Pada 20 Oktober 1982 di Stadion Luzhniki, Rusia, terjadi peristiwa berdarah dalam laga antara tuan rumah Spartak Moscow melawan Harleem, kesebelasan dari Belanda. 66 orang tewas dan begitu banyak korban yang harus dilarikan ke rumah sakit untuk diberi pertolongan.
Peristiwa terjadi menjelang akhir pertandingan. Kala itu, kedudukan masih 1-0 untuk keunggulan Spartak. Sebagian besar penonton sudah memilih untuk keluar stadion. Tapi untuk meninggalkan area stadion butuh waktu yang lama karena hanya memiliki satu akses pintu keluar-masuk.
Persoalan infrastruktur tersebutlah yang menjadi pemicu bencana. Ketika Sergei Shvetsov mencetak gol kedua Spartak menjelang berakhirnya pertandingan, para penonton yang sedang berusaha keluar dari tribun mendadak antusias kembali untuk merayakan gol tersebut. Sehingga terjadi "bentrok" antara penonton yang keluar dan ingin masuk kembali.
Area di tribun sisi timur pun menjadi tempat kerumunan massa. Begitu banyak pendukung Spartak yang terinjak-injak dan sulit bernapas. Saat itu suhu udara minus 10 derajat celcius. Apalagi saat itu Stadion Luzhniki belum memiliki atap sehingga angin gampang membuat tubuh semakin terasa dingin.
Perbaikan infrastruktur segera dilakukan untuk merespons kejadian itu. Pengakuan terhadap perbaikan itu terwujud dalam bentuk terpilihnya stadion tersebut sebagai venue pertandingan final Liga Champions 2008. Ketika itu Manchester United menjadi juara Liga Champions 2007/2008 dengan mengalahkan Chelsea lewat adu penalti.
Selain sepakbola, stadion yang resmi dibuka pada 31 Juli 1956 ini juga kerap dijadikan lokasi konser-konser musik seperti Michael Jackson, The Rolling Stones dan Madonna. Bahkan yang paling penting, Stadion Luzhniki tersebut adalah dijadikan tempat pembukaan dan final Piala Dunia 2018 di Rusia.
Biaya untuk merenovasi stadion berkapasitas sekitar 78 ribu penonton untuk Piala Dunia mendatang sudah menghabiskan sekitar 7,1 milyar poundsterling. Setelah Olimpiade musim dingin 2014, Luzhniki kembali mendapatkan sokongan dana sebesar 8 milyar poundsterling.
Tapi sayangnya awan hitam baru menyelimuti markas yang pernah ditempati tiga kesebelasan asal Rusia yakni Spartak, CSKA Moscow dan Torpedo Moscow ini. Pada Senin (5/10) siang menjelang sore hari waktu setempat, terjadi kebakaran di kawasan Stadion Luzhniki.
Dikabarkan api disebabkan limbah kontruksi yang mencapai 30 meter persegi. Api sendiri sudah dipadamkan dan Vitaliy Mutko, Menteri Olahraga Rusia, mengatakan tidak ada infrastruktur penting dari Stadion Luzhniki yang rusak karena kebakaran tersebut.
Tapi tunggu dulu. Dahulu saja usai kejadian berdarah Stadion Luzhniki pada 20 Oktober 1982 silam pun pihak pemerintah Uni Soviet, nama Rusia saat itu, membutuhkan waktu sampai tujuh tahun untuk mengungkapkan kepada publik secara rinci mengenai kejadian itu.
Jadi, bukan tidak mungkin, ucapan Mutko mengenai kerusakan minor itu hanyalah kamuflase untuk menutupi kerusakan yang sebenarnya. Setidaknya guna meredam kabar miring tentang persiapan Rusia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018. Maklum karena Rusia tak henti-hentinya dihantam kabar miring persiapan mereka menjadi tuan rumah.
Salah satunya adalah kualitas rumput stadion-stadion Rusia yang masih diragukan sesuai standar untuk menggelar pertandingan, khususnya terkait suhu yang dingin. Penelitian Prozone Liga Primer Rusia menunjukan bahwa para pemain terlihat kurang nyaman berlaga di lapangan rumput artifisial yang satu tingkat mutunya di bawah lapangan rumput kelas satu standar FIFA. Hal itu membuat Piala Dunia selanjutnya ini dicap kelas dua.
Selain soal lokasi pertandingan, tentu saja kekhawatiran Piala Dunia 2018 Rusia adalah kekerasan yang tidak pernah berhenti di sana. Juga rasisme. Salah satu yang terbaru ketika para Ultras Torpedo berbuat ulah di kandang Arsenal Tula pada laga pekan ke-21 Liga Primer Rusia 2014/2015 lalu.
Kendati begitu banyak masalah yang terjadi, termasuk kebakaran Stadion Luzhniki ini, namun pastinya pihak pemerintah selalu memiliki siasat untuk menutupinya. Dan itu sudah terjadi sejak tragedi berdarah pada 1982.
Bahkan bukan tanpa alasan jika Vladimir Putin menyalahkan pihak Amerika ketika FBI menangkap para petinggi FIFA. Putin menganggap langkah FBI itu sebagai upaya mengganggu persiapan Rusia menggelar Piala Dunia 2018 mendatang.
Komentar