapat standing applause dari fans Roma. Sebuah bualan yang akan menjadi bebannya seumur hidup.
Derby Sebagai Hal Mewakili Kota
Dalam benak kedua kubu, kebencian memang sesuatu hal yang mesti dilestarikan. Perseteruan antara Lazio dan Roma pun tak lepas dari kebencian klub-klub selatan terhadap klub-klub utara yang selalu mendominasi persepakbolaan Italia. Roma dan Lazio hanya menang lima gelar liga Italia [Roma pada tahun 1942, 1983 dan 2001; dan Lazio pada tahun 1974 dan 2000]. Jumlah yang sangat kecil jika di bandingkan dengan Kota turin [Juventus 32 kali dan Torino 7 kali) atau duo milan (AC Milan 18 kali dan Inter Milan 18 kali).
Rivalitas Lazio dan Roma sebuah pelampiasan. Derby berfungsi sebagai penentu de facto siapakah yang berhak menjadi terbaik di kawasan Roma. Sudah menjadi hal lazim di Italia, sistem regionalisme yang diterapkan membuat orang Italia lebih bangga menyebut regionnya ketimbang mengaku sebagai bangsa Italia itu sendiri.
"Italia bukanlah negara bersatu seperti Amerika Serikat. Orang di sini lebih menganggap diri mereka sebagai Roman atau Tuscan, atau Sisilia dibanding menganggap diri mereka sebagai Italia," jelas Franco Spicciariello seorang penulis olahraga ternama di Kota Roma.
Karenanya fans melihat derby sebagai pertempuran antara dua klub yang berjuang untuk mendapatkan hak mewakili kota ke seluruh negeri, berjuang untuk menunjukkan karakter tim yang lebih Romawi.
Derby roma adalah konfrontasi diberbagai aspek. Perlawanan kaum proletar yang menjadi basis massa fans AS Roma melawan kaum borjuis yang jadi identitas fans Lazio. Untuk soal politik, penggemar Lazio berafiliasi pada politik sayap kanan, sedangkan fans Roma didominasi politik berhaluan sayap kiri.
Rivalitas muncul dari aspek lainnya yaitu Fans Roma menganggap Lazio bukanlah klub asli kota Roma, karena mayoritas pendukungnya memang berada di luar kota Roma. Begitupun sebaliknya, fans Lazio mengklaim klubnya-lah lebih baik, karena merekalah yang lebih dulu berdiri. Lazio didirikan tahun 1900 dan AS Roma 27 tahun kemudian.
Kekerasan adalah hal yang biasa. Sebuah anomali jika pertandingan Derby disaksikan tanpa kehadiran polisi bertameng lengkap. Semenjak tahun 1980, kekerasan di Derby Roma cenderung kian meningkat. Baku hantam, saling lempar, dan tusuk menusuk sudah menjadi headline biasa yang ditampilkan di koran-koran usai derby.
Di luar pertandingan, korban tak berdosa yang dipukuli akibat menampilkan jersey kebanggaan mereka tak terhitung jumlahnya. Sangat tak aman jika berkeliaran di kota Roma menggunakan jersey Lazio atau AS Roma. Ada pemahaman umum bahwa kedua fans tidak bisa memakai jersey tim di kota mereka sendiri. Satu-satunya moment kedua fans bisa menampilkan eksplosifitasnya dalam mendukung klub adalah saat berada di stadion tepat di Hari pertandingan digelar.
Derby Della Capitale akan selalu menjadi bagian dari cerita kota Roma. Cerita yang romantismenya tak akan kalah dari legenda Romulus dan Remus, dua bersaudara dalam mitologi Romawi yang diyakini sebagai pendiri kota Roma.
Meskipun bersaudara, hubungan antara Romulus dan Remus bukan tanpa perselisihan. Untuk meraih tampuk kekuasaan, mereka harus saling membunuh. Perseteruan ini baru berakhir saat Romulus membunuh Remus. Dan kondisi serupa harus terjadi di laga nanti malam, siapakah yang akan mengikuti jejak Remus?
Baca juga:
Selfie Totti di Derby della Capitale
Artikel ini sebelumnya tayang di kolom About the Game, detiksport....
Komentar