Sepakbola Indonesia kembali menelan korban. Suporter asal Bandung, Ricko Andrean, menghembuskan nafas terakhirnya pada Kamis (27/7). Ia merupakan korban pemukulan yang terjadi pada laga antara tuan rumah Persib Bandung menghadapi Persija Jakarta pada Sabtu lalu (22/7).
Sudah lebih dari 50 orang suporter Indonesia meninggal dunia sejak pertama kali terjadi pada 1995. Ini artinya, setiap tahunnya setidaknya ada dua orang yang meregang nyawa karena menonton sepakbola hingga 2017 ini. Catatan ini merupakan catatan merah. Sebuah hal yang tak lazim bagi sepakbola yang sebenarnya menawarkan keindahan di lapangan hijau.
Semua korban itu, tak terkecuali Ricko, berawal dari rivalitas antara suporter dua kesebelasan. Di Indonesia, rivalitas antar suporter memang lebih panas di banding rivalitas para pemain dari dua kesebelasan yang bertanding di lapangan itu sendiri. Padahal yang punya tugas "bertarung", seperti kata "melawan" dalam setiap judul pertandingan, adalah dua kesebelasan, bukan dua suporter.
Pertemuan antara Persib-Persija memang mempunyai kans terbesar, dibanding laga lain, untuk menelan korban. Meski awalnya dua kesebelasan tidak memiliki aroma rivalitas yang panas, namun masing-masing suporter punya rasa benci dan dendam yang mendalam. Dari sinilah yang memunculkan sering berjatuhannya korban sebelum, saat, atau sesudah laga akbar ini.
Pada kasus Ricko sebenarnya terjadi salah kaprah. Saat itu bobotoh awalnya hendak menyerang pendukung Persija yang menyelinap di antara bobotoh untuk menyaksikan Persija di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, markas Persib. Suporter Persija yang ketahuan tersebut lantas melarikan diri, yang kemudian ia bersembunyi di balik badan Ricko. Ricko, yang sebenarnya merupakan bobotoh, dituduh sebagai rekan suporter Persija tersebut sehingga ia pun tak luput dari sasaran bobotoh yang hendak memukuli pendukung Persija tersebut. Miris, bukan?
Itulah yang terjadi ketika hati nurani dibutakan oleh rivalitas. Terprovokasi sedikit, jika menyangkut pihak seberang (lawan), maka ia siap bersikap barbar alias tak beradab.
Yang perlu digarisbawahi di sini bukan pendukung Persib yang brutal. Kita perlu melihat akar permasalahan mengapa seorang suporter Indonesia bisa sebrutal itu. Dan tentu mereka melakukan kebrutalan bukan tanpa alasan.
Ada masalah sosial dalam rivalitas suporter Indonesia. Ini memang bukan hanya menyangkut pendukung Persib-Persija, tapi juga pendukung klub lain yang memiliki suporter masif dan rivalitas kental dengan suporter klub lain. Persib-Persija, atau lebih tepatnya Viking dan The Jak, rivalitasnya semakin meruncing karena keduanya punya basis suporter yang sangat besar juga mewakili dua provinsi besar di Indonesia, terlepas dari apa yang mengawali kedua suporter saling membenci.
Sialnya rivalitas kedua suporter semakin di luar batas. Hal ini diakibatkan turun-temurunnya kebencian yang ditularkan atau tertularkan antar generasi. Bagaimana bisa seorang bocah berusia 7 tahun misalnya dengan lantang berteriak "Viking anj*** dibunuh saja.." atau "The Jak anj*** dibunuh saja"?
Nyanyian itulah yang membuat siapapun yang menyanyikannya akan memiliki mindset bahwa pihak lawan harus dibunuh. Apalagi di masa kini terbukti bahwa membuat terluka pihak lawan menjadi kepuasan dan kebanggaan tersendiri bagi sebagian suporter karena mereka tanpa ragu mengunggahnya di sosial media yang mereka punya. Ini tentu merupakan hal yang salah.
Di samping kelakukan sejumlah suporter, saya tidak pernah bosan menyalahkan federasi sepakbola Indonesia, PSSI, atas terjadinya hal seperti ini. Berjatuhannya korban antar suporter akan terus terjadi selama tidak adanya tindakan tegas dari federasi ketika rivalitas suporter menelan korban.
Mari kita ingat-ingat ke belakang. Ketika ada kerusuhan suporter, apa hukuman yang diberikan federasi pada mereka? Denda? Tanpa penonton di beberapa laga? Menonton tanpa atribut? Di mana efek jeranya?
Hukuman-hukuman yang dijatuhkan federasi pada klub usai adanya kerusuhan dan kekerasan terbukti tidak membuat para suporter menjadi dewasa. Federasi tidak/belum belajar bahwa ketidakdewasaan sejumlah suporter merupakan akibat dari mereka yang terlalu lembek dalam memberikan hukuman. Jika hukuman dari federasi sangat berat, yang mengancam keberlangsungan klub yang didukung seorang suporter, tidak ada yang akan sok jagoan untuk "menghajar" suporter lawan.
Lebih dari 50 korban kerusuhan dan kekerasan suporter sepakbola membuktikan bahwa federasi seringkali melewatkan banyak kesempatan bagi mereka untuk mendewasakan suporter. Kalau federasi lagi-lagi menganggap hilangnya nyawa karena menonton sepakbola bukan sebagai tragedi yang harusnya menyadarkan kita semua, maka jangan heran akan ada korban lagi di kesempatan-kesempatan berikutnya.
Memangnya hukuman seperti apa sih yang bisa membuat jera?
UEFA pernah memberikan hukuman pengurangan enam poin (di babak kualifikasi Piala Eropa 2016) dan denda 120 ribu euro pada federasi sepakbola Rusia karena pendukungnya menyerang penjaga keamanan stadion, menyalakan kembang api, serta memasang spanduk dan bendera bernada rasis saat timnas Rusia menghadapi Republik Cheska pada 2012. Kesebelasan asal Yunani, PAOK, mendapatkan hukuman pengurangan lima poin dan lima pertandingan tanpa penonton ditambah denda 112 ribu euro dari federasi sepakbola Yunani karena tiga kali melakukan kerusuhan pada musim tersebut.
Di Indonesia, hukuman pengurangan poin pernah terjadi pada 2014, namun itu bukan karena ulah suporter, melainkan karena penunggakan gaji. Mungkin sekarang pengurangan poin perlu dilakukan juga di Indonesia.
Contoh lain, misalnya untuk Persib-Persija, adanya insiden ini harusnya membuat federasi memberi hukuman pada keduanya bahwa ketika kedua kesebelasan bersua, tidak boleh ada penonton di stadion selama satu atau dua atau tiga tahun atau lebih. Penting menghukum kedua belah pihak karena akar dari permasalahan ini berawal dari rivalitas antara kedua suporter, bukan hanya dari satu pihak.
Hukuman-hukuman berat lain yang bisa diberikan misalnya klub yang suporternya melakukan kekerasan atau kerusuhan dihukum tanpa penonton selama satu sampai tiga tahun atau lebih, didiskualifikasi dari liga, hingga degradasi. Semakin berat hukuman yang menanti, maka akan semakin aware juga para suporter dalam bertindak. Bahkan sesama suporter akan saling mengingatkan atau mengedukasi.
Selain itu, pemerintah juga bisa turun tangan ketika hal seperti ini terjadi. Pemerintah tidak bisa tinggal diam hal seperti ini terus terjadi. Karena masalah seperti ini, ketika rivalitas antar suporter tak lagi terkontrol, publik di luar itu pun terganggu yang kemudian menjadi masalah sosial. Yang menjadi korban dari rivalitas seperti ini bukan hanya mereka yang meregang nyawa atau terluka. Korban rivalitas antar suporter yang berlebihan membuat tak sedikit suporter yang awalnya hanya menonton, mendapatkan dampaknya seperti ketika klub kesayangannya mendapatkan hukuman.
Rivalitas antar suporter yang kebablasan juga bisa membuat para pedagang dan masyarakat umum di sekitaran stadion merasakan akibat negatifnya. Paling parah, korban rivalitas antar suporter yang cenderung barbar ini mengorbankan kehidupan seorang anak kecil yang seharusnya tumbuh dengan bersenang-senang, malah tumbuh dengan memiliki rasa kebencian pada orang yang tidak ia kenal dan tidak ia ketahui dari mana datangnya rasa kebencian itu.
Sepakbola itu indah. Sepakbola itu membahagiakan. Sepakbola itu mengasyikkan. Jika yang didapat dari sepakbola Indonesia justru tragedi dari tingkah suporternya, maka ada yang salah dengan sepakbola Indonesia, ada yang salah dengan suporter Indonesia.
Kematian Ricko harusnya menjadi titik nadir untuk perbaikan kultur dan rivalitas suporter di Indonesia. Kita tidak boleh membiarkan hal seperti ini terus terjadi.
Pendukung Persib dan Persija, pendukung kesebelasan mana pun, boleh menjadi rival, asalkan tidak melebihi batas kebencian hingga harus saling membunuh. Perdamaian harus dilakukan di antara suporter-suporter yang bertikai. Dan atas kematian Ricko, pendukung Persib dan Persija, sebagai dua kesebelasan dengan suporter terbesar di Indonesia, bisa menciptakan lembaran baru bagi rivalitas suporter di Indonesia. Tak perlu lagi saling menyalahkan, menjatuhkan dan menyudutkan dalam situasi seperti sekarang ini. Ini adalah duka bagi sepakbola Indonesia.
Sekali lagi, ini menjadi momen yang tepat untuk mengakhiri teror kematian suporter saat rivalitas antar suporter Indonesia kebablasan. Apalagi federasi seperti abai ketika pertandingan sepakbola menelan korban nyawa di Temanggung beberapa waktu lalu. Jika federasi dan pemerintah tak bisa diandalkan, maka siapa lagi jika bukan kalian para suporter itu sendiri yang mengakhiri ironi dan tragedi sepakbola Indonesia?
Karena itu demi kemanusiaan, mengutip apa yang ditulis Miftakhul F. S. dalam bukunya "Mencintai Sepakbola Indonesia Meski Kusut", sembelih ego kalian, besarkan hati kalian. Berdamailah.... karena sepakbola itu indah....
Baca juga: Permusuhan Antar Suporter Indonesia Terlalu Barbar
Komentar